Becak
Cetak
Ditulis Oleh: Wardah Hafidz
Ultimately it is in the streets that power must be dissolved: for the streets where daily life is endured, suffered and eroded, and where power is confronted and fought, must be turned into the domain where daily life is enjoyed, created and nourished.
(Reclaim the Street, Movement, London)
Perdebatan tentang becak berkisar pada dua posisi yang saling bertentangan. Penguasa, di satu pihak, menggunakan paradigma tahun 60an yang kuat diwarnai oleh cara pandang modernisasi, termasuk di dalamnya keterpukauan pada yang serba mesin, sehingga menganggap alat transportasi yang menggunakan tenaga manusia merendahkan dan menghinakan kemanusiaan, bahkan bangsa. Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid dalam dialog dengan rakyat miskin kota Sabtu, 20 November 1999 di Stadion Utama Senayan, Jakarta, menguatkan posisi tersebut: "Di hati kecil saya, saya juga ingin supaya becak tidak ada karena dia bagian dari masalah kemiskinan. Masak orang disamakan dengan kuda," ungkapnya, menanggapi keinginan Gubernur Sutyoso untuk menghapus becak dari Jakarta. Di sisi lain, para pengemudi becak dan kelompok-kelompok civil society yang mendukung hak hidup becak di Jakarta melihat permasalahan dari sudut demokrasi, hak ekonomi rakyat yang merupakan bagian dari hak asasi, dan pertimbangan ekologis.
Paradigma usang
Sukarno pada tahun 60an mengatakan kepada kaum marhaen, jangan mau menjadi tukang becak, karena becak identik dengan penindasan manusia atas manusia. Cara pandang ini dipengaruhi dan terkecoh oleh gemerlap mobil, lampu neon, jalan-jalan lebar dan berbagai ornamen dan pernik modernisasi yang menegasikan hampir semua yang tradisional, purba, dan cara hidup ugahari yang bersahabat dengan alam. Ukuran kemajuan satu bangsa dipertaruhkan pada kemampuan rakyat untuk mengkonsumsi barang-barang produk pabrik. Keswadayaan masyarakat dan rakyat yang dihasilkan dari persahabatan erat mereka dengan alam dengan cara menggunakan bahan-bahan dari alam yang tersedia di sekitar mereka untuk bahan makanan, untuk papan, untuk sandang mereka diremehkan dan dianggap simbol kemiskinan.
Pandangan terhadap becak, satu alat transportasi yang mengandalkan kekuatan fisik manusia sendiri, tanpa harus tergantung pada mesin; yang memungkinkan si pengemudi menjadi orang merdeka karena bisa mengatur jam kerjanya sendiri; yang memungkinkan mereka bekerja sesuai kebutuhan, tidak memaksa diri dan menjadi kapitalistik; semua itu dilihat sebagai simbol keterbelakangan. Seorang anggota DPRD DKI Jakarta menjadi-kannya alasan bangsa Indonesia tidak akan bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain karena Jakarta masih mempunyai becak di jalan-jalannya.
Sementara kita tahu jelas, bahwa ukuran yang saat ini banyak digunakan untuk menen-tukan tingkat pretasi dan prestise sebuah negara dibanding lainnya , di antaranya, adalah kemampuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, termasuk upeti-upeti yang dituntut dari investor asing kepada para pejabat. Beberapa kali survei internasional dilakukan tentang masalah ini, dan Indonesia berada di peringkat pertama terburuk di Asia, dan peringkat serupa di tingkat dunia. Dari segi sosial ekonomi, ukuran adalah tingkat pendidikan, kesehatan termasuk kematian balita dan ibu hamil, dan ketersediaan lapangan kerja serta tingkat inflasi. Kita tahu, peringkat yang dibuat PBB juga menempatkan Indonesia di posisi buruk. Dari segi lingkungan dan ekologi, ukuran di antaranya dilihat dari tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, kita tahu bahwa hutan-hutan kita gundul, kota-kota besar kita tercemar air, udara dan tanahnya karena emisi gas beracun dari kendaraan bermotor, limbah pabrik dan penggunaan bahan-bahan kimia beracun.
Becak, sama sekali bukan ukuran pembanding antar negara untuk menilai prestasi dan prestise. Pandangan seperti yang dikemukakan orang-orang yang mengaku wakil rakyat di DPR/D itu lebih merupakan cara pikir feodal dan modernis yang sempit, yang tidak mempunyai kesadaran historis dan ekologis atas perkembangan jaman dan permasalahan utama yang berada di depan mata kita semua.
Becak adalah jawaban, bukan masalah kemiskinan
Indonesia terjerembab ke dalam krisis ekonomi (juga politik) sejak sekitar dua tahun lalu. Jutaan orang kehilangan lapangan kerja, terutama mereka yang berada di sektor formal modern seperti properti, pabrik, dan sejenisnya. Jumlah orang miskin melonjak menjadi sekitar 80 juta, di kota dan di desa. Mereka berjuang untuk bertahan hidup, dengan kreatif memasuki dan terserap oleh kegiatan ekonomi sektor informal. Tanpa adanya sektor penyangga ini, kita tidak bisa membayangkan ketegangan sosial macam apa yang akan terjadi.
Becak adalah salah satu lapangan kerja yang di Jakarta saat ini menyerap sekitar 10 ribu tenaga kerja yang sebelum menjadi buruh bangunan, buruh pabrik, pekerja-pekerja rendahan di kantor-kantor swasta. Jika masing-masing mempunyai 3 orang anggota keluarga, satu istri dan dua anak, maka kegiatan menarik becak ini telah menghidupi 10 ribu keluarga, 40 ribu orang. Kegiatan ini, selain memberi pendapatan pada pemerintah kota melalui retribusi yang entah dimasukkan ke dalam kas negara atau kantong si petugas, menghidupi berbagai usaha ekonomi rakyat miskin lainnya seperti pedagang nasi dan makanan, pengusaha MCK, pemilik rumah kontrakan. Komponen becak juga tidak membebani negara karena berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor. Artinya, becak juga membuka lapangan kerja untuk bengkel, industri kecil dan rumahan yang membuat berbagai komponennya yang sebagian dibuat secara daur ulang.
Secara ekologis, becak jelas bukan jenis alat transportasi yang menghasilkan polusi udara, air ataupun tanah, tidak juga polusi suara. Dalam kategori ini becak justru masuk ke dalam kategori alat transportasi alternatif yang cocok untuk bumi yang ozonnya sudah bolong, dan alamnya sudah rusak parah karena polusi. Sebagaimana kita tahu, berbagai negara maju saat ini sedang melakukan eksperimen untuk menemukan kendaraan motor berbahan bakar non-polutif. Berbagai kota seperti Oxford di Inggris dan Berlin di Jerman justru mulai menggunakan becak seperti yang ada di Indonesia untuk kendaraan umum. Singapura yang merupakan salah satu negara paling modern di Asia juga masih mempertahankan becak untuk atraksi turisme – satu bukti lagi bahwa becak bukanlah sumber kenistaan bagi bangsa, tapi bahkan bisa menjadi daya tarik turis asing artinya, sumber pendapatan untuk negara.
Becak, sebagai kendaraan jarak pendek, juga mempunyai daya tampung cukup banyak, bisa mengakomodasi lebih dari satu orang, dan mengangkut sejumlah besar barang. Relasi dan interaksi antara pengemudi dan penumpang akrab dan didasarkan pada rasa saling percaya. Kita tahu banyak ibu-ibu kelas menengah bawah yang mempercayakan penjemputan anak-anaknya dari sekolah kepada para abang becak. Perempuan-perempuan pedagang di pasar tradisional mempercayakan keamanan barangnya pada tukang becak. Perumahan-perumahan dan toko-toko justru aman karena ada becak yang mangkal di sekitar mereka.
Becak penyebab masalah sosial dan politik?
Gubernur Sutyoso dalam pernyataan persnya Minggu, 21 November 1999 menyatakan dengan semena-mena dan tanpa landasan bukti data bahwa becak menimbulkan masalah sosial politik di Jakarta. Gubernur Sutyoso memang pejabat yang berasal dari masa Orde Baru. Bukan rahasia umum lagi bahwa sebagai Pangdam Jaya, ia menjadi salah satu pejabat militer yang harus bertanggung jawab atas peristiwa penyerangan markas PDIP pada 27 Juli 1997, dan ketika menjadi Gubernur, membawahi wilayah administrasi yang paling korup di Indonesia. Namun, kondisi politik saat ini sudah berubah, dan Sutyoso hendaknya tidak menggunakan cara-cara Orde Baru, di mana pejabat dapat membuat pernyataan publik apapun sesuai kehendaknya yang kemudian harus diperlakukan sebagai kebenaran tunggal. Juga sudah bukan masanya lagi untuk pihak eksekutif membawahi pihak legislatif termasuk dengan menggunakan uang. Walaupun masih menjadi tanda tanya apakah untuk DKI Jakarta, prinsip baru ini sudah mulai berlaku.
Akar permasalahan sosial dan politik, sebagaimana kita telah semua tahu dan telah terbukti dari banyak data dan kasus selama ini, justru adalah kepentingan politik dan vested interest para elit penguasa, apakah itu penguasa sipil maupun militer dan polisi. Mereka yang mempunyai kekuasaan mengambil keputusan dan kekuasaan uang, dan mereka yang mempunyai kekuasaan senjata, semua itulah yang selama ini telah memainkan emosi, nasib dan kehidupan massa rakyat, termasuk tukang becak, untuk kepentingan sempit mereka. Terlalu banyak bukti dan data yang bisa dikemukakan, sehingga sulit untuk siapapun menolak argumentasi ini. Mengenai, massa rakyat yang menjarah pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, misalnya, telah dibuktikan baik oleh tim TGPF maupun data lapangan yang dikumpulkan oleh tim kampung UPC (Urban Poor Consortium) bahwa massa rakyat diprovokasi; kesenjangan sosial ekonomi yang menempatkan mereka di posisi marginal dimainkan dan dipicu sehingga mereka melakukan penjarahan. Tukang becak yang marah dan konflik keras dengan pengemudi mikrolet di beberapa wilayah Jakarta, misalnya, bertindak nekat karena jalur nafkah mereka dirampas secara sepihak, tanpa musyawarah. Ketika pertemuan musyawarah dilakukan, koeksistensi damai bisa kembali dipelihara antar berbagai jenis alat transportasi tersebut. Artinya, rakyat mampu mengelola konflik antar mereka sendiri dengan baik jika kekuatan dan campur tangan kepentingan luar tidak ikut bermain.
Tuduhan lain yang sering dilontarkan sebagian orang terhadap becak adalah sebagai penyebab kemacetan. Kita perlu jernih memahami masalah ini. Pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari, kita lihat bahkan jalan tol pun, yang tidak ada becak di sana, juga macet. Seluruh jalan di Jakarta, dari yang paling lebar sampai gang-gang kecil, pada waktu-waktu tersebut macet dan padat.
Dua akar masalah kemacetan jalan bisa diditeksi di sini: kebijakan sistem transportasi Jakarta, dan disiplin polisi sebagai penjaga lalu lintas. Pemahaman yang salah terhadap modernitas dan modernisasi sangat mewarnai kebijakan sistem transportasi Jakarta. Pemda, selama ini, telah memprioritaskan penambahan dan pemilikan mobil pribadi. Maka jalan tol, jalan layang, dan jalan-jalan lebar dibangun. Sarana transportasi umum seperti bus yang bisa mengangkut banyak orang jumlahnya sangat timpang dibanding jumlah mobil pribadi. Rapid mass transport seharusnya menjadi prioritas Pemda.
