Tuesday, June 29, 2010
Penjara di Balaikota (2)
Johannes Rach-Perpus Nas RI
Stadhuis Batavia di tahun 1770 digambarkan Johannes Rach di pagi hari. Ia melukiskan detil jalur di alun-alun serta pancuran air
Minggu, 6 Juni 2010 | 22:02 WIB
KOMPAS.com — Tahun bergulir, gubernur jenderal pun terus berganti. Giliran Gubernur Jenderal Maatsuycker yang memerintah pada 1653-1678. Ia pun merasa, pembangunan pada masa sebelum dia kurang memerhatikan jumlah ruang di dalam balaikota. Maka dari itu, Maatsuycker pun menitahkan pembangunan satu kamar di dua sisi balaikota.
Kamar atau ruang itu beratap rata. Artinya, yang ditambahkan hanyalah ruang di dalam balaikota sehingga luas balaikota masih tetap sama dengan luas awal. Lima sel tahanan ada di bawah bagian gedung yang paling tua. Pada hari Minggu, di bagian atas gedung masih digunakan untuk kebaktian dalam bahasa Perancis.
Pada periode 1666-1667, Penjara Kompeni diperluas, dan pekerjaan dilakukan oleh Jan Jansz de Ruijter. Ia menambah lima sel tahanan di sisi selatan halaman belakang balaikota. Berdasarkan catatan Nicolaus de Graaf yang sempat ditugaskan di Batavia antara tahun 1639 dan 1684, Hans Bonke dan Anne Handojo dalam Dari Stadhuis Sampai Museum menulis, di halaman belakang balaikota di tempat yang dilindungi tembok bata tinggi terdapat beberapa lubang gelap tempat mengurung tahanan. Tempat itu dibikin agar tahanan tak bisa melarikan diri. Tak ketinggalan, dibangun pula tempat penjaga keamanan dan penegak hukum.
Yang dimaksud lubang gelap tadi adalah lubang tahanan dengan langit-langit sangat rendah, jendela berteralis, penuh dengan batu-batu yang dikaitkan pada kaki tahanan. Lubang hitam itu masih bisa dilihat di Museum Sejarah Jakarta dan terkenal dengan penjara bawah tanah.
Perihal rumah tahanan, rumah sipir penjara sipil pun dibangun pada tahun 1665 setelah rumah dan tanah milik warga di dekat balai kota dibeli. Pekerjaan dilakukan oleh Jacob Boulan dengan empat kuli berkulit putih dan empat budak kompeni. Sipir mendapat tempat tinggal dengan bagian belakang menyambung ke halaman balaikota, yaitu di antara jalan dan halaman belakang yang luas.
Tiga rumah tahanan dibangun lagi di antara jalan dan penjara yang sudah ada. Untuk menghindari tahanan yang berusaha kabur, tembok dibikin setebal tiga bata dengan plafon melengkung dan atap datar.
Perjalanan gedung balaikota kedua sampai tahun 1680. Kala itu, kondisinya sudah sangat rusak. Adalah Adriaan de Leeuw si pemborong bangunan. Ia jugalah yang berurusan dengan pemeliharaan gedung, tempat pertahanan, jalan, kanal, dan jembatan di dalam kota. Saat ia memeriksa bangunan balaikota kedua, kondisi bangunan sudah turun dengan atap yang bocor di mana-mana.
Fondasi tambahan di sisi timur dan barat tidak kuat menahan tembok tebal dan atap yang berat. Akibatnya, ya itu tadi, atap bocor meluas dan bangunan turun. Perbaikan dikerjakan selama sekitar lima tahun, yaitu hingga 1685. Selain perbaikan, sebuah ruang penyiksaan juga ditambahkan di gedung itu.
Tak sampai 10 tahun kemudian, balaikota kedua kembali rusak. Di sinilah dimulai pembangunan kembali gedung balaikota yang kemudian berfungsi sebagai Museum Sejarah Jakarta. Pendeteksian kerusakan sudah mulai dilakukan pada 1704 oleh pemborong Marcus de Bayonville. Turut mendukung, pegawai Kadaster (semacam Badan Pertanahan Nasional), Bartel van der Valk, dan J Kemmer si tukang kayu. Mereka mendata kerusakan apa saja yang terjadi pada gedung balaikota kedua itu.
Dua tahun kemudian, tepatnya bulan Maret, deteksi kedua dikerjakan. Dari situ muncul lagi daftar panjang kerusakan gedung ditambah usul perbaikan. Akhirnya, perbaikan besar ditetapkan selama periode 1706-1712 dengan pemborong Willem Jorisz van de Velde. Bartel van der Valk masih ikut membantu, ditambah kuli bangunan dari kampung pertukangan. Bukannya perbaikan, melainkan pembangunan gedung balaikota baru-lah yang akhirnya dikerjakan. Van de Velde mulai membangun balaikota baru pada 1707.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment