Tuesday, June 29, 2010


Hukuman di Stadhuis Batavia
Artikel Terkait:


Tropenmuseum
Hukum Gantung di Stadhuis sekitar akhir abad 19 dan awal 20.
Senin, 21 Juni 2010 | 12:53 WIB

KOMPAS.com -- Bicara soal hukuman mati di Batavia, ternyata jumlahnya cukup banyak, khususnya dari data yang ada di awal abad 18. Data itu menjelaskan perbandingan antara hukuman mati di Amsterdam dan Batavia di mana Amsterdam dengan jumlah penduduk 210.000 orang ada lima hukuman mati per tahun. Sedangkan Batavia dengan 130.000 warga bisa dua kali lebih besar daripada jumlah orang yang dihukum mati di Amsterdam per tahun. Padahal aturan dan hukuman ala VOC sudah berlangsung sejak abad 17.



Hukuman itu berbeda-beda tiap kelompok. Misalnya, VOC yang sejak 1602 diberi hak monopoli dagang. Urusan hukum dan peraturan menjadi bagian dari hak VOC. Namun kemudian masalah berkembang karena yang bermasalah adalah bangsanya atau pegawai mereka sendiri. Di kemudian hari, dalam Kota Batavia yang sudah multietnis sejak berdiri, aturan dan hukuman itu menjadi masalah. Gamang, mana aturan dan hukum yang harus diberlakukan. Belum lagi bicara Hindia Belanda.



Pada 1621, Kelompok 17 atau Heeren Zeventien, memutuskan bahwa semua hukuman dan aturan yang berlaku di republik di mana Hereen Zeventien berkuasa, berlaku pula di Hinda Belanda. Adalah Joan Maatsuycker, ahli hukum yang juga sempat menjadi gubernur jenderal, yang kemudian menyusun hukum kolonial yang kemudian disebut Bataviasche Ordonnanties.



Hukum di Batavia ini diatur berdasarkan adat masing-masing. Jadi berbeda antara orang Etropa dan non Eropa. Di Batavia ada tiga Dinas Polisi dengan sorang kepala. Dialah yang bertanggungjawab pada penangkapan yang terjadi di wilayahnya.



Sementara itu di kompleks kastil, galangan kapal di Pulau Onrust dengan pulau-pulau lain di sekitarnya, kapal-kapal di pelabuhan, hingga gedung-gedung kompeni berada di bawah pengawasan Advokat Fiskal. Sedangkan wilayah-wilayah lain Kota Batavia diawasi oleh pegawai kehakiman serta ketua lingkungan. Itu di kawasan Batavia. Di luar Batavia, mereka disebut landdrost.



Mereka yang didakwa melakukan kejahatan atau makar akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara sambil menanti keputusan pengadilan. Status terdakwa juga menentukan apakah mereka akan bertemu dengan dewan pengadilan atau dewan pemerintahan kota. Hakim bisa menjatuhkan hukuman sangat ringan, yaitu hanya membayar denda,pemecatan, hukuman badan, sampai hukuman mati. Dan perlu diingat, semua proses itu dilakukan di balai kota.



Undang-undang Belanda menentukan, yang boleh dihukum adalah mereka yang sudah mengaku. Untuk mau mengaku, jaksa penuntut sudah menginterogasi terdakwa, dengan siksaan sekalipun. Di salah satu ruang di balai kota diyakini merupakan tempat penyiksaan tahanan. Hanya saja tak/belum diketahui di mana tepatnya ruang interogasi itu. Pokoknya tahanan disiksa agar mengaku, tepatnya mengaku karena dipaksa. Dan para hakim masa bodoh dengan teriakan para tahanan yang disiksa.



Hukuman lain yang biasanya diberlakukan bagi tentara adalah mempermalukan si terdakwa dengan memasukkan terdakwa ke dalam kerangkeng besi yang dipajang di depan balai kota. Ada lagi, namanya kuda kayu. Jadi si terdakwa di disuruh duduk di atas rak kayu dengan permukaan tajam sementara kaki mereka diberi pemberat.







Selain itu ada hukuman ayunan, di mana pegawai kompeni yang bersalah dihukum dengan cara kaki dan tangan diikat kemudian ditarik ke atas selanjutnya dibiarkan jatuh menggantung. Pada 1706, demikian dikisahkan Hans Bonke dan Anne Handojo dalam Dari Stadhuis Sampai Museum, hukuman kerangkeng dihapus tapi tidak dengan hukuman kuda dan ayunan.

No comments:

Post a Comment