Situasi diperburuk oleh para polisi lalu lintas yang dengan mudah bisa disogok oleh para pelanggar peraturan. Jenderal Kunarto, ketika menjadi Kapolri mengakui hal ini ketika mengatakan bahwa satu-satunya polisi yang tidak bisa disuap adalah polisi patung. Sikap korup ini menjadikan para pemakai jalan tidak berdisiplin. Kendaraan umum berhenti seenaknya mencari penumpang, pejalan kaki membuat terminal bayangan di mana-mana sehingga jalan macet, mobil-mobil pribadi dengan tenang melakukan pelanggaran karena tahu pasti mereka bisa bebas dengan menyogok lima atau sepuluh ribu rupiah kepada polisi. Disiplin berlalu lintas akan bisa ditegakkan jika dimulai dari ditegakkannya disiplin secara ketat di kalangan polisi.
Sikap arif sebagai pemecahan
Apakah penggusuran becak merupakan pemecahan masalah kemiskinan? Jelas tidak. Pemberian hak hidup kepada becak di Jakarta adalah sikap yang lebih realistis dan masuk akal karena beberapa pertimbangan. Pertama, pemerintah saat ini kesulitan menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja sementara lewat proyek padat karya bukanlah pemecahan. Menggunakan contoh proyek yang sama pada tahun anggaran 1998/1999, setiap orang yang terlibat dalam program ini mendapatkan imbalan Rp.7.500, jumlah yang sama sekali tidak cukup untuk hidup satu orang di Jakarta satu hari, apalagi untuk satu keluarga. Dana hutang yang terbatas baik dalam jumlah maupun waktu untuk proyek ini, di samping kemungkinan kebocoran karena KKN yang masih jamak terjadi di kalangan birokrasi DKI Jakarta, menjadikan alternatif ini pemecahan tambal sulam yang tidak memecahkan masalah. Para penarik becak bisa mendapatkan uang antara 10 ribu sampai 15 ribu sehari, jumlah yang pasti lebih besar. Membiarkan mereka ada tetapi kemudian mengatur keberadaannya di daerah perumahan, di jalan-jalan non-protokol dan di wilayah-wilayah serupa yang membutuhkannya merupakan cara yang lebih realistis untuk menangani permasalahan becak. Kenyataan bahwa becak bisa mendapatkan nafkah sejumlah tersebut di atas menunjukkan bahwa mereka dibutuhkan oleh para konsumen.
Kedua, pemberian hak hidup kepaca becak di Jakarta menunjukkan sikap kita yang konsisten terhadap upaya demokratisasi, penghargaan pada pluralitas, termasuk keragaman sarana transportasi dan pembagian wilayah hidup di jalan raya. Mereka yang lemah dan kecil seperti becak, boleh berada bersama dengan bus yang besar, mobil pribadi yang mewah, kereta api dan sebagainya. Permasalahannya adalah bagaimana pemerintah dapat mengatur sehingga tercipta kohabitasi yang damai dan adil.
Ketiga, penertiban sesungguhnya harus dilakukan pada siapa? Jika itu dilakukan pada tukang becak, maka kita telah menerapkan hukum si kuat yang menang, si lemah harus dikorbankan. Dengan kata lain, penertiban dan penegakan hukum harus dimulai dari para aparat pemerintah termasuk polisi dan tentara, dan harus dilakukan secara top-down.
Alasan terakhir, becak adalah bagian dari ciri dan sejarah Asia, ciri dan sejarah kita. Kekayaan sejarah dan akar ini perlu kita pelihara untuk tidak menjadikan kita bangsa yang tercabut dari dan kehilangan akar.
Sunday, November 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment