Sunday, November 1, 2009
kali ciliwung jakarta
ORANG BELANDA DULU MINUM AIR CILIWUNG
----------------------------------------------------------------------
JAKARTA mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang mempunyai paling
banyak sungai, yang membelah-belah wilayahnya dari selatan ke utara.
Menurut perhitungan secara kasar, paling tidak ada 6-7 sungai. Di arah
barat terbentang Kali Angke, Kali Krukut, Kali Grogol. Di tengah-tengah
kota mengalir Kali Ciliwung. Di bagian timur kita menemukan Kali
Gunungsahari dan Kali Sunter. Ada lagi Kali Besar yang menampung air
Kali Krukut di ujung barat Jalan Pancoran (Medan Glodok) selewat
jembatan Toko Tiga, Jakarta Kota dan membawanya terus mengalir ke arah
barat, untuk akhirnya membelok ke utara,
Belum lagi anak sungai, terusan atau parit lebar yang menghubungkan
aliran sungai yang satu dengan yang lain. Orang awam bisa pusing kalau
mau menghitung atau menelusurinya satu demi satu.
Tempo doeloe jumlah itu lebih banyak lagi. Khususnya di bagian utara
kota, yang oleh orang Belanda dinamakan beneden stad atau kota bawah,
yakni daerah Mangga Besar ke arah utara. Kali Ciliwung yang mengalir
lurus bagaikan garis mistar, membelok ke timur setibanya di seberang
jalan Labu di Hayam Wuruk dan menumpahkan aimya ke Kali Tangki di sisi
jalan tersebut.
Aliran Ciliwung itu pun masih terus lagi ke utara, menyusuri sisi timur
Medan Glodok dan baru membelok ke timur setelah melewati gedung bioskop
Pelangi, yang kemudian menjadi gedung pertokoan Harco. Sebagian lagi
menumpahkan air ke Kali Besar yang pada masa itu. membentang dari timur
ke barat, menyusuri jalan Pancoran (di seberang Glodok Building
sekarang) sampai melewati jembatan Toko Tiga yang disebutkan di atas.
Bagian Kali Besar yang menyusuri jalan Pancoran kini sudah tidak ada
lagi, mungkin telah menjadi riol tertutup.
Mendiang ayah saya sering berceritera, bahwa semasa hidupnya sampai
akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, tepat di tengah-tengah jalan
Kongsi Besar sepanjang jalur jalan yang kini menjadi lokasi kios-kios,
pun dialiri sebuah sungai, Di masa remaja saya, kali di Kongsi Besar
itu. sudah tidak ada. Hanya tinggal palang-palang pipa besi bergaris
tengah kurang lebih 10 sentimeter, yang dulunya memagari kedua sisi
sungai. Sungainya sendiri sudah menjadi lapangan tempat bermain
anak-anak, terutama di sore hari.
Pada tahun 1944-1945 (zaman jepang) palang-palang itu dibongkar jepang
bersama dengan palang palang serupa yang memagari seluruh tepi Kali
Ciliwung. Konon semua palang itu diangkut ke jepang, karena industri
perang jepang pada masa itu kekurangan bahan baku besi.
Kali Ciliwung diperjual belikan
------------------------------------
Jumlah Kali-kali di Jakarta mencatat rekor di masa kekUasaan Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC atau Kompeni di mulut rakyat). Orang
Belanda pada masa itu sangat gemar menggali Kali-kali buatan yang mereka
namakan gracht (jamak: grachten). Konon karena mereka rindu akan kota
Amsterdam di negera asal mereka yang sampai kini masih terbelah-belah
oleh banyak grachten.
Sementara itu ada juga kali yang dibuat pihak swasta dengan seizin
Kompeni, bukan atas dasar rasa rindu tadi, melainkan demi pertimbangan
komersial-ekonomis. Kali-kali atau grachten itu menghubungkan aliran
sungai-sungai alamiah yang satu dengan yang lain. Sungai-sungai itu.
merupakan sarana utama bagi angkutan barang-barang dagangan. Banyak
sampan pengangkut barang-barang itu'potong kompas'agar lebih cepat tiba
di tempat tujuan. Dalam hal demikian, mereka memasuki kali-kali buatan
tadi dan oleh pemiliknya (pembuat kali-kali itu) sampan-sampan tersebut
diharuskan membayar tol. Tidak berbeda dengan keadaan sekarang, kalau
kendaraan bermotor melewati jalan tol.
Bagian Kali Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara, dulunya kali
swasta dengan aturan bayar tol kalau melaluinya. Kali yang oleh orang
Belanda dinamakan Molenvliet itu dibuat oleh kepala warga Cina (kapitein
der Chinezen) di Betawi, Phoa Bing Ham. Orang Belanda menamakannya
Bingam. Pada tahun 1648 Bingam mendapat izin dari Kompeni untuk membuat
Kali tersebut dan memungut tol dari sampan-sampan yang lewat di sana.
