Halo Pak Cahya & Pak Sarkan
saya berminat budidaya belut, bagaimana caranya?
Saya domisili di jogja, ingin memulai budi daya belut di daerah jogja.
jika saya pesan bibit belut berapa ongkos kirim per kg untuk tujuan jogja dan berapa harga bibit belut per kg.
terima kasih
suprayitno, SE
Terimakasih Pak Supriyatno,
Untuk Budidaya belut cukup mudah pak,
bapak siapkan dahulu kolam, kemudian buat media, baru tabur bibit.
sebagai gambaran saya kasih cara praktis budidaya belut sbb:
HAL HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN
SEBELUM TERNAK BELUT
1.PAKAN AWAL
2.PAKAN LANJUTAN
3.KOLAM
4.MEDIA
5.AIR
6.TANAMAN AIR
PAKAN AWAL
Satu Minggu sebelum Belut masuk usahakan pakan awal (Cacing, Kodok Dewasa, Ikan-ikan kecil) harus dimasukan terlebih dahulu kedalam kolam untuk persiapan pakan, semakin lama Cacing, Kodok dan Ikan Kecil didalam kolam, Maka semakin baik, Karena Cacing akan berkembang, Kodok akan bertelur dan Ikan-ikan kecil akan bertambah banyak sehingga cukup sebagai pakan awal.
PAKAN LANJUTAN
Pakan ini diberikan setelah belut masuk kekolam dengan perhitungan sebagai berikut :
1.Bulan Ke-I, 5% dari berat bibit yang dimasukan , misalnya kita memasukan bibit 1 Kuintal
maka kita memasukan 5 kg Cacing/perhari (Pakan lain sebagai tambahan)
2.Bulan Ke-II, 10% dari berat bibit misalnya kita memasukan bibit 1 Kuintal
maka kita memasukan 10 kg Cacing/hari. (Pakan lain sebagai tambahan)
3.Bulan Ke III, 15% dari berat bibit belut misalnya kita memasukan bibit 1 Kuintal
maka kita memasukan 15 kg Cacing/hari. (Pakan lain sebagai tambahan)
4.Bulan Ke IV, Cacing secukupnya sebagai gantinya belatung dengan perbandingan:
Minggu Ke-I = 5 Liter
Minggu Ke-II = 10 Liter
Minggu Ke-III = 15 Liter
Minggu Ke-IV = 20 Liter .
KOLAM
Ada 4 Type Kolam untuk budidaya belut :
1.Kolam Sawah
2.Kolam Permanen / Tembok
3.Kolam Jaring
4.Kolam Terpal
Kolam Sawah
Type ini lebih sederhana dan tidak memerlukan pembuatan media yang macam-macam, cukup material yang ada disawah.
Caranya :
*Sawah digali 30-40 cm
*Pasang Jaring
*Masukan Tanah galian tadi
*Pinggir Jaring Dilipat Keatas, dan ditahan oleh bambu.
*Air usahakan mengalir terus
*Tanami dengan padi diatasnya.
Kolam Permanen
Kolam ini memerlukan biaya cukup besar, karena kita harus menyiapkan batu bata, semen dan pasir.
Tapi type kolam ini bersifat tahan lama. Kita dapat memakai kolam bekas kolam ikan atau kolam bekas kolam ternak lele.
Caranya :
*Masukan Media
*Isi Air
*Tanami Tanaman Air
Kolam Jaring
Type ini lebih memudahkan saat panen tapi syaratnya, air harus mengalir 24 jam. Sebab jika air tidak mengalir maka lambat laun air akan surut.
Caranya :
*Gali Tanah 50 – 70 cm
*Masukan Jaring
*Jaring dilipat keatas dan dijepit oleh bambu
*Masukan Media
*Tanami dengan tanaman air
*masukan air (Usahakan air itu mengalir terus)
Kolam Terpal
Type kolam ini lebih mudah dan murah, dan mirip type kolam jaring.
Cuma usahakan membuat kolam jangan seperti bak mandi (Keatas)Tapi digali kebawah,
hal ini untuk menjaga kelembaban suhu. Setidaknya 80 % terpal masuk tanah
Caranya :
*Gali Tanah 50 – 70 cm
*Masukan Terpal
*Lipat keatas
*Masukan media
*Isi dengan tanaman air
*Air masukan
MEDIA
Ada 4 macam media yang bisa dipilih :
1.Tanah 100% , Type Kolam Sawah
2.Tanah 80% ditambah 10% gedebong pisang busuk dan ditambah 10 % Jerami.
Type Kolam Permanen, Kolam Jaring dan Kolam Terpal.
3.Tanah 80% ditambah 20 % gedebong pisang busuk.
Type Kolam Permanen, Kolam Jaring dan Kolam Terpal.
4.Batang Pisang busuk 100%
Type Kolam Permanen, Kolam Jaring dan Kolam Terpal.
Dari pengalaman yang sudah dilakukan bahwa keberadaan jerami diperlukan untuk memberikan warna pada belut tersebut.
AIR
Usahakan air mengalir, ada yang masuk dan ada yang keluar hal ini untuk mengeluarkan tinja dari kotoran belut, sebab jika tidak dibuang maka akan mengendap dan menimbulkan penyakit pada belut yang berakibat pada kematian.
Usahakan mengalir setiap saat, jika tidak maka usahakan mengalir siang hari atau malam hari saja.
TANAMAN AIR
1.Eceng Gondog
2.Kangkung
3.Genjer
4.dan lain-lain.
Usahakan eceng gondog, sebagai tanaman air dalam budidaya belut ini disamping cepat berkembang eceng gondog ternyata dapat menjaga keseimbangan PH air hal in bermanfaat untuk menetralisir racun dalam air.
TATA CARA MEMASUKAN BIBIT KEDALAM KOLAM
Dengan Type kolam permanen, Kolam Jaring dan Kolam Terpal yang menggunakan media gedebong pisang busuk 100%.
Di asumsikan sbb :
*Tanggal 1 Desember 2008
Gedebong Pisang dimasukan ke kolam, lalu masukan air sampai penuh kemudian
diamkan selama 3 hari.
*Tanggal 3 Desember 2008
Kuras airnya supaya getahnya hilang dan jika gedebong pisang susut maka ditambah lagi, lalu isi air lagi kemudian diamkan kembali selama 3 hari.
*Tanggal 6 Desember 2008
Kuras airnya lagi supaya getahnya tambah hilang dan jika gedebong pisang susut lagi maka ditambah lagi, lalu isi air lagi, dan kemudian diamkan kembali selama 3 hari.
*Tanggal 9 Desember 2008
Kuras airnya lagi supaya getahnya benar-benar hilang, selanjutnya isi kolam dengan air bersih, kemudian masukan eceng gondok tahap akhir baru masukan bibit belut.
Sejak bibit masuk usahakan sirkulasi air lancar
———————————————————————————————————————————
Harga bibit belut Rp. 35.000,-/kg + ongkos kirim,
minimal pembelian 25 kg untuk daerah jawa.
Untuk Pengiriman menggunakan Cargo :
Untuk biaya cargo 16.500,-/kg
Harga bibit belut 35.000,-/kg
Jumlah Total: Rp. 51.500,- / kg
Terimakasih.
Cahya Mulyadi.
Reply
Friday, June 24, 2011
Thursday, June 23, 2011
budiday belut III
Budidaya Belut (4)
December 5, 2006 by trimudilah
Budidaya Belut Menapak Masa Depan
Dikirim pada 14 Feb 2005 Koperasi Usaha Cipta Mandiri Yogyakarta mengadakan pelatihan budidaya belut (monopterus Albus) di Wisma Taman Eden, Kaliurang pada 12-13 Februari 2005. Pelatihan ini menghadirkan Pakar Belut Nasional Ir. RM. Sonson Sundoro.
Koperasi Usaha Cipta Mandiri yang dipimpin oleh Gunadi memang masih relatif muda, namun wawasan yang dikembangkan sangat luas dan menjangkau masa depan. Komitmen koperasi ini kepada rakyat kecil, petani dan peternak belut sangat tinggi, sehingga mereka mencari informasi selengkap mungkin untuk kemajuan dan kesejahteraan penangkap belut alam dan pembudidaya belut. Pengamatan yang dilakukan koperasi usaha ini memang mencengangkan, karena dapat mengungkap kondisi pasar lokal DIY dan sekitarnya. Disamping itu kondisi belut alam sebagai sumber mata pencaharian beberapa keluarga dipedesaan telah mengalami banyak penurunan bahkan menghilang samasekali dimusim kemarau, sehingga memerlukan langkah-langkah konkrit agar penghasilan dan kesejahteraan mereka tidak menurun.
Pasar Godean, sebagai contoh memerlukan suplai belut segar seberat tujuh kuintal. Hasil pengamatan yang lain adalah home industri belut di DIY dan Jateng memerlukan sekitar 1-2 kuintal per industri. Kondisi ini sangat memberikan harapan bagi pembudidaya belut, karena pasar masih sangat terbuka. Kebutuhan-kebutuhan belut segar bagi pasar tradisional dan home industri ini saat ini disuplai dari Jawa Timur dengan kapasitas 50 kilogram per home industri.
Pelatihan budidaya belut ini dimaksudkan untuk membuka wawasan semua pihak yang menggantungkan hidupnya dari bisnis belut. Disamping itu, dengan pelatihan, diharapkan dapat memperdalam pengetahuan dan ketrampilan budidaya belut, sehingga mencapai taraf profesional, karena usaha belut ini dapat dijadikan profesi yang memiliki masa depan cerah. Ir. RM. Sonson Sundoro sebagai nara sumber dan pakar belut nasional mengawali pelatihan teknis budidaya belut ini dengan memberikan gambaran kepada peserta tentang usaha belut.
Kesempatan ini diawali dengan penulisan buku tentang budidaya belut yang mendasarkan pada uji coba selama kurang lebih dua puluh tahun yang dilakukannya dibantu orang tua seorang pakar perikanan. Sonson mengungkap prospek budidaya belut cukup luas peluangnya, karena masyarakat dunia mulai mengenal manfaat mengkonsumsi belut.
Peluang eksporpun terbuka sangat luas, pada tahun 1998 Jepang membutuhkan belut segar seberat lima ton, namun jumlah ini tidak pernah dapat dipenuhi, karena tumpuan ekspor ini masih dari hasil tangkapan belut alam yang dimusim kemarau sangat sulit didapat. Disamping itu kualitas, terutama segi ukuran, tidak dapat dipertahankan, karena belut alam ini setiap hari ditangkap, sehingga tangkapannya semakin kecil dan bahkan dalam dua tahun stok sudah habis.
Pengalaman pahit ini memaksa untuk dilakukan perubahan basis ekspor yang semula belut alam menjadi belut budidaya, sehingga dari segi jumlah dan kualitas dapat dijaga. Pasar Asia Selatan dan Asia Tenggara mulai 2001 mulai nampak menunjukan kenaikan yang berarti. Hal ini terlihat dari permintaan mereka ke Indonesia untuk Hongkong sepuluh ton per hari per pengusaha importir padahal kemampuan baru mencapai tiga ton per hari. Permintaan lain datang dari Malaysia delapan puluh ton per minggu, Korea sepuluh ton per minggu, Harga yang importir tetapkan juga menunjukan penghasilan yang menggiurkan, karena Hongkong menetapkan 4,5 dolar amerika per kilogram belut segar. Jepang bahkan lebih menjanjikan lagi dengan 9-10 dolar amerika per kilogram belut segar. Pasar dalam negeri, bahkan lokal DIY dan sekitarnya juga tidak kalah terbukanya. Pasar dalam negeri telah dipatok harga perkilogramnya sebesar Rp. 10.000,00. untuk plasma. Pasar Jakarta membutuhkan 20 ton per hari dan DIY dan sekitarnya sebanyak 150 home industri terpantau membutuhkan kurang lebih 300 kuintal per hari. Permintaan ini juga datang dari Super market sebanyak 5 kuintal per hari.
Lebih lanjut Sonson mengatakan bahwa bagi pemula diharapkan mau belajar budidaya dan sifat belut, sehingga kanibalism tidak terjadi pada kolam produksi. Disamping itu persyaratan kolam, sehingga belut dapat berkembang dengan baik dan aman dari hama dan predator alami. Kolam ini dapat diatas atau menggali tanah. Pembuatan kolam belut diawali dengan perencanaan konstruksi kolam, pemilihan lahan. Hal ini dilanjukan dengan penggalian tanah atau pembuatan bak diatas tanah, baik untuk kolam penampungan induk, kolam pemijahan dan pendederan maupun kolam pembesaran. Kolam-kolam ini memiliki ukuran tersendiri antara lain Kolam Penampungan Induk berukuran 200 cm X 400 cm kedalaman 80 cm, Kolam Pemijahan dan Pendederan berukuran 200 cm X 200 cm kedalaman 100 cm, Kolam Pembesaran berukuran 500 cm X 500 cm kedalaman 120 cm. Disamping ukuran dan persyaratan lahan juga dilengkapi dengan media pemeliharaan dengan urutan dan ukuran antara lain sebagai berikut :
1. Jerami setinggi 40 cm.
2. Pupuk Urea 5 kg dan NPK 5 kg (kolam berukuran 500 cmX500 cm atau perbandingannya).
3. Lumpur/tanah setinggi 5 cm.
4. Pupuk Kandang setinggi 5 cm.
5. Pupuk kompos setinggi 5 cm.
6. Lumpur/tanah setinggi 5 cm.
7. Cincangan Batang Pisang setinggi 10 cm.
8. Lumpur/tanah setinggi 15 cm.
9. Air setinggi 10 cm.
10. Enceng gondog sebanyak 3/4 permukaan kolam. Media pemeliharaan ini didiamkan agar terjadi proses permentasi selama kurang lebih dua minggu, sehingga siap untuk ditaburi bibit/benih belut yang akan dibudidayakan.
Pelaksanaan pengembangbiakan dapat dimulai setelah kolam dan media pemeliharaan siap. Langkah berikutnya adalah memilih bibit belut yang baik agar hasilnya dapat maksimal. Bibit belut ini harus dipilih yang sempurna atau normal dan singkirkan yang tidak normal. Belut yang berkualitas ini akan menghasilkan keturunan yang baik, sehingga akan berkembang dengan baik pula. Belut berkualitas memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Anggota tubuh utuh dan mulus yaitu tidak ada luka gigitan.
2. Gerakan lincah dan agresif.
3. Penampilan sehat yang dicirikan tubuh yang keras dan tidak lemas manakala dipegang.
4. Tubuh berukuran kecil dan berwarna kuning kecoklatan.
5. Umur antara 2-4 bulan.
Ciri-ciri Induk Belut yang baik dapat dikenali melalui penampilan :
1. Induk Belut Jantan. -Berukuran panjang lebih dari 40 cm. -Permukaan Kulit lebih gelap atau abu-abu. -Bentuk Kepala Tumpul. -Umur lebih dari sepuluh bulan.
2. Induk Belut Betina. -Berukuran panjang antara 20-30 cm. -Permukaan Kulit lebih cerah dan warna putih kekuningan pada perutnya. -Bentuk kepala runcing. -Umur dibawah sembilan bulan. Belut ini mudah berkembangbiak dialam terbuka dan tidak sulit dibudidayakan dikolam yang menyerupai habitatnya serta memberikan penghasilan yang cukup menjanjikan.
Pemasaran belut baik budidaya maupun tangkap akan dijamin oleh Koperasi Usaha Cipta Mandiri Yogyakarta.
Perkembangbiakan belut, setahun sekali, akan dimulai dengan Belut jantan membuat lubang menyerupai huruf “U” dan gelembung udara yang menarik betina.
Perkawinan akan terjadi pada lubang dan telur akan bertaburan dibawah gelembung udara yang benyerupai busa. Telur-telur ini selanjutnya akan dicakup Belut Jantan untuk ditetaskan di lubang persembunyian dengan pengawasan Belut jantan selama 9-10 hari dialam terbuka dan 12-14 hari dikolam pemijahan. Belut muda ini akan mencari makan sendiri dan lepas dari belut jantan setelah berumur 15 hari.
Secara alami belut memakan binatang lain yang lemah, karena itu mereka harus membuat lubang perangkap yang menyerupai terowongan yang berkelok agar mangsanya tidak mudah lepas.
Belut ini dapat dipanen setelah tiga bulan penaburan untuk pasar lokal, namun pasar ekspor minimal enam bulan. Kolam setelah panen diperbaiki dan diganti media pemeliharaannya agar zat renik yang diperlukan pemeliharaan berikutnya dapat tersedia cukup. (heri/win)
Posted in Peluang Usaha | Leave a Comment
December 5, 2006 by trimudilah
Budidaya Belut Menapak Masa Depan
Dikirim pada 14 Feb 2005 Koperasi Usaha Cipta Mandiri Yogyakarta mengadakan pelatihan budidaya belut (monopterus Albus) di Wisma Taman Eden, Kaliurang pada 12-13 Februari 2005. Pelatihan ini menghadirkan Pakar Belut Nasional Ir. RM. Sonson Sundoro.
