Tuesday, April 27, 2010

nama daerah di Jakarta dan asal usulnya

Marunda
Kawasan Marunda sekarang menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara. Namanya diambil dari nama sungai yang mengalir di situ, yaitu Kali Marunda.
Marunda adalah sebutan setempat bagi semacam pohon mangga yang aroma buahnya wangi menyengat, biasa disebut lembem atau kebembem. Nama ilmiahnya: Mangifera Laurina BI (Fillet 1888:210).
Nama kawasan itu mulai disebut – sebut pada pertengahan di tepi sebelah barat Kali Marunda. Kubu tersebut pada tahun 1664 dipindahkan ke tepi sebelah barat Kali Bekasi, dikenal dengan sebutan Wagt Barangcassi. Dengan keputusan pimpinan VOC di Batavia tanggal 19 September 1747, ditetapkan bahwa di Marunda dibangun lagi kubu pertahanan yang pengurusannya diserahkan kepada Justinus Vinck, Tuan tanah yang antara lain memiliki Pasar Senen, yang sangat berkepentingan untuk menjaga rumah peristirahatannya (Landhuis Cilincing) berikut tanah – tanah di sekitarnya. (De Haan 1911, (II):408).

Matraman
Dewasa ini Matraman menjadi nama sebuah kecamatan, Kecamatan Matraman, Kotamadya Jakarta Timur.
Mengenai asal – usul namanya, sampai sekarang belum diperoleh keterangan yang cukup memuaskan. Pada umumnya memperkirakan kawasan itu dahulu dijadikan perkubuan oleh pasukan Mataram dalam rangka penyerangan Kota Batavia, melalui darat. Tidak mustahil kalau di kawasan itu dibangun kubu – kubu pasukan dari Sumedang dan Ukur (Bandung). Pada waktu Mataram menyerang Batavia, Ukur dan Sumedang merupakan bagian dari Kesultanan Mataram, dan memang diberitakan ikut berpartisipasi.
Prof. Dr. Joko Soekiman dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul Kebudayaan Indis, menyatakan bahwa. “Di JakartaMatraman merupakan tempat tinggal Tuan Matterman “ (Soekiman 2000:217) tanpa keterangan lebih lanjut mengenai sumbernya.
Dugaan lainnya, nama tersebut adalah warisan pengikut Pangeran Diponegoro, sebagaimana ditulis oleh Mohammad Sulhi dalam Majalah Intisari Juni 2002, dengan Judul Betawi yang Tercecer di Jalan. Dugaan ini mungkin melesat, karena jauh sebelum Perang Diponegoro, pada tahun 1789 Matraman sudah disebut – sebut sebagai milik tuan tanah David Johannes Smith (De Haan 1910, (I):64). Menurut F. de Haan dalam bukunya yang berjudul Oud Batavia, kawasan itu diberikan kepada orang – orang Jawa dan Mataram ( De Haan 1935:67) mungkin setelah Mataram berada di bawah pengaruh Kompeni, menyusul ditandatanganinya perjanjian antara Mataram dengan VOC tertanggal 28 Februari 1677 (Colenbrander 1925:173). Mungkin orang – orang Mataram yang ditempatkan dikawasan itu, adalah mereka yang pada pertengahan abad ketujuhbelas diberitakan berada disekitar Muaraberes sampai di kawasan Karawang (De Haan 1910, 1:262). Di antara mereka mungkin ada yang mempunyai keahlian, sebagai pengrajin barang – barang dari perunggu, atau gangsa, mereka membuka usaha di tempat yang kini dikenal dengan nama Pegangsaan.

Menteng
Merupakan nama daerah yang ada di selatan kota Batavia. Semula daerah ini merupakan hutan dan banyak ditumbuhi pohon buah – buahan. Karena banyaknya pohon Menteng yang tumbuh di daerah ini, maka masyarakat mengaitkan nama tempat ini dengan Kelurahan dan sekaligus juga nama Kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Pusat.
Sejak tahun 1810 wilayah ini telah mulai dibuka oleh Gubernur Jenderal Daendels untuk daerah pengembangan kota Batavia. Kemudian pada tahun 1912 tanah yang ada disekitar kampung Menteng ini dibeli oleh pemerintah Belanda untuk dijadikan perumahan bagi pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Sampai sekarang kita dapat menyaksikan peninggalan Belanda di perumahan Menteng. Rumah – rumah ini dibangun dengan konsep rumah Belanda yang dikombinasikan dengan gaya rumah Jawa atau disebut juga dengan konsep Indis ( percampuran gaya rumah Belanda dengan gaya rumah Jawa).
Wilayah Menteng dalam perkembangannya dipertegas lagi dengan membagi – bagi nama Menteng, sehingga terdapat nama kampung lebih kecil didalam kampung yang luas, ada nama Menteng atas, Menteng Dalam, Menteng Pulo dan sebagainya.

Paal Meriam
Merupakan nama tempat yang terletak di antara perapatan Matraman dengan Jatinegara. Asal usul nama tempat ini berasal dari suatu peristiwa sejarah yang terjadi sekitar tahun 1813. Pada waktu itu pasukan artileri meriam Inggris mengambil tempat di daerah ini untuk posisi meriam yang siap ditembakkan. Pasukan meriam Inggris disiapkan didaerah ini untuk melakukan penyerangan ke kota Batavia. Peristiwa tersebut sangat berkesan bagi masyarakat sekitar daerah itu, sehingga menyebut daerah ini dengan sebutan tempat paal meriam (tempat meriam disiapkan).
Cerita lain menyebutkan bahwa pada waktu Gubernur Jenderal Daendels membuka jalan yang disebut dengan jalan trans Jawa dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jawa Timur), daerah paal meriam ini dipasang patok jalan yang terbuat dari meriam yang sudah tidak terpakai. Masyarakat setempat sering melihat meriam tersebut sebagai patok jalan atau disebut juga paal jalan yang terbuat dari meriam, maka daerah itu disebut dengan paal meriam.

Pajongkoran
Wilayah Kelurahan Koja Selatan, Kecamatan Tanjungpriuk, dan Wilayah Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara, sampai akhir tahun enampuluhan abad ke-20 lalu dikenal dengan sebutan Pajongkoran. Entah apa sebabnya nama itu dihilangkan dan peta – peta yang terbit kemudian.
Kawasan tersebut dikenal dengan nama Pajongkoran, karena dari tahun 1676 sampai tahun 1682 dikuasai oleh Kapten Jonker, seorang kepala pasukan orang- orang Maluku yang mengabdi kepada VOC.
Kata Jonker bukanlah nama diri, melainkan gelaran, yaitu padanaan dari tamaela, gelaran kehormatan di Ambon pada jaman itu. Pada sebuah akte tertanggal 22 Nopember 1664, namanya ditulis JonckerJouwa de Manipa (De Haan 1919:228 – 229).
Tanah seluas itu diberikan sebagai hadiah bagi jasa – jasanyadi berbagai medan perang, seperti di Timor, Srilangka di bawah Van Goens di Sumatera Barat di bawah Poleman, di Sulawesi Selatan di bawah Speelman, di Jawa Timur pada waktu Kompeni “membantu” Mataram memadamkan pemberontakan Pangeran Trunojoyo, di Palembang dan terakhir pada peperangan di Banten, waktu Kompeni “membantu” Sultan Haji melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa (De Haan 1935:372). Pada tahun 1682 (Poespo Negoro 1984, (III):71).
Menjelang akhir hayatnya, Jonker merasa disia – siakan disamping mendapat tekanan – tekanan dari pejabat – pejabat Belanda yang tidak menyenanginya, seperti Mayor Isaac de Saint Martin, yang memimpin Kompeni ke Banten, sebelum pasukan yang dipimpin Jonker terlibat dalam peperangan itu. Pada tahun1689, dengan tuduhan akan berbuat makar, tempat kediamannya diserbu, Jonker sendiri menemui ajalnya dengan tragis.
Reply With Quote
mangeben
View Public Profile
Send a private message to mangeben
Find all posts by mangeben
#22
Old 27th November 2007, 18:27
mangeben mangeben is offline
Addict Member

Join Date: Nov 2007
Posts: 148
mangeben is a new comer
Send a message via Yahoo to mangeben
Default
Pancoran
Pancoran terletak di Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari Kotamadya Jakarta Barat.
Pancoran berasal dari kata Pancuran. Di kawasan itu pada tahun 1670 dibangun semacam waduk atau “aquada” tempat penampungan air dari kali Ciliwung, yang dilengkapi dua buah pancuran itu mengucurkan air dari ketinggian kurang lebih 10 kaki.
Dari sana air diangkut dengan perahu oleh para penjaja yang menjajakannya disepanjang saluran – saluran (grachten) di kota. Dari tempat itu pula kelasi- kelasi biasa mengangkut air untuk kapal – kapal yang berlabuh agak jauh dilepas pantai, karena dipelabuhan Batavia kapal tidak dapat merapat. Karena banyaknya yang mengambil air dari sana, sering kali mereka harus antri berjam – jam. Tidak jarang kesempatan itu mereka manfaatkan untuk menjual barang – barang yang mereka selundupkan.
Dari penampungan di situ kemudian air disalurkan ke kawasan kastil melalui Pintu Besar Selatan. Rancangannya sudah dibuat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Durven (1728 – 1732), tetapi dilaksanakan pada awal masa Van Imhoff berkuasa (1743 – 1750). Dengan demikian maka pengambilan air untuk keperluan kapal menjadi tidak terlalu jauh sampai melewati kota.
Dengan adanya saluran air dari kayu itu, maka di halaman Balikota (Stadhuis) dibuat pula air mancur. Sisa – sisa salurannya masih ditemukan pada tahun 1882, yang ternyata berbentuk balok kayu persegi empat yang dilubangi, disambung – sambung satu sama lain direkat dengan timah (De Haan 1935; 299 – 300).

Pasar Baru
Merupakan nama sebuah pasar yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Sebutan nama Pasar Baru, karena pasar ini merupakan pasar yang ada belakangan setelah lingkungan sektor lapangan Gambir dibuka oleh Gubernur Jenderal Daendels. Daerah yang dibangun oleh Daendels sebagai pusat pemerintahan Hindi Belanda yang baru, daerah ini disebut Weltevreden ( tempat yang menyenangkan). Disekitar weltevreden telah ada pasar seperti pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Untuk membedakan satu sama lain, Daendels menyebut pasar itu sebagai Pasar Baru. (Yang baru dibangun).
Lahan sebagai lokasi Pasar Baru telah dibeli oleh Daendels dan telah direncanakan sebagai tempat pembangunan pasar sejak tahun 1821. Pasar ini bertujuan untuk menjual kebutuhan masyarakat Eropa yang bermukim di Weltevreden. Pembangunan Pasar Baru dimulai pada tahun 1821. sejak I Januari 1825, kios (bangunan) yang ada di Pasar Baru mulai disewakan kepada pedagang yang umumnya dari kelompok Cina, India dan Arab.
Pada awal mulanya, hari pasar di Pasar Baru adalah Senin dan Jumat, kemudian berubah menjadi setiap hari karena masyarakat Eropa mulai bertambah banyak. Pengunjung lebih banyak dating ke Pasar Baru dan merupakan kebiasaan masyarakat Eropa yang keluar rumah dengan dandanan ala Eropa melakukan perjalanan dan belanja ke Pasar Baru.

Paseban
Merupakan nama kampung sekaligus nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Paseban berasal dari kata yang artinya tempat berkumpul, yaitu tempat berkumpulnya pasukan Sultan Agung dari Jawa Tengah dalam penyerangan Kota Batavia pada tahun 1628 – 1629. Letak kampung Paseban dekat dengan kampung Matraman yang memiliki sejarah asal – usul yang sama.

Pegangsaan
Pegangsaan dewasa ini menjadi nama kelurahan, termasuk, wilayah Kecamatan Menteng, Kotamadya Jakarta Pusat.
Dalam Majalah Intisari Juni 2002, Mohammad Sulhi menyatakan dugaannya, bahwa Pegangsaan, yang terkenal sebagai tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, “dulunya tempat angon atau pemeliharaan angsa”. Dugaan demikian mungkin saja benar, seperti halnya dugaan lainnya.
Kemungkinan lainnya, kawasan tersebut dahulunya menjadi tempat pengrajin barang – barang dari perunggu, atau gangsa. Tempatnya biasa disebut pegangsan atau pegangsaan. Para pengrajin itu akhir abad ketujuhbelas membuka kawasan Matraman (De Haan 1935:67). Di Kota Bogor, tempat yang dahulunya dihuni oleh orang – orang Jawa pengrajin barang – barang dari tembaga dinamai Paledang, sampai sekarang (Danasasmita 1983:89).

Pasar Rumput
Merupakan sebutan nama pasar yang sekarang lokasinya ada di Jalan Sultan Agung Jakarta Selatan. Pasar ini sekarang telah menyatu dengan pasar Manggarai.Asal mula penyebutannya Pasar Rumput ini berasal dari adanya para pedagang pribumi yang menjual rumput dan sering mangkal dilokasi itu.
Para pedagang rumput terpaksa mangkal dilokasi ini karena mereka tidak diperbolehkan masuk ke permukiman elit Menteng. Masyarakat Menteng banyak yang memelihara kuda sebagai sarana angkutan dan masa itu sado merupakan sarana angkutan yang banyak membawa penumpang orang kaya keluar masuk lingkungan Menteng.
Walaupun para pedagang rumput sudah tidak dapat ditemukan lagi di pasar rumput masyarakat Jakarta sangat akrab dengan sebutan nama Pasar Rumput. Kalau di pasar burung kita dapat membeli burung, di pasar buah kita dapat membeli buah, namun di Pasar Rumput kita tidak dapat membeli rumput karena pedagangnya tidak ada yang menjual rumput.

Pasar Boplo
Merupakan nama pasar yang terletak di lokasi pemukiman elit Menteng Jakarrta Pusat. Nama pasar ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda bouwploeg yang berarti tempat menjual alat bajak untuk mengolah pertanian. Pada masa lalu pasar ini tempat menjual alat – alat pertanian dan yang paling banyak dijual adalah alat bajak untuk mengolah sawah.
Kata boplo mungkin juga berasal dari sebutan kantor jawatan Pekerjaan Umum masa pemerintahan Belanda yang berada di dekat lokasi pasar. Kantor jawatan pekerjaan umum itu bernama jawatan Bouwploeg yang sekarang kantor itu berubah fungsi menjadi mesjid Cut Mutia

Pasar Genjing
Merupakan sebutan nama sebuah pasar kecil yang sekarang terletak di persimpangan jalan Pramuka dan jalan Utan Kayu di Jakarta Timur. Nama genjing berasal dari sebutan pohon besar yang ada dilokasi pasar.
Bagi masyarakat yang berasal dari Jawa, pohon ini disebut dengan pohon sengon. Sedangkan bagi masyarakat dari suku Sunda pohon ini disebut pohon jeungjing.
Karena sulit menyebut nama pohon ini dengan sebutan dari suku Sunda, maka masyarakat Betawi menyebutnya dengan sebutan genjing.

Pejagalan
Merupakan nama kampung dan sekarang diabadikan menjadi nama jalan Pejagalan di Kelurahan Pekojan, Jakarta Barat. Nama Pejagalan berasal dari kata jagal atau pemotongan hewan. Pada masa lalu di kampung Pejagalan banyak tinggal orang keturunan Arab dan Pakistan. Mereka senang memasak nasi kebuli yang bahan bakunya adalah beras dan daging kambing karena banyak dan seringnya memotong hewan kambing, maka daerah ini disebut dengan kampung Pejagalan.

Petojo
Kawasan Petojo dewasa ini meliputi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Petojo Utara dan Kelurahan Petojo Selatan, termasuk wilayah Kecamatan Gambir, Kotamadya Jakarta Pusat.
Petojo berasal dari nama seorang pemimpin orang – orang Bugis yang pada tahun 1663 diberi hak pakai kawasan tersebut, bernama Aru Petuju. Perubahan dari petuju menjadi petojo, tampaknya lazim di Batavia pada waktu itu, seperti halnya kata pancuran, kemudian diucapkan jadi pancoran.
Beberapa tahun sebelum bermukim di kawasan yang terletak di sebelah barat Kali Krukut itu, Aru (Arung) Petuju bersama dengan Pangeran dari Bone Aru (Arung) Palaka, menyingkir ke Batavia, setelah gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa, yang telah lama dilakukannya. Dengan demikian terjalinlah kerjasama antara Aru(ng) palaka dengan Belanda dalam menghadapi Sultan Hasanuddin. Kerjasama antara dua kekuatan itu berhasil mengakhiri kekuatan Gowa atas Bone. Sultan Hasanuddin terpaksa harus menerima kenyataan, bahwa Belanda akan memegang, monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan. (Poesponegoro 1984 (IV):208).
Sebagaimana umumnya tanah – tanah yang semula dikuasai oleh sekelompok orang dibawah pemimpin masing – masing, kawasan Petojo juga kemudian beralih tangan. Pada tahun 1816 kawasan Petojo sudah dimiliki oleh willem Wardenaar, di samping tanah – tanah di daerah – daerah lainnya, seperti Kampung Duri dan Kebon Jeruk yang pada waktu itu biasa disebut Vredelust (De Haan 1910:101).

Penjaringan
Merupakan nama kampung dan sekaligus nama Kelurahan dan nama Kecamatan yang terletak disebelah Utara Pelabuhan Sunda Kelapa. Nama ini berasal dari sebutan tempat yang banyak memproduksi jarring untuk keperluan para nelayan teluk Jakarta.
Cerita lain ada juga yang menyebutkan bahwa nama penjaringan berasal dari tempat yang banyak terdapat jaring - jaring nelayan yang sering di jemur atau jaring yang sedang diperbaiki oleh nelayan. Melihat lokasi ini dekat dengan pantai, maka dua cerita tersebut bias saja menjadi asal – usul kata Penjaringan. Karena luasnya wilayah yang mencakup daerah penjaringan, maka sekarang kita mengenal kecamatan yang bernama Kecamatan Penjaringan.

Petamburan
Merupakan salah satu nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Pada masa lalu rumah penduduk masih jarang dan masih banyak tumbuh pohon jati disekitar daerah ini. Pada suatu waktu terjadi peristiwa yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai cikal bakal nama tempat ini. Peristiwa itu adalah meninggalnya seorang penabuh tambur didaerah ini dan dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga nama kampung ini sebenarnya adalah Jati Petamburan.

Pejambon
Pejambon merupakan sebutan kampung yang bersebelahan dengan kampung Gambir. Kampung ini baru ada sejak Daendels membuka daerah ini dengan sebutan kawasan Weltevreden. Kata Pejambon berasal dari singkatan Penjaga Ambon. Penjagaan tersebut berada disebuah jembatan yang melintasi kali Ciliwung dan penjaganya adalah orang Ambon. Setelah dibangunnya gereja Imanuel di lingkungan kampung ini banyak tinggal masyarakat dari golongan nasrani (beragama Kristen) dari suku Ambon, Jawa dan Batak. Sekarang kampung Pejambon termasuk dalam kawasan Kelurahan Gambir.

Pekojan
Merupakan nama Kampung, sekaligus nama Kelurahan yang terdapat di wilayah Jakarta Barat. Pekojan berasal dari kata Koja (Khoja) yang mengacu kepada nama tempat yang ada di India. Penduduk Koja pada umumnya adalah orang India yang senang berdagang, Orang Koja dalam berdagang sekaligus menyiarkan agama Islam.
Karena banyaknya orang India yang umumnya mempunyai pekerjaan berdagang yang bermukim di daerah ini, maka Kampung ini disebut dengan Pekojan atau tempat tinggal orang Koja.

Pluit
Kawasan Pluit yang kini dikenal dengan perumahan mewahnya itu merupakan sebuah kelurahan, Kelurahan Pluit, termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara.
Menurut peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia, 1903, lembar H II dan III, demikian pula pada peta Plattegrond van Batavia, yang dibuat oleh Biro Arsitek di Batavia sekitar tahun 1935, sebutan bagi kawasan itu adalah Fluit, lengkapnya Fluit Muarabaru. Menurut kamus Belanda – Indonesia (Wojowasito, 1978:196), fluit berarti:
1. “suling”; 2. “bunyi suling”; 3. “roti panjang – sempit “.
Rupanya nama kawasan itu tidak ada hubungannya dengan suling, atau pluit semacam pluit wasit sepakbola, atau pluit polisi lalu – lintas. Demikian pula dengan roti panjang – sempit. Ternyata nama kawasan tersebut berasal dari kata fluit, yang lengkapnya: fluitschip, yang berarti “kapal (layar) panjang berlunas ramping”, seperti yang dijelaskan dalam verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenoen – Endepols, 1948:281). Sekitar tahun 1660 di pantai sebelah timur muara. Kali Angke diletakan sebuah fluitschip, bernama Het Witte Paert, yang sudah tidak laik laut, dijadikan kubu pertahanan untuk membantu Benteng Vijhoek yang terletak di pinggir Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke, dalam rangka menanggulangi serangan serangan sporadis yang dilakukan oleh pasukan bersenjata Kesultanan Banten. Kubu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit (De Haan 1935:104).
Sebutan Fluit yang berubah menjadi Pluit, ternyata berlanjut sampai dewasa ini, mengingatkan kita pada suasana sekitar pertengahan abad ke-17.

Pondok Cina
Merupakan sebutan nama untuk kampung yang ada di perbatasan Jakarta dengan daerah Depok Jawa Barat. Menurut sejarah nama Pondok Cina berasal dari sebutan tempat tinggal sementara bagi orang – orang Cina yang mengelola tanah pertanian yang ada disekitar Depok. Karena jarak Depok dengan Batavia cukup jauh, maka diperlukan pemondokan sementara bagi pekerja penggarap tanah partiklelir tersebut. Pondokan itu dibangun dilokasi kampung Pondok Cina sekarang.
Kemudian dilokasi pemondokan ini oleh orang Cina dibangun rumah besar yang cukup bagus dan oleh masyarakat disebut dengan Pondok Cina.

Pondok Gede
Merupakan penyebutan wilayah yang ada dipinggiran sebelah Timur Jakarta yang berbatasan dengan daerah Bekasi. Yang tersisa sekarang adalah penyebutan untuk Pasar Pondok Gede. Nama Pondok Gede berasal dari sebuah bangunan besar yang disebut dengan Landhuis. Bangunan Landhuis adalah rumah besar yang terletak dipinggiran kota sebagai tempat tinggal dan sekaligus sebagai tempat pengurus usaha pertanian dan peternakan.
Sekitar tahun 1775 lokasi ini adalah lahan pertanian dan peternakan yang disebut juga dengan anderneming. Pondok Gede adalah milik tuan tanah yang bernama Johannes Hoojiman yang kaya raya. Bangunan pondok gede merupakan satu – satunya bangunan rumah besar yang ada dilokasi tersebut dan bagi masyarakat pribumi sering disebut pondok gede.

Pondok Labu
Kawasan Pondok Labu dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah Kecamatan Cilandak Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama kawasan itu diambil dari kata majemukondok dan labu. Pondok berarti “gubuk”, atau “dangau – dangau tempat pemondokan atau ‘ tempat penginapan sementara”. Labu adalah nama beberapa macam tanaman merambat, antara lain labu yang bahasa ilmiahnya Lagenaria hispida Ser. Famili Cucurbitaceae, yaitu labu besar yang biasa dimakan (Fillet 1888: 193). Kata majemuk pondok- labu dapat berarti “pondok atau gubuk yang dirambati ( tanaman) labu”
Kawasan Pondok Labu baru disebut – sebut pada tahun 1803 sebagai milik Pieter Walbeck, disamping Cinere dan Lebak Bulus yang pada jaman dulu oleh orang – orang Belanda biasa Simplicitas (baca Simplisitas). Di kawasan Pondok Labu tuan tanah tesebut mempunyai penggilingan padi dan sebuah rumah peristirahatan yang diberi nama Simplicitas (De Haan 1910, (I):103). Pada peta yang dibuat oleh Topographisch Bureau, Batavia 1900, penggilingan padi dan rumah peristirahatan itu terletak tidak begitu jauh dari Kali Pesanggrahan sebelah utara Rempoa.

Pondok Rangon
Merupakan nama kampung yang ada diperbatasan Jakarta dengan Bekasi di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Wilayah Pondok Rangon cukup luas dengan batasnya:
-Sebelah Utara berbatasan dengan markas Hankam Cilangkap
-Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Jagorawi dan
-Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Sunter dan Pondok Gede
Asal – Usul nama Kampung Pondok Rangon berdasarkan cerita lisan masyarakat adalah sebagai berikut. Pada masa lalu ada seorang lelaki tua (aki – aki) yang bermukim disuatu tempat dengan seorang nenek – nenek yang ditemukan ditempat tersebut tanpa melalui perkawinan. Bagi masyarakat Sunda menyebut kehidupan kakek nenek itu dengan istilah Rangon. Karena kakek nenek itu tinggal disuatu pondok, maka masyarakat menyebut tempat itu dengan nama pondok rangon

Ragunan
Kawasan Ragunan dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Ragunan, termasuk wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelaran yang disandang tuan tanah pertama kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, yang biasa disebut Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Menarik untuk disimak, bagaimana seorang Belanda kelahiran Steenwijk, dianugerahi gelar begitu tinggi oleh Sultan Banten, musuh Belanda. Sekilas, rangkaian peristiwanya mungkin dapat digambarkan sebagai berikut.
Pada tahun 1675 dari Banten terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton Surasowan, tempat bertahtanya Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar Dua bulan setelah kebakaran itu datanglah Hendrik Lucaasz. Cardeel, seorang juru bangunan, mengaku melarikan diri dari Batavia, karena ingin memeluk agama Islam dan membaktikan dirinya kepada Sultan Banten bak pucuk dicinta, ulam tiba, Sultan sedang membutuhkan ahli bangunan berpengalaman, tanpa dicari dating sendiri. Kemudian Cardeel ditugasi memimpin pembangunan istana, dan kemudian bangunan – bangunan lainnya, termasuk bendungan dan istana peristirahatan si sebelah hulu CiBanten, yang kemudian dikenal dengan sebutan bendungan dan istana Tirtayasa.
Seluruh perhatian sultan Tirtayasa seolah – olah tersita kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh Cardeel. Rupanya tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya untuk melakukan suatu gerakan militer ke Batavia, ketika sebagian besar kekuatan Kompeni sedang dikerahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunijoyo, dari tahun 1677 sampai akhir tahun 1681.
Dalam pada itu Sultan Haji terus – menerus mendesak agar dia segera dinobatkan menjadi Sultan. Akhirnya terjadilah perang perebutan tahta antara ayah dan anak. Dalam keadaan terdesak, Sultan Haji mengirim utusan ke Batavia , untuk meminta bantuan Kompeni. Dengan bantuan Kompeni akhirnya Sultan Haji berhasil menduduki tahta Kesultanan Banten, sudah barang tentu dengan keharusan memenuhi segala tuntutan penolongnya, Belanda.
Adapun yang diutus ke Batavia, untuk meminta bantuan itu, tidak lain tidak bukan, adalah Kiai Aria Wiraguna, alias Cardeel. Atas jasanya itu, Cardeel ditingkatkan gelarannya, menjadi Pangeran Wiraguna.
Beberapa tahun kemudian oleh Pangeran Wiraguna Kesultanan Banten terasa sempit, karena semakin banyak yang tidak menyukainya. Pada tahun 1689 Cardeel pamit kepada Sultan, dengan dalih akan pulang dahulu kenegerinya. Tetapi ternyata dia terus menetap di Batavia, kembali memeluk agama Kristen dan menjadi tuan tanah yang kaya raya. Tanahnya yang terluas adalah dikawasan yang namanya sampai dewasa ini mengingatkan kita pada seseorang Belanda jaman VOC yang sangat beruntung, Hendrik Lucaasz Cardeel bergelar Pangeran Wiraguna, yang makamnya oleh sementara orang bangsa Indonesia dikeramatkan (Sumber De Haan 1910, 1911, 1935; Colenbrander 1925, jilid 2).

Rawa Badak
Merupakan penyebutan daerah atau kampung yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta Utara. Asal – usul nama Rawa Badak berasal dari penyebutan tempat yang merupakan rawa – rawa yang sangat besar. Daerah ini pada masa lalu merupakan rawa – rawa yang luas, kemudian oleh para pendatang rawa ini diuruk sehingga tanah di daerah ini kering dan layak dihuni.
Rawa Badak berasal dari dua kata yang digabung. Rawa berarti tempat yang selalu basah karena banyak air dan badak berasal dari bahasa Sunda atau Jawa yang berarti besar atau luas. Maka bagi orang Sunda atau orang jawa daerah ini disebut dengan Rawa Badak yang artinya rawa yang luas.

Roa Malaka
Kawasan Rowamalaka, atau Ruamalaka, dewas ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Roamalaka, termasuk wilayah Kecamatan Tambora, Kotamadya Jakarta Barat.
Mengenai asal nama kawasan itu ada dua pendapat. Pertama berasal dari kata rawa dan malaka” sebuah rawa dengan pohon malaka” (Garicinia cornea L. termasuk keluarga Clusiaceae), yang buahnya dapat dimakan. Hal itu masuk akal, karena kawasan tersebut jaman dahulu memang berawa – rawa, sedang pohon malaka dapat tumbuh di dataran rendah.
Keterangan lain menyatakan, bahwa kawasan tersebut dikenal dengan nama Roa – Malaka, karena pernah dijadikan tempat pemukiman orang – orang Portugis yang ditawan di Malaka, setelah kota tersebut pada tamggal 1 Januari 1641 direbut oleh Belanda dari orang – orang Portugis yang menguasainya selama 130 tahun. Sebagian besar orang – orang Portugis yang ditawan ditempatkan di Nagapatman, pantai barat India. Sebagian lagi ditempatkan di Batavia (De Haan 1935:83). Golongan atas dari tawanan perang itu, termasuk mantan Gubernur Malaka Dom Luiz Martin de Chichorro, ditempatkan di Jonkersgracht, yang pada jaman itu terbilang daerah pemukiman elit (J.R. van Diessen 1989:191).
Jonkersgracht kemudian dikenal dengan sebutan Rua Malaka atau Jalan Malaka Rua Malaka lambat – laun berubah pengucapannya, menjadi Roa Malaka. Pada masa pemerintahan Van Der Cappellen (1816 – 1826), Jonkersgratch diuruk (De Haan 1935:205), mungkin karena proses pendangkalannya makin cepat sehingga menimbulkan genangan – genangan air yang menjadi sumber penyakit (De Haan 1935:205).

Salemba
Salemba adalah kawasan antara Jalan Kramat Raya dan Jalan Matraman Raya . Dikawasan Salemba terdapat beberapa nama tempat yang diawali Salemba, seperti salemba Bluntas, Salemba Tengah, Salemba Utankayu, dan Salemba Tanah Padri.
Pada peta abad kesembilanbelas dan peta awal abad ke-20 kawasan Salemba bernama Struyswijk, yang dapat diartikan “kawasan Struys” karena tuan tanah pertamanya, adalah Abraham Struys, seorang mantan pejabat pada Kompeni yang kaya raya. Tanah itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Anna Struys yang menikah dengan Joan van Hoorn, seorang pejabat tinggi Kompeni di Batavia.
Menurut Resolusi tertanggal 22 Oktober 1699 kawasan struyswijk menjadi milik Joan van Hoorn, yang menjual sebagian daripadanya.Kepada Domine Kiezenga seharga 5000 Ringgit, termasuk 330 ekor sapid an sejumlah perlengkapan rumah tangga. Bagian yang dibeli Domine tersebut kemudian dikenali dengan sebutan Tanah Padri(De Haan 1910:6,7,13) yang masih tercantum sebagai nama tempat pada peta 1911 yang ditebitkan oleh Topograpisch Inrichting Batavia, Lembar I.IV.

Sampur
Merupakan nama tempat obyek wisata atau tempat melancong masa lalu yang terletak dipiggir pantai sehingga sering disebut dengan pantai sampur. Nama ini berasal dari kata yang diberikan oleh orang Belanda untuk tempat peristirahatan dipinggir pantai zandpoort. Oleh masyarakat pribumi istilah ini dibaca dengan sampur. Untuk masa sekarang kata sampur hampir hilang dari peta kota Jakarta, karena pantai ini telah dikembangkan untuk perluasan pelabuhan peti kemas Tanjung Priuk. Pada masa lalu, pantai sampur ini merupakan obyek wisata pantai yang paling terkenal di Batavia.
Pantai sampur disukai oleh noni – noni dan sinyo – sinyo (sebutan untuk muda – mudi orang Belanda) dan begitu juga masyarakat pribumi, banyak yang berkunjung ke pantai sampur ini. Sebelum pantai Ancol dikembangkan sebagai obyek wisata pantai yang disebut dengan Pantai Bina Ria Ancol, pantai sampur merupakan obyek wisata pilihan utama diteluk Jakarta.

Senayan
Kawasan senayan mulai banyak dikenal sejak di sana didirikan sebuah gelanggang olah raga yang bertaraf internasional dengan nama Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno, yang dibangun awal tahun enampuluhan atas bantuan Pemerintahan Uni Sovyet pada jaman Perdana Menteri Nikita Sergeiwitsj Kruschev. Senayan semakin banyak disebut – sebut setelah dibangun Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Pada peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau, Batavia, tahun 1902 kawasan Senayan masih ditulis Wangsanajan, atau Wangsanayan menurut EYD. Kata wangsanayan dapat berarti “tanah tempat tinggal atau tanah milik seseorang yang bernama Wangsanaya”. Wangsanayan lambat – laun berubah, menjadi lebih singkat, Senayan.
Tidak mustahil, Wangsanayan tersebut adalah yang dimaksud oleh De Haan, sebagai salah seorang asal Bali, berpangkat Letnan, sekitar tahun 1680 (De Haan 1911:174). Belum ditemukan keterangan lebih lanjut dari tokoh tersebut, demikian pula tentang sejarah yang berkaitan dengan kawasan yang sekarang dikenal dengan nama Senayan itu.
Reply With Quote
mangeben
View Public Profile
Send a private message to mangeben
Find all posts by mangeben
#25
Old 27th November 2007, 18:29
mangeben mangeben is offline
Addict Member

Join Date: Nov 2007
Posts: 148
mangeben is a new comer
Send a message via Yahoo to mangeben
Default
Senen
Kawasan Senen dewasa ini menjadi sebuah Kecamatan, Kecamatan Senen, wilayah Kotamadya Jakarta Pusat.
Nama diambil dari sebutan terhadap pasar yang dibangun oleh Justinus Vinck, di ujung sebelah selatan jalan Gunung Sa(ha)ri, yang dulu bernama Grote Zuiderweg. Di kalangan orang – orang Belanda, pasar tersebut dikenal dengan sebutan Vinckpasser (pasar Vinck). Tetapi karena hari pasarnya pada awalnya ditetapkan hanya hari Senin, lalu disebut Pasar Senen. Berkat kemajuan dan semakin ramainya pasar itu, maka sejak tahun 1766 dibuka pada hari – hari lainnya.
Di sebelah timur pasar terdapat rumah – rumah orang Cina. Di belakangnya mengalir terusan yang dinamai Kali Baru. Terusan itu dibuat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743 – 1750).
Pada awalnya Pasar Senen hanya terdiri atas gubuk – gubuk. Sampai tahun 1815 di sana masih terdapat rumah – rumah dari gedek. Walaupun sudah ada rumah petak dari kayu, tetapi belum ada satu pun rumah tembok. Menurut catatan, pada tanggal 9 Juli 1826, sebagian besar dari bangunan – bangunan pasar itu terbakar. Mungkin sesudah terjadinya kebakaran itu baru mulai dibangun bangunan – bangunan dari tembok (Bahan diambil dari buku karya F. De Haan, Oud Batavia, Bandung 1935).

Srengseng Sawah
Srengseng Sawah dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan di wilayah Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Sampai tahun tigalpuluhan abad ke-20 kawasan Srengseng menjadi bagian dari wilayah Distrik (Kewedanaan) Kebayoran, Kabupaten Meestercornelis.
Dahulu kawasan tersebut biasa disebut Srengseng saja, tanpa kata sawah. Orang Belanda VOC menyebutnya Sringsing. Mungkin karena di situ banyak dibuka persawahan, maka kemudian disebut Srengsengsawah. Atau, mungkin juga untuk membedakannya dengan Srengseng di Jakarta Barat, yang sekarang menjadi nama kelurahan di wilayah Kecamatan Kebonjeruk.
Srengseng diambil dari nama semacam pandan berdaun lebar, pinggirnyaberduri – duri, Pandanus caricosus Ramph, termasuk famili Pandaneseae. Daunnya bisa dianyam dijadikan tikar atau topi kasar (Fillt 1883, 264). Sampai meletusnya Perang Dunia Kedua produksi tikar dan topi pandan dari Distrik Kebayoran mempunyai nilai ekonomi yang cukup berarti, dapat dipasarkan kedaerah – daerah lain, bahkan ke luar Pulau Jawa ( Tideman 1932:19). Sampai tahun tujuh puluhan abad ke-20 ,Masih banyak penduduk asli Srengseng Sawah dan sekitarnya yang membuat tikar dan topi pandan sebagai usaha sampingan.
Pada tahun 1674 kawasan Srengseng tercatat sebagai milik Karim, anak seorang bekas Kapten Jawa, bernama Citragladak. Kemudian jatuh ke tangan Cornelis Chalestein, tuan tanah kaya rayayang antara lain memiliki tanah partikelir Depok. Di Srengseng ia mempunyai sebuah rumah peristirahatan. (De Haan 1935:340).

Sunda Kelapa
Merupakan sebutan pelabuhan tradisional yang ada di teluk Jakarta. Sebenarnya nama ini awalnya adalah Kelapa. Hal ini dapat di buktikan dengan berita yang terdapat dalm tulisan hasil perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang disebut dengan Suma Oriental.
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama pelabuhan adalah Kelapa. Karena pada waktu itu wilayah ini dubawah kekuasaan kerajaan Sunda maka kemudian pelabuhan ini disebut dengan Sunda Kelapa.

Tambora
Kawasan Tambora dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Tambora, termasuk wilayah Kecamatan yang sama Kotamadya Jakarta Barat.
Nama Tambora dari kawasan ini mungkin diberikan oleh orang –orang yang berasal dari Pulau Sumbawa, yang pada tahun 1755 diberitakan dipimpin oleh seorang Kapten. Mungkin komunikasi mereka, yang jumlahnya tidak begitu banyak, kurang mendapat perhatian, kalau saja tidak muncul seorang tokoh yang menimbulkan kekaguman orang – orang Belanda, yaitu Kapten Abdullah Saban. Karena menunjukkan jiwa kepemimpinan yang luar biasa, terutama dalam pertempuran di laut, Pada tahun 1794 dia diangkat menjadi Kepala Kepulauan Seribu (Hoofd over Duizend Eilanden). Pada tahun 1800 ia dianugerahi pedang kehormatan. Pada tahun 1808 oleh Daendels diangkat menjadi Liutenant van de eerste classe bij de Hollandshe Koninglijke Marin (De Haan 1935:375).
Tokoh lain yang perlu dicatat, adalah Haji Mustoyib Ki Daeng yang berjasa membangun Masjid Tambora. Ia adalah orang Cina muslim, asal Makasar, pernah tinggal beberapa lama di Bima, di kaki Gunung Tambora, Sumbawa. Karena suatu sebab, mungkin dituduh menghasut warga setempat untuk melawan penguasa, pada tahun 1755 ia dihukum penjara di Batavia, selama 5 tahun. Setelah bebas ia berniat akan tetap tinggal di Batavia. Sebagai tanda syukur kepada Yang Maha Kuasa, pada tahun 1761 ia membangun sebuah masjid. Untuk mengenang tempat ia ditangkap penguasa, masjid yang dibangunnya itu diberi nama Masjid Tambora (J.R van Diesen 1989:206).
Masjid yang dibangun Mustoyib itu merupakan inti dari keadaannya dewasa ini. Bagiannya yang terletak dipinggir sungai masih menunjukkan bentuk asalnya. Setelah mengalami beberapa kali perbaikan, pada tahun 1980 masjid itu diperbaiki lagi serta diperluas.
Haji Mustoyib dimakamkan di halaman masjid tersebut. Makamnya yang dinaungi bangunan bertiang tembok enam buah, sampai dewasa ini masih terpelihara dengan baik.

Tanah Abang
Kawasan Tanah abang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tanah Abang, Kotamadya Jakarta Pusat.
Menurut Tota M. Tobing (intisari, Agustus 1985), ada anggapan, bahwa namaTanah Abang diberikan oleh orang – orang Mataram yang berkubu di situ dalam rangka penyerbuan Kota Batavia tahun 1628. Pasukan tentara Mataram tidak hanya datang melalui laut di utara, melainkan juga melalui darat dari selatan. Ada kemungkinan pasukan tentara Mataram itulah yang memberi nama Tanah Abang, karena tanahnya berwarna merah, atau abang menurut bahasa Jawa.
Kemungkinan lain adalah bahwa nama itu diberikan oleh orang – orang (Jawa) Banten yang bekerja pada Phoa Bingham, atau Bingam, waktu membuka hutan di kawasan tersebut. Konsesinya diperoleh Bingam, Kapten golongan Cina, pada tahun 1650 (De Haan, II: 413). Mungkin karena pernah bermukim di Banten sebelum hijrah ke Batavia, seperti Benkon, pendahulunya, Bingam pun akrab dengan orang – orang Banten. Benkon pernah membebaskan wangsa, seorang asal Banten,dari tahanan Kompeni dengan uang jaminan sebesar 100 real, pada tahun 1633 (Hoetink dalam Bijdragen 79, 1923:4).

Tanah Merdeka
Merupakan penyebutan wilayah yang cukup luas di Jakarta Timur Lokasinya sekarang terbentang, antara jalan Raya Bogor, Kelurahan Dukuh, jalan tol T.B Simatupang dan terus ke Selatan kelurahan Rambutan dan kelurahan Ceger. Sekarang yang tersisa adalah nama jalan yang ada dikelurahan Rambutan. Penyebutan nama Tanah Merdeka berasal dari masa penjajahan VOC berkuasa di Batavia. Pada waktu itu bagi tokoh yang berjasa membantu VOC akan diberi lahan tanah di pinggiran Kota Batavia dan tidak dipungut pajak. Mereka yang diberi tanah itu harus mampu menjaga keamanan dan harus membantu VOC dalam segala hal. Tanah yang diberikan kepada orang yang berjasa bagi VOC itu disebut Tanah Merdeka.

Tiang Bendera
Kawasan Tiang Bendera terletak di wilayah Kelurahan Roamalaka, Kecamatan Tambora, Kecamatan Jakarta Barat. Kantor Kelurahannya sendiri, dewasa ini terletak di Jalan Tiang Bendera Utara No.90A.
Nama Tiang Bendera berasal dari tiang bendera yang sehari – hari terpancang di depan rumah Kapten Cina pada pertengahan abad kedelapanbelas, setelah selesainya pemberontakan Cina, tahun 1740.setiap tanggal 1 penanggalan Masehi, mulai tahun 1743, pada tiang bendera itu dikibarkan bendera, untuk mengingatkan warga Tionghoa untuk membayar pajak kepala, sewaan rumah dan sebagainya. Menurut F. De Haan, dikalangan orang –orang Cina di Batavia, tanggal 1 setiap bulan penanggalan Masehi biasa disebut “dag der vlaghijsching”, hari pengibaran bendera.
Demikianlah maka kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Kampung Tiang Bendera(sic).
Rumah tempat tinggal Kapten Cina (tidak jelas siapa namanya itu awalnya bukanlah rumah dinas, melainkan rumah milik pribadi, yang dibelinya dari Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1743. Pada tahun 1747, setelah kapten itu meninggal, rumah tersebut dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan, dan dijadikan rumah dinas Kapten Cina. Mulai tahun 1805 dirumah itu biasa diselenggarakan rapat – rapat Dewan Cina. Dewan tersebut kemudian menempati bangunan tua Belanda di Jalan Tongkongan.

Tugu
Kawasan Tugu dewasa ini dibagi menjadi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Tugu Selatan dan Tugu Utara, termasuk wilayah Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara.
Tugu berupa prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara diperkirakan dibuat pada abad kelima Masehi, ditemukan dikampung Batutumbuh, dijadikan sebutan bagi kawasan tersebut. Prasasti tersebut memberitakan tentang dibuatnya saluran air sepanjang 6122 busur, atau kurang lebih 11 Kilometer, dalam waktu 21 Hari. Hal itu membuktikan bahwa 16 abad yang lalu saluran air di pantai utara kawasan Jakarta dan sekitarnya sudah diperlukan, untuk mengatur pengairan, baik untuk penanggulangan bahaya banjir atau pun untuk pertanian.
Tugu mulai disebut – sebut pada tahun 1661 yaitu tahun ditempatkannya 23 orang Kristen asal Benggala dan Koromandel. Lima belas tahun kemudian. Jumlahnya meningkat menjadi 40 atau 50 keluarga dan ditempatkan seorang guru di sana. Setengah abad kemudian, 1735, dibangunlah sebuah gereja dari tembok, yang pada tahun 1740 dibakar oleh orang – orang Cina yang memberontak. Pada tahun 1744 dibangun lagi gereja baru atas biaya seorang pejabat VOC Justinus Vinck.
Prasastinya sendiri, yang berbentuk bulat hampir menyerupai kerucut, sehingga baris – baris hurufnya dituliskan melingkar, sebanyak 5 baris berhuruf Palawa, dewasa ini disimpan di Museum Nasional Replikanya dapat disaksikan di Museum Sejarah Jakarta, di Taman Fatahillah.

Kampung melayu = Dulunya banyak orang melayu bermukim, terbukti mpe skrg banyak orang arab.

Tegal Parang, Mampang = Konon dulunya banyak orang tegal

No comments:

Post a Comment