JAKARTA, KOMPAS.com — Wacana hukuman mati bagi para koruptor mendapat tentangan. Anggota Komisi III, Nasir Djamil, mengungkapkan, tak boleh ada instrumen hukum yang mematikan hak hidup seseorang. Menurutnya, ada mekanisme lain yang lebih manusiawi untuk membuat jera para "perampok" uang negara.
"Kalau saya memang tidak mendukung hal itu. Ada instrumen lain, karena tidak boleh hak hidup seseorang dimatikan karena dia melakukan korupsi," kata Nasir kepada Kompas.com, Selasa (6/4/2010).
Instrumen lain yang menurutnya lebih realistis dan manusiawi adalah mekanisme pembuktian terbalik. Seseorang yang diduga melakukan korupsi diminta membuktikan asal-muasal harta yang dimilikinya tidak dari hasil korupsi. Untuk itu, pemerintah harus segera mengajukan revisi KUHAP dan KUHP.
"Kalau orang yang diduga korupsi tidak bisa mempertanggungjawabkan harta yang dimilikinya, maka patut diduga kuat itu hasil korupsi. Pembuktian terbalik ini lebih realistis dibandingkan hukuman mati," kata Anggota Fraksi PKS ini.
Nasir menambahkan, korupsi tidak berdiri sendiri. Ada hal-hal lain yang mendukung perbuatan itu terlaksana, di antaranya sistem dan birokrasi. Ia tak yakin penerapan hukuman mati akan membuat para koruptor kapok.
Wacana hukuman mati bagi koruptor mengemuka setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana koruptor dan penyuapan. Menurut dia, undang-undang yang mengatur hukuman mati bagi para terdakwa korupsi sebenarnya sudah ada. Yang belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati tersebut.
Tuesday, April 6, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment