Tuesday, June 29, 2010

Penjara di Balaikota (1)





Koninklijke Bibliotheek The Hague
Beginilah ilustrasi tentang balai kota di tahun 1682. Ilustrasi itu digambarkan dalam buku jurnal perjalanan Johan Nieuhoff.
Kamis, 3 Juni 2010 | 19:36 WIB

KOMPAS.com — Tanggal 7 Juli 1710 akhirnya gedung balaikota yang baru dapat diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck. Demikian tertulis dalam buku Dari Stadhuis Sampai Museum. Balaikota yang baru itu tak lain adalah gedung yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta (MSJ).

Itu artinya, pada 7 Juli mendatang, gedung itu berulang tahun yang ke-300. Sebuah perjalanan panjang menembus waktu, melewati tiga abad. Dalam rangka HUT Jakarta yang ke-483 dan HUT ke-300 gedung bekas stadhuis (balaikota), maka selama Juni hingga Juli, tulisan mengenai stadhuis akan selalu mengisi laman ini bergantian dengan persoalan Jakarta di usia yang nyaris menginjak 500 tahun.

Kisah dimulai dari keberadaan balaikota lama yang dibangun oleh Jan Pieterszoon (JP) Coen, yaitu di sebelah timur Kali Ciliwung, tak jauh dari jembatan gantung yang kini dikenal dengan nama Jembatan Kota Intan. Balaikota lama pada masa kini kira-kira ada di Jalan Tongkol, Jakarta Utara. Sayangnya, tak ada data gambar tentang bangunan tersebut.

Data tentang balaikota kedua dan balaikota yang kini jadi MSJ lebih lengkap dan disebutkan bahwa peletakan batu untuk pembangunan balaikota kedua dilakukan pada 30 Mei 1626. Ide membangun kembali balaikota kedua datang dari Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier yang berkuasa pada 1623-1627. Peletakan batu pertama sengaja dilakukan pada 30 Mei sebab pada abad itu, 30 Mei dirayakan sebagai hari berdirinya Kota Batavia.

Balaikota kedua itu berdiri di lokasi yang sama dengan stadhuis terakhir yang kemudian menjadi MSJ. Gedung yang saat pembangunan harus melalui masalah keuangan itu berlokasi tak jauh dari lapangan pasar. Namun, nama lapangan itu kemudian menjadi stadhuisplein atau lapangan balaikota, lebih mudah lagi, alun-alun.

Hans Bonke dan Anne Handojo dalam buku tersebut menjelaskan, anggaran pembangunan balaikota kedua itu diambil dari pajak penduduk. Semua penduduk Batavia, tak terkecuali. Hasilnya, terkumpul 12.500 rijksdaalders (mata uang Belanda pada akhir abad ke-16). Dan penyumbang terbesar tak lain adalah warga Tionghoa.

Gedung yang pembangunannya tidak diselesaikan ini mempunyai lonceng yang akan berbunyi manakala pintu-pintu kota ditutup dan pada saat eksekusi hukuman mati. Pada bagian belakang gedung ini terdapat lima sel. Dua sel di sebelah timur dipakai untuk pegawai VOC dan disebut Penjara Kompeni. Sel lain untuk penduduk biasa. Selain itu, balaikota ini juga berfungsi sebagai gereja dan tempat pemakaman.

JP Coen adalah salah satu “penghuni” makam di balaikota kedua ini. Saat ia meninggal pada 1629, jasadnya dimakamkan di sana dan pada 1634 dipindahkan ke gereja baru, Hollandse Kerk (kini menjadi Museum Wayang).

Sekitar 20 tahun kemudian, 1648, Gubernur Jenderal Cornelis van der Lijn yang berkuasa pada 1645-1650 mulai “gerah” atas kondisi balaikota yang compang-camping, termasuk karena atap yang dibangun pertama dibikin datar sehingga perlu dibikin atap baru.

Lagi-lagi, perbaikan balaikota ini pun mengalami kendala meski akhirnya kelar pada 1652. Bonke dan Handojo menjelaskan, bangunan bergaya Corinth itu naik sekitar 0,5 cm dan pintu masuk terbuat dari batu alam. Gedung dibangun dengan dua tingkat serta jendela kaca besar dan berteralis. Di atas atap di bagian pintu masuk gedung dipasang patung yang kemungkinan menggambarkan Dewi Justitia, Dewi Keadilan.

Data lain soal balaikota yang diperbarui ini adalah halaman belakang gedung ini berbatasan dengan tembok membatasi balaikota dengan Tijgergracht (Jalan Pos Kota) di timur, dan di barat tembok memanjang mengikuti Binnen Niewpoortstraat (Jalan Pintu Besar Utara). Seperti bangunan awalnya, di bagian belakang gedung balaikota masih terdapat sel-sel penjara.

Seperti pada pembangunan balaikota kedua, perbaikan gedung balaikota ini juga dibebankan ke penduduk melalui pajak yang sangat tinggi.

No comments:

Post a Comment