Pada tahun 1654 Molenvliet diambil alih Kompeni dengan harga 1.000 real.
Bingam, melepaskannya karena eksploatasinya tidak lagi menguntungkan,
sehubungan dengan penggalian terusan-terusan baru oleh Kompeni sendiri,
Sampai pecah Perang Dunia 11, sejumlah jalan tertentu di bagian utara
kota dikenal sebagai Amsterdamschegracht (kini jalan Tongkol),
Leeuwinnegracht (kini jalan Cengkeh), Groenegracht (kini Jalan Kali
Besar Timur Ill) dan sebagamya. Hal itu menunjukkan bahwa pada zaman
Kompeni, di sana terbentanc Kali-kali buatan.
Pancoran: pemasok air minum
-----------------------------------
Di samping berfungsi sebagai sarana penanggulangan banjir dan angkutan
barang, sungai-sungai itu "tempo doeloe" juga menjadi sumber air minum
utama bagi warga kota. Sampai abad ke-19 air Kali Ciliwung dipergunakan
oleh orang-orang Belanda di Betawi sebagai air minum. Air kali itu
mula-mula ditampung (dalam semacam waduk waterplaats atau aquada).
Lokasi waduk itu semula dibangun dekat benteng Jacatra di bagian utara
kota kemudian dipindahkan ke tepi Molenvliet sekitar daerah Medan Glodok
yang sekarang.
Waduk air itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan
air dari ketinggian kira-kira 10 kaki (kurang lebih 3 m). Kemudian
daerah sekita lokasi waduk dinamakan Pancuran, yang di lidah orang
Betawi menjadi Pancoran. Dari sana air diangkut dengan perahu ole para
penjual air (waterboeren) dan dijajakan ke kota.
Tampaknya pengertian masyarakat tentang higina dan kesehatan pada masa
itu masih sangat terbatas. Air Kali Ciliwung itu diminum begitu saja
tanpa proses penjernihan seperti yang sekarang dijalankan oleh PAM.
Hal itu sempat menimbulkan problem kesehatan yang serius pada masyarakat
Belanda. Pada abad ke- 18 dan dasa warsa pertama abad ke-19 itu,
penyakit disentri, typhus, bahkan juga kolera, merajalela di antara
mereka. Sebagai penyebabnya disebut air Kali Ciliwung tadi.
Buku Dr. de Haan mengetengahkan bahwa tentang hal terakhir itu sempat
timbul perbedaan pendapat di kalangan para 'ahli' Belanda. Ada 'ahli'
yang menyatakan pada tahun 1648 bahwa air Ciliwung sangat baik
(voortreffelljk). Mungkin memang demikian halnya selagi daerah-daerah di
pinggiran kota, di arah hulu kali, masih penuh hutan tanpa penghuni.
Ketika kemudian pembukaan hutan-hutan dan penggarapan tanah semakin
meluas, dan pemukiman makin meningkat, air Kali pun semakin tercemar.
Pada tahun 1689 seorang 'ahli' lain mencatat bahwa air yang keluar dari
pancuran waduk di Pancoran sangat keruh, balikan berlumpur di musim
hujan!
Sekitar tahun 1685 seorang 'ahli'lain lagi tegas-tegas mengatakan bahwa
di dalam air itu terdapatbinatang-binatang halus' yang tak tampak mata
(onzichtbare beesjes). 'Binatang-binatang halus' yang tentu tak lain
dari kuman-kuman itu akan mati kalau. air dimasak sebelum diminum,
seperti yang biasa dilakukan orangorang Hindoestanners (yang dimaksud
tentu orang-orang India) dan orang-orang 'pribumi' lainnya.
Hal ini pada hakikatnya suatu petunjuk yang jelas bahwa kesehatan dapat
terpelihara lebih baik jika orang minum air matang. Lebih-lebih karena
pada tahun 1661 sudah ada laporan dari Banjarmasin bahwa orang-orang
Belanda di sana meng anut kebiasaan mengendapkan air minumnya satu hari
dan kemudian memasaknya. Namun demikian orang-orang Belanda di Betawi
masih belum yakin.
Teh dan tempayan
-------------------------
Sementara itu seorang dokter bernama Thunberg menemukan ~enyataan, bahwa
orang~orang Cina di Betawi yang sehari-hari biasa minum teh, ternyata
jarang atau tidak pernah dihinggapi penyakit-penyakit tersebut di atas.
Thunberg berkesimpulan bahwa pencegahan penyakit itu bukan soal
pemasakan air, tetapi khasiat daun teh!
Seorang 'ahli' terkemuka lebih hebat lagi pernyataannya. Air 'Ciliwung
pada hakikatnya tidak seburuk yang dibayangkan orang, asal bisa
melupakan sama sekali segala yang biasa dilemparkan ke dalam kali itu.
Bayangkan, orang dianjurkan untuk menyingkirkan dari ingatan bahwa
Ciliwung antara lain berfungsi sebagai jamban umum,
Anehnya, tidak pernah terlintas dalam pikiran orang-orang Belanda di
Betawi untuk menggunakan sumur sebagai sumber air, minum. Padahal waktu
itu sudah banyak rumah tinggal yang memiliki sumur. Air sumur pasti
lebih jernih dan lebih bebas dari segala macam pencemaran daripada air
kali, asalkan cara pembuatannya tepat dan seterusnya terpelihara dengan
baik. Tetapi sumur yang sekaligus juga menampung air hujan, pada umumnya
hanya dipergunakan untuk berbagai keperluan dapur saja.
Betapapun, akhirnya disadari juga bahwa kondisi air minum berperan
penting dalam pemeliharaan kesehatan. Pada hakikatnya antara abad ke-17
dan ke-19 sudah ada usaha-usaha menjernihkan air kali untuk air minum.
Caranya sederhana saja. Air itu diendapkan dalam beberapa tempayan
(matravan). Mulamula air diendapkan dalam tempayan pertama, lalu
dipindatikan ke dalam tempayan kedua, ketiga dan seterusnya. Ketika
masuk ke dalam tempayan terakhir, air sudah jernih. Tetapi apakah
sekaligus sudah bebas kuman, masih merupakan tanda tanya.
Pada tahun 1811, ketika pecah perang antara negeri Belanda dan Inggris,
diperkirakan bahwa tentara Inggris akan segera mendarat di Betawi.
Pemerintah kota Betawi mengeluarkan perintah agar warga kota
menghancurkan semua tempayan mereka, kecuali yang sangat diperlukan
saja. Maksudnya supaya tentara Inggris tidak memperoleh. air minum bila
mendarat di Betawi. Dengan demikian mereka akan terpaksa minum air kall
dengan akibat akan kena sakit perut. Sejarah membuktikan bahwa siasat
itu tidak efektif.
Cara penjernihan lain ialah dengan menyaring air di dalam leksteen,
yakni semacam kendi dari keramik berbentuk tabung dengan keran di
bawahnya. Di dalamnya terdapat 'kendi tabung' lagi yang lebih kecil,
dari sejenis batu karang yang tembus air (poreus). Air dimasukkan ke
tabung-dalam itu. Di sana air itu mengendap dan merembes ke tabung-luar
yang lebih besar. Kalau keran dibuka, air yang mengucur dari sana jernih
lagi sejuk rasanya.
Penggunaan tempayan untuk mengendapkan air minum, sekaligus tempat
menyimpan persediaan air pun sudah tidak asing lagi bagi rakyat sebelum
orang Barat ke sini. Kendi air juga sudah umum dipergunakan rakyat kita
di masa 'tempo doeloe' sekali. Bedanya kendi dan tempayan-tempayan kita
terbuat dari tanah liat.
Dikirim air dari Bogor
------------------------------
Sementara itu ada juga orang-orang Belanda Betawi yang tampaknya enggan
minum air kali dalam keadaan yang sudah dijernihkan sekali pun. Buku Dr.
de Haan menyebutkan bahwa sebagian orang Belanda biasa minum
Seltzelwater, yakni air impor yang di masa itu sangat banyak didatangkan
dari luar negen ke Betawi dengan nama 'ayer Belanda. Harganya mahal
sekali: satu ringgit (rijksdaalder atau dua ratus lima puluh sen) per
guci (kruik) kecil. Sudah barang tentu hanya orang-orang kayaraya saja
yang kuat membayarnya.
Orang-orang Belanda yang cukup kuat keuangannya mendatangkan air minum
dari daerah Bogor (1773), yakni air sumber yang jernih. Konon gubernur
jenderal Belanda pada masa itu juga menerima kiriman air sumber dari
Lontho (Lontar, di belakang Bogor).
Sampai dengan dasa warsa ke-2 abad ke-20 ini, penggunaan air sumber
untuk minum juga populer di kalangan rakyat Betawi. Semasa saya masili
bocah yang suka berlarian di jalan dalam celana monyet, kampung tempat
tinggal keluarga saya terkadang dikunjungi 'gerobak tangki' yang
menjajakan air sumber dari Kampung Lima (entah di mana pula letak
kampung itu).
Air itu dijual per kaleng minyak tanah. Ibu saya selalu membeli untuk
menambah persediaan air minum kami (air hujan). Setiap kali turun hujan
deras, almarhum ayah saya selalu menampung dan menyimpan sekaligus
mengendapkan dalam sejumlah tempayan.
Tulisan Tanu Trh
dalam Intisari, bulan Juni 1980
=============================================================
tulisan diambil buku
BATAVIA
"Kisah Jakarta Tempo Doeloe"
terbitan Gramedia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment