Tuesday, April 11, 2017

Sidang Kasus penistaan agama di pengadilan

Dalam beberapa hari kebelakang publik dipertontonkan suatu pemandangan ruang pengadilan dimana terdakwa merupakan tokoh publik gubernur non aktif DKI jakarta, beberapa hari sebelumnya masyarakat juga mendengar cerita tentang surat himbauan dari Kapolda mengenai penundaan sidang ke 19 yang mengagendakan pembacaan tuntutan dimana dikemukakan alasan keamanan menjelang PILKADA putaran ke 2 untuk wilayah ibukota. sampai tulisan ini diceritakan penulis tidak bener2 merasakan bahwa alasan jaksa penuntut umum (JPU) yaitu belum siap dalam hal penulisan tuntutan belum selesai di ketik, dan masyarakat hukum khususnya mengetahui jika penulisan tuntutan itu normalnya tidak seribet yang diungkapkan jaksa. beberapa hal yang akan saya coba ungkapkan dari kacamata saya yang bener2 awan soal hukum : 1. surat kapolda yang menyarankan untuk mengundurkan waktu penuntutan sampai selesai pilkada putaran 2 DKI, dimana alasan itu terungkap dipengadilan dan dikatakan oleh jaksa, menurut saya mempengaruhi jalanannya persidangan. 2. penetapan tanggal 20 yang diungkapkan penasehat hukum dan disetujui jaksa maupun hakim merupakan kesepakatan yang benar2 bernuansa politik. 3. tidak selesainya pengetikan tuntutan dan baru selesai tanggal 20 dan bukan tanggal 17 atau seminggu tepat setelah sidang hari selasa kemarin merupakan intervensi politik terhadap ranah hukum. 4. pernyataan penasehat hukum yang menyebutkan mereka dan terdakwa merasa sangat dirugikan dimana alasan yang diungkapkan adalah jika waktunya masih cukup seharusnya lebih banyak lagi saksi yang bisa dihadirkan dalam membela kliennya merupakan pernayataan sandiwara belaka. 5. hakim memutuskan penundaan sidang dalam hal pembacaan tuntutan tanggal 20 dan memberikan kesempatan untuk jpu melanjutkan pengetikan bukti jika pengadilan kita tidak bisa menghindari intervensi politik. kesimpulan yang ada adalah, jika surat dari seorang kapolda dimana tentu saja kapolda atas saran atasannya bener-bener mempengaruhi ruang pengadilan kita, ada kah yang merasa jika hal ini tidak etis secara hukum dan budaya pengadilan kita, adakah yang merasa jika ini bener-benar mengorbankan perasaan pelapor dan masyarakat umum yang sangat mengikuti persidangan dan tentu saja menyalahi dasar dari pengadilan dimana pengadilan itu harus berbiaya murah, diselesaikan secapatnya dan dijalankan dengan seadil-adilnya.. dalam hal faktor etis, yuridis dan politis dimana peran politik begitu besar mempengaruhi hukum kita dimanakah letak adegium yang menjelaskan jika negara kita NKRI negara yang berdasarkan hukum, dan bukan berdasarkan politik atau kekuasaan. semoga tidak ada kejadian berikutnya ataupun dijadikan juriprudensi bagi hakim-hakim setelahnya. jakarta 11 april 2017