Koperasi Usaha Cipta Mandiri yang dipimpin oleh Gunadi memang masih relatif muda, namun wawasan yang dikembangkan sangat luas dan menjangkau masa depan. Komitmen koperasi ini kepada rakyat kecil, petani dan peternak belut sangat tinggi, sehingga mereka mencari informasi selengkap mungkin untuk kemajuan dan kesejahteraan penangkap belut alam dan pembudidaya belut. Pengamatan yang dilakukan koperasi usaha ini memang mencengangkan, karena dapat mengungkap kondisi pasar lokal DIY dan sekitarnya. Disamping itu kondisi belut alam sebagai sumber mata pencaharian beberapa keluarga dipedesaan telah mengalami banyak penurunan bahkan menghilang samasekali dimusim kemarau, sehingga memerlukan langkah-langkah konkrit agar penghasilan dan kesejahteraan mereka tidak menurun.
Pasar Godean, sebagai contoh memerlukan suplai belut segar seberat tujuh kuintal. Hasil pengamatan yang lain adalah home industri belut di DIY dan Jateng memerlukan sekitar 1-2 kuintal per industri. Kondisi ini sangat memberikan harapan bagi pembudidaya belut, karena pasar masih sangat terbuka. Kebutuhan-kebutuhan belut segar bagi pasar tradisional dan home industri ini saat ini disuplai dari Jawa Timur dengan kapasitas 50 kilogram per home industri.
Pelatihan budidaya belut ini dimaksudkan untuk membuka wawasan semua pihak yang menggantungkan hidupnya dari bisnis belut. Disamping itu, dengan pelatihan, diharapkan dapat memperdalam pengetahuan dan ketrampilan budidaya belut, sehingga mencapai taraf profesional, karena usaha belut ini dapat dijadikan profesi yang memiliki masa depan cerah. Ir. RM. Sonson Sundoro sebagai nara sumber dan pakar belut nasional mengawali pelatihan teknis budidaya belut ini dengan memberikan gambaran kepada peserta tentang usaha belut.
Kesempatan ini diawali dengan penulisan buku tentang budidaya belut yang mendasarkan pada uji coba selama kurang lebih dua puluh tahun yang dilakukannya dibantu orang tua seorang pakar perikanan. Sonson mengungkap prospek budidaya belut cukup luas peluangnya, karena masyarakat dunia mulai mengenal manfaat mengkonsumsi belut.
Peluang eksporpun terbuka sangat luas, pada tahun 1998 Jepang membutuhkan belut segar seberat lima ton, namun jumlah ini tidak pernah dapat dipenuhi, karena tumpuan ekspor ini masih dari hasil tangkapan belut alam yang dimusim kemarau sangat sulit didapat. Disamping itu kualitas, terutama segi ukuran, tidak dapat dipertahankan, karena belut alam ini setiap hari ditangkap, sehingga tangkapannya semakin kecil dan bahkan dalam dua tahun stok sudah habis.
Pengalaman pahit ini memaksa untuk dilakukan perubahan basis ekspor yang semula belut alam menjadi belut budidaya, sehingga dari segi jumlah dan kualitas dapat dijaga. Pasar Asia Selatan dan Asia Tenggara mulai 2001 mulai nampak menunjukan kenaikan yang berarti. Hal ini terlihat dari permintaan mereka ke Indonesia untuk Hongkong sepuluh ton per hari per pengusaha importir padahal kemampuan baru mencapai tiga ton per hari. Permintaan lain datang dari Malaysia delapan puluh ton per minggu, Korea sepuluh ton per minggu, Harga yang importir tetapkan juga menunjukan penghasilan yang menggiurkan, karena Hongkong menetapkan 4,5 dolar amerika per kilogram belut segar. Jepang bahkan lebih menjanjikan lagi dengan 9-10 dolar amerika per kilogram belut segar. Pasar dalam negeri, bahkan lokal DIY dan sekitarnya juga tidak kalah terbukanya. Pasar dalam negeri telah dipatok harga perkilogramnya sebesar Rp. 10.000,00. untuk plasma. Pasar Jakarta membutuhkan 20 ton per hari dan DIY dan sekitarnya sebanyak 150 home industri terpantau membutuhkan kurang lebih 300 kuintal per hari. Permintaan ini juga datang dari Super market sebanyak 5 kuintal per hari.
Lebih lanjut Sonson mengatakan bahwa bagi pemula diharapkan mau belajar budidaya dan sifat belut, sehingga kanibalism tidak terjadi pada kolam produksi. Disamping itu persyaratan kolam, sehingga belut dapat berkembang dengan baik dan aman dari hama dan predator alami. Kolam ini dapat diatas atau menggali tanah. Pembuatan kolam belut diawali dengan perencanaan konstruksi kolam, pemilihan lahan. Hal ini dilanjukan dengan penggalian tanah atau pembuatan bak diatas tanah, baik untuk kolam penampungan induk, kolam pemijahan dan pendederan maupun kolam pembesaran. Kolam-kolam ini memiliki ukuran tersendiri antara lain Kolam Penampungan Induk berukuran 200 cm X 400 cm kedalaman 80 cm, Kolam Pemijahan dan Pendederan berukuran 200 cm X 200 cm kedalaman 100 cm, Kolam Pembesaran berukuran 500 cm X 500 cm kedalaman 120 cm. Disamping ukuran dan persyaratan lahan juga dilengkapi dengan media pemeliharaan dengan urutan dan ukuran antara lain sebagai berikut :
1. Jerami setinggi 40 cm.
2. Pupuk Urea 5 kg dan NPK 5 kg (kolam berukuran 500 cmX500 cm atau perbandingannya).
3. Lumpur/tanah setinggi 5 cm.
4. Pupuk Kandang setinggi 5 cm.
5. Pupuk kompos setinggi 5 cm.
6. Lumpur/tanah setinggi 5 cm.
7. Cincangan Batang Pisang setinggi 10 cm.
8. Lumpur/tanah setinggi 15 cm.
9. Air setinggi 10 cm.
10. Enceng gondog sebanyak 3/4 permukaan kolam. Media pemeliharaan ini didiamkan agar terjadi proses permentasi selama kurang lebih dua minggu, sehingga siap untuk ditaburi bibit/benih belut yang akan dibudidayakan.
Pelaksanaan pengembangbiakan dapat dimulai setelah kolam dan media pemeliharaan siap. Langkah berikutnya adalah memilih bibit belut yang baik agar hasilnya dapat maksimal. Bibit belut ini harus dipilih yang sempurna atau normal dan singkirkan yang tidak normal. Belut yang berkualitas ini akan menghasilkan keturunan yang baik, sehingga akan berkembang dengan baik pula. Belut berkualitas memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Anggota tubuh utuh dan mulus yaitu tidak ada luka gigitan.
2. Gerakan lincah dan agresif.
3. Penampilan sehat yang dicirikan tubuh yang keras dan tidak lemas manakala dipegang.
4. Tubuh berukuran kecil dan berwarna kuning kecoklatan.
5. Umur antara 2-4 bulan.
Ciri-ciri Induk Belut yang baik dapat dikenali melalui penampilan :
1. Induk Belut Jantan. -Berukuran panjang lebih dari 40 cm. -Permukaan Kulit lebih gelap atau abu-abu. -Bentuk Kepala Tumpul. -Umur lebih dari sepuluh bulan.
2. Induk Belut Betina. -Berukuran panjang antara 20-30 cm. -Permukaan Kulit lebih cerah dan warna putih kekuningan pada perutnya. -Bentuk kepala runcing. -Umur dibawah sembilan bulan. Belut ini mudah berkembangbiak dialam terbuka dan tidak sulit dibudidayakan dikolam yang menyerupai habitatnya serta memberikan penghasilan yang cukup menjanjikan.
Pemasaran belut baik budidaya maupun tangkap akan dijamin oleh Koperasi Usaha Cipta Mandiri Yogyakarta.
Perkembangbiakan belut, setahun sekali, akan dimulai dengan Belut jantan membuat lubang menyerupai huruf “U” dan gelembung udara yang menarik betina.
Perkawinan akan terjadi pada lubang dan telur akan bertaburan dibawah gelembung udara yang benyerupai busa. Telur-telur ini selanjutnya akan dicakup Belut Jantan untuk ditetaskan di lubang persembunyian dengan pengawasan Belut jantan selama 9-10 hari dialam terbuka dan 12-14 hari dikolam pemijahan. Belut muda ini akan mencari makan sendiri dan lepas dari belut jantan setelah berumur 15 hari.
Secara alami belut memakan binatang lain yang lemah, karena itu mereka harus membuat lubang perangkap yang menyerupai terowongan yang berkelok agar mangsanya tidak mudah lepas.
Belut ini dapat dipanen setelah tiga bulan penaburan untuk pasar lokal, namun pasar ekspor minimal enam bulan. Kolam setelah panen diperbaiki dan diganti media pemeliharaannya agar zat renik yang diperlukan pemeliharaan berikutnya dapat tersedia cukup. (heri/win)
Posted in Peluang Usaha | Leave a Comment
budidaya belut II
« Fanatisme ButaDOA »Budidaya Belut
November 24, 2006 by trimudilah
Empat Bulan Panen Belut
Membesarkan belut hingga siap panen dari bibit umur 1-3 bulan butuh waktu 7 bulan. Namun, Ruslan Roy, peternak sekaligus eksportir di Jakarta Selatan, mampu menyingkatnya menjadi 4 bulan. Kunci suksesnya antara lain terletak pada media dan pengaturan pakan.
Belut yang dipanen Ruslan rata-rata berbobot 400 g/ekor. Itu artinya sama dengan bobot belut yang dihasilkan peternak lain. Cuma waktu pemeliharaan yang dilakukan Ruslan lebih singkat 3 bulan dibanding mereka. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan Ruslan pun jauh lebih rendah. Selain menekan biaya produksi, panen dalam waktu singkat itu mampu mendongkrak ketersediaan pasokan, ujar Ruslan.
Pemilik PT Dapetin di Jakarta Selatan itu hanya mengeluarkan biaya Rp8.000 untuk setiap kolam berisi 200 ekor. Padahal, biasanya para peternak lain paling tidak menggelontorkan Rp14.000 untuk pembesaran jumlah yang sama. Semua itu karena Ruslan menggunakan media campuran untuk pembesarannya.
Media campuran
Menurut Ruslan, belut akan cepat besar jika medianya cocok. Media yang digunakan ayah dari 3 anak itu terdiri dari lumpur kering, kompos, jerami padi, pupuk TSP, dan mikroorganisme stater. Peletakkannya diatur: bagian dasar kolam dilapisi jerami setebal 50 cm. Di atas jerami disiramkan 1 liter mikroorganisma stater. Berikutnya kompos setinggi 5 cm. Media teratas adalah lumpur kering setinggi 25 cm yang sudah dicampur pupuk TSP sebanyak 5 kg.
Karena belut tetap memerlukan air sebagai habitat hidupnya, kolam diberi air sampai ketinggian 15 cm dari media teratas. Jangan lupa tanami eceng gondok sebagai tempat bersembunyi belut. Eceng gondok harus menutupi ¾ besar kolam, ujar peraih gelar Master of Management dari Philipine University itu.
Bibit belut tidak serta-merta dimasukkan. Media dalam kolam perlu didiamkan selama 2 minggu agar terjadi fermentasi. Media yang sudah terfermentasi akan menyediakan sumber pakan alami seperti jentik nyamuk, zooplankton, cacing, dan jasad-jasad renik. Setelah itu baru bibit dimasukkan.
Pakan hidup
Berdasarkan pengalaman Ruslan, sifat kanibalisme yang dimiliki Monopterus albus itu tidak terjadi selama pembesaran. Asal, pakan tersedia dalam jumlah cukup. Saat masih anakan belut tidak akan saling mengganggu. Sifat kanibal muncul saat belut berumur 10 bulan, ujarnya. Sebab itu tidak perlu khawatir memasukkan bibit dalam jumlah besar hingga ribuan ekor. Dalam 1 kolam berukuran 5 m x 5 m x 1 m, saya dapat memasukkan hingga 9.400 bibit, katanya.
Pakan yang diberikan harus segar dan hidup, seperti ikan cetol, ikan impun, bibit ikan mas, cacing tanah, belatung, dan bekicot. Pakan diberikan minimal sehari sekali di atas pukul 17.00. Untuk menambah nafsu makan dapat diberi temulawak Curcuma xanthorhiza. Sekitar 200 g temulawak ditumbuk lalu direbus dengan 1 liter air. Setelah dingin, air rebusan dituang ke kolam pembesaran. Pilih tempat yang biasanya belut bersembunyi, ujar Ruslan.
Pelet ikan dapat diberikan sebagai pakan selingan untuk memacu pertumbuhan. Pemberiannya ditaburkan ke seluruh area kolam. Tak sampai beberapa menit biasanya anakan belut segera menyantapnya. Pelet diberikan maksimal 3 kali seminggu. Dosisnya 5% dari bobot bibit yang ditebar. Jika bibit yang ditebar 40 kg, pelet yang diberikan sekitar 2 kg.
Hujan buatan
Selain pakan, yang perlu diperhatikan kualitas air. Bibit belut menyukai pH 5-7. Selama pembesaran, perubahan air menjadi basa sering terjadi di kolam. Air basa akan tampak merah kecokelatan. Penyebabnya antara lain tingginya kadar amonia seiring bertumpuknya sisa-sisa pakan dan dekomposisi hasil metabolisme. Belut yang hidup dalam kondisi itu akan cepat mati, ujar Son Son. Untuk mengatasinya, pH air perlu rutin diukur. Jika terjadi perubahan, segera beri penetralisir.
Kehadiran hama seperti burung belibis, bebek, dan berang-berang perlu diwaspadai. Mereka biasanya spontan masuk jika kondisi kolam dibiarkan tak terawat. Kehadiran mereka sedikit-banyak turut mendongkrak naiknya pH karena kotoran yang dibuangnya. Hama bisa dihilangkan dengan membuat kondisi kolam rapi dan pengontrolan rutin sehari sekali, tutur Ruslan.
Suhu air pun perlu dijaga agar tetap pada kisaran 26-28oC. Peternak di daerah panas bersuhu 29-32oC, seperti Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi, perlu hujan buatan untuk mendapatkan suhu yang ideal. Son Son menggunakan shading net dan hujan buatan untuk bisa mendapat suhu 26oC. Bila terpenuhi pertumbuhan belut dapat maksimal, ujar alumnus Institut Teknologi Indonesia itu.
Shading net dipasang di atas kolam agar intensitas cahaya matahari yang masuk berkurang. Selanjutnya 3 saluran selang dipasang di tepi kolam untuk menciptakan hujan buatan. Perlakuan itu dapat menyeimbangkan suhu kolam sekaligus menambah ketersediaan oksigen terlarut. Ketidakseimbangan suhu menyebabkan bibit cepat mati, ucap Son Son.
Hal senada diamini Ruslan. Jika tidak bisa membuat hujan buatan, dapat diganti dengan menanam eceng gondok di seluruh permukaan kolam, ujar Ruslan. Dengan cara itu bibit belut tumbuh cepat, hanya dalam tempo 4 bulan sudah siap panen. (Hermansyah)
Mari Rebut Pasar Belut
Siang itu Juli 2006 di Batutulis, Bogor. Pancaran matahari begitu terik membuat Ruslan Roy berteduh. Ia tetap awas melihat kesibukan pekerja yang memilah belut ke dalam 100 boks styrofoam. Itu baru 3,5 ton dari permintaan Hongkong yang mencapai 60 ton/hari, ujar Ruslan Roy.
Alumnus Universitras Padjadjaran Bandung itu memang kelimpungan memenuhi permintaan belut dari eksportir. Selama ini ia hanya mengandalkan pasokan belut dari alam yang terbatas. Sampai kapan pun tidak bisa memenuhi permintaan, ujarnya. Sebab itu pula ia mulai merintis budidaya belut dengan menebar 40 kg bibit pada Juli 1989.
Roy-panggilan akrab Ruslan Roy-memperkirakan seminggu setelah peringatan Hari Kemerdekaan ke-61 RI semua Monopterus albus yang dibudidayakan di kolam seluas 25 m2 itu siap panen. Ukuran yang diminta eksportir untuk belut konsumsi sekitar 400 g/ekor. Bila waktu itu tiba, eksportir di Tangerang yang jauh-jauh hari menginden akan menampung seluruh hasil panen.
Untuk mengejar ukuran konsumsi, peternak di Jakarta Selatan itu memberi pakan alami berprotein tinggi seperti cacing tanah, potongan ikan laut, dan keong mas. Pakan itu dirajang dan diberikan sebanyak 5% dari bobot tubuh/hari.
Dengan asumsi tingkat kematian 5-10% hingga berumur 9 bulan, Roy menghitung 4-5 bulan setelah menebar bibit, ia bakal memanen 400 kg belut. Dengan harga Rp40.000/kg, total pendapatan yang diraup Rp16-juta. Setelah dikurangi biaya-biaya sekitar Rp2-juta, diperoleh laba bersih Rp14-juta.
Keuntungan itu akan semakin melambung karena pada saat yang sama Roy membuat 75 kolam di Rancamaya, Bogor, masing-masing berukuran sekitar 25 m2 berkedalaman 1 m. Pantas suami Kastini itu berani melepas pekerjaannya sebagai konsultan keuangan di Jakarta Pusat.
Perluas areal
Nun di Bandung, Ir R. M. Son Son Sundoro, lebih dahulu menikmati keuntungan hasil pembesaran belut. Itu setelah ia dan temannya sukses memasok ke beberapa negara. Sebut saja Hongkong, Taiwan, Cina, Jepang, Korea, Malaysia, dan Thailand. Menurut Son Son pasar belut mancanegara tidak terbatas. Oleh karena itu demi menjaga kontinuitas pasokan, ia dan eksportir membuat perjanjian di atas kertas bermaterai. Maksudnya agar importir mendapat jaminan pasokan.
Sejak 1998, alumnus Teknik dan Manajemen Industri di Institut Teknologi Indonesia, itu rutin menyetor 3 ton/hari ke eksportir. Itu dipenuhi dari 30 kolam berukuran 5 m x 5 m di Majalengka, Ciwidey, Rancaekek, dan 200 kolam plasma binaan di Jawa Barat. Ia mematok harga belut ke eksportir US$4-US$5, setara Rp40.000-Rp60.000/kg isi 10-15 ekor. Sementara harga di tingkat petani plasma Rp20.000/kg.
Permintaan ekspor belut
Negara Tujuan
Kebutuhan (ton/minggu)
Jepang
1.000
Hongkong
350
Cina
300
Malaysia
80
Taiwan
20
Korea
10
Singapura
5
Sumber: Drs Ruslan Roy, MM, Ir R. M. Son Son Sundoro, www.eelstheband.com, dan telah diolah dari berbagai sumber.
Terhitung mulai Juli 2006, total pasokan meningkat drastis menjadi 50 ton per hari. Itu diperoleh setelah pria 39 tahun itu membuka kerjasama dengan para peternak di dalam dan luar Pulau Jawa. Sebut saja pada awal 2006 ia membuka kolam pembesaran seluas 168 m2 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Di tempat lain, penggemar travelling itu juga membuka 110 kolam jaring apung masing-masing seluas 21 m2 di waduk Cirata, Kabupaten Bandung. Total jenderal 1-juta bibit belut ditebar bertahap di jaring apung agar panen berlangsung kontinu setiap minggu. Dengan volume sebesar itu, ayah 3 putri itu memperkirakan keuntungan sebesar US$2.500 atau Rp 20.500.000 per hari.
Di Majalengka, Jawa Barat, Muhammad Ara Giwangkara juga menuai laba dari pembesaran belut. Sarjana filsafat dari IAIN Sunan Gunungjati, Bandung, itu akhir Desember 2005 membeli 400 kg bibit dari seorang plasma di Bandung seharga Rp11,5- juta. Bibit-bibit itu kemudian dipelihara di 10 kolam bersekat asbes berukuran 5 m x 5 m. Berselang 4 bulan, belut berukuran konsumsi, 35-40 cm, sudah bisa dipanen.
Dengan persentase kematian dari burayak hingga siap panen 4%, Ara bisa menjual sekitar 3.000 kg belut. Karena bermitra, ia mendapat harga jual Rp12.500/ kg. Setelah dikurangi ongkos perawatan dan operasional sebesar Rp9- juta dan pembelian bibit baru sebesar Rp11,5- juta, tabungan Ara bertambah Rp17-juta. Bagi Ara hasil itu sungguh luar biasa, sebab dengan pendapatan Rp3- juta- Rp4-juta per bulan, ia sudah bisa melebihi gaji pegawai negeri golongan IV.
Bibit meroket
Gurihnya bisnis belut tidak hanya dirasakan peternak pembesar. Peternak pendeder yang memproduksi bibit berumur 3 bulan turut terciprat rezeki. Justru di situlah terbuka peluang mendapatkan laba relatif singkat. Apalagi kini harga bibit semakin meroket. Kalau dulu Rp10.000/kg, sekarang rata-rata Rp27.500/kg, tergantung kualitas, ujar Hj Komalasari, penyedia bibit di Sukabumi, Jawa Barat. Ia menjual minimal 400-500 kg bibit/bulan sejak awal 1985 hingga sekarang.
Pendeder pun tak perlu takut mencari pasar. Mereka bisa memilih cara bermitra atau nonmitra. Keuntungan pendeder bermitra: memiliki jaminan pasar yang pasti dari penampung. Yang nonmitra, selain bebas menjual eceran, pun bisa menyetor ke penampung dengan harga jual lebih rendah 20-30% daripada bermitra. Toh, semua tetap menuai untung.
Sukses Son Son, Ruslan, Ara, dan Komalasari memproduksi dan memasarkan belut sekarang ini bak bumi dan langit dibandingkan 8 tahun lalu. Siapa yang berani menjamin kalau belut booming gampang menjualnya? ujar Eka Budianta, pengamat agribisnis di Jakarta.
Menurut Eka, memang belut segar kini semakin dicari, bahkan harganya semakin melambung jika sudah masuk ke restoran. Untuk harga satu porsi unagi-hidangan belut segar-di restoran jepang yang cukup bergengsi di Jakarta Selatan mencapai Rp250.000. Apalagi bila dibeli di Tokyo, Osaka, maupun di restoran jepang di kota-kota besar dunia.
Dengan demikian boleh jadi banyak yang mengendus peluang bisnis belut yang kini pasarnya menganga lebar. Maklum pasokan belut-bibit maupun ukuran konsumsi-sangat minim, sedangkan permintaannya membludak. (Hermansyah/Peliput: Lani Marliani)
November 24, 2006 by trimudilah
Empat Bulan Panen Belut
Membesarkan belut hingga siap panen dari bibit umur 1-3 bulan butuh waktu 7 bulan. Namun, Ruslan Roy, peternak sekaligus eksportir di Jakarta Selatan, mampu menyingkatnya menjadi 4 bulan. Kunci suksesnya antara lain terletak pada media dan pengaturan pakan.
Belut yang dipanen Ruslan rata-rata berbobot 400 g/ekor. Itu artinya sama dengan bobot belut yang dihasilkan peternak lain. Cuma waktu pemeliharaan yang dilakukan Ruslan lebih singkat 3 bulan dibanding mereka. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan Ruslan pun jauh lebih rendah. Selain menekan biaya produksi, panen dalam waktu singkat itu mampu mendongkrak ketersediaan pasokan, ujar Ruslan.
Pemilik PT Dapetin di Jakarta Selatan itu hanya mengeluarkan biaya Rp8.000 untuk setiap kolam berisi 200 ekor. Padahal, biasanya para peternak lain paling tidak menggelontorkan Rp14.000 untuk pembesaran jumlah yang sama. Semua itu karena Ruslan menggunakan media campuran untuk pembesarannya.
Media campuran
Menurut Ruslan, belut akan cepat besar jika medianya cocok. Media yang digunakan ayah dari 3 anak itu terdiri dari lumpur kering, kompos, jerami padi, pupuk TSP, dan mikroorganisme stater. Peletakkannya diatur: bagian dasar kolam dilapisi jerami setebal 50 cm. Di atas jerami disiramkan 1 liter mikroorganisma stater. Berikutnya kompos setinggi 5 cm. Media teratas adalah lumpur kering setinggi 25 cm yang sudah dicampur pupuk TSP sebanyak 5 kg.
Karena belut tetap memerlukan air sebagai habitat hidupnya, kolam diberi air sampai ketinggian 15 cm dari media teratas. Jangan lupa tanami eceng gondok sebagai tempat bersembunyi belut. Eceng gondok harus menutupi ¾ besar kolam, ujar peraih gelar Master of Management dari Philipine University itu.
Bibit belut tidak serta-merta dimasukkan. Media dalam kolam perlu didiamkan selama 2 minggu agar terjadi fermentasi. Media yang sudah terfermentasi akan menyediakan sumber pakan alami seperti jentik nyamuk, zooplankton, cacing, dan jasad-jasad renik. Setelah itu baru bibit dimasukkan.
Pakan hidup
Berdasarkan pengalaman Ruslan, sifat kanibalisme yang dimiliki Monopterus albus itu tidak terjadi selama pembesaran. Asal, pakan tersedia dalam jumlah cukup. Saat masih anakan belut tidak akan saling mengganggu. Sifat kanibal muncul saat belut berumur 10 bulan, ujarnya. Sebab itu tidak perlu khawatir memasukkan bibit dalam jumlah besar hingga ribuan ekor. Dalam 1 kolam berukuran 5 m x 5 m x 1 m, saya dapat memasukkan hingga 9.400 bibit, katanya.
Pakan yang diberikan harus segar dan hidup, seperti ikan cetol, ikan impun, bibit ikan mas, cacing tanah, belatung, dan bekicot. Pakan diberikan minimal sehari sekali di atas pukul 17.00. Untuk menambah nafsu makan dapat diberi temulawak Curcuma xanthorhiza. Sekitar 200 g temulawak ditumbuk lalu direbus dengan 1 liter air. Setelah dingin, air rebusan dituang ke kolam pembesaran. Pilih tempat yang biasanya belut bersembunyi, ujar Ruslan.
Pelet ikan dapat diberikan sebagai pakan selingan untuk memacu pertumbuhan. Pemberiannya ditaburkan ke seluruh area kolam. Tak sampai beberapa menit biasanya anakan belut segera menyantapnya. Pelet diberikan maksimal 3 kali seminggu. Dosisnya 5% dari bobot bibit yang ditebar. Jika bibit yang ditebar 40 kg, pelet yang diberikan sekitar 2 kg.
Hujan buatan
Selain pakan, yang perlu diperhatikan kualitas air. Bibit belut menyukai pH 5-7. Selama pembesaran, perubahan air menjadi basa sering terjadi di kolam. Air basa akan tampak merah kecokelatan. Penyebabnya antara lain tingginya kadar amonia seiring bertumpuknya sisa-sisa pakan dan dekomposisi hasil metabolisme. Belut yang hidup dalam kondisi itu akan cepat mati, ujar Son Son. Untuk mengatasinya, pH air perlu rutin diukur. Jika terjadi perubahan, segera beri penetralisir.
Kehadiran hama seperti burung belibis, bebek, dan berang-berang perlu diwaspadai. Mereka biasanya spontan masuk jika kondisi kolam dibiarkan tak terawat. Kehadiran mereka sedikit-banyak turut mendongkrak naiknya pH karena kotoran yang dibuangnya. Hama bisa dihilangkan dengan membuat kondisi kolam rapi dan pengontrolan rutin sehari sekali, tutur Ruslan.
Suhu air pun perlu dijaga agar tetap pada kisaran 26-28oC. Peternak di daerah panas bersuhu 29-32oC, seperti Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi, perlu hujan buatan untuk mendapatkan suhu yang ideal. Son Son menggunakan shading net dan hujan buatan untuk bisa mendapat suhu 26oC. Bila terpenuhi pertumbuhan belut dapat maksimal, ujar alumnus Institut Teknologi Indonesia itu.
Shading net dipasang di atas kolam agar intensitas cahaya matahari yang masuk berkurang. Selanjutnya 3 saluran selang dipasang di tepi kolam untuk menciptakan hujan buatan. Perlakuan itu dapat menyeimbangkan suhu kolam sekaligus menambah ketersediaan oksigen terlarut. Ketidakseimbangan suhu menyebabkan bibit cepat mati, ucap Son Son.
Hal senada diamini Ruslan. Jika tidak bisa membuat hujan buatan, dapat diganti dengan menanam eceng gondok di seluruh permukaan kolam, ujar Ruslan. Dengan cara itu bibit belut tumbuh cepat, hanya dalam tempo 4 bulan sudah siap panen. (Hermansyah)
Mari Rebut Pasar Belut
Siang itu Juli 2006 di Batutulis, Bogor. Pancaran matahari begitu terik membuat Ruslan Roy berteduh. Ia tetap awas melihat kesibukan pekerja yang memilah belut ke dalam 100 boks styrofoam. Itu baru 3,5 ton dari permintaan Hongkong yang mencapai 60 ton/hari, ujar Ruslan Roy.
Alumnus Universitras Padjadjaran Bandung itu memang kelimpungan memenuhi permintaan belut dari eksportir. Selama ini ia hanya mengandalkan pasokan belut dari alam yang terbatas. Sampai kapan pun tidak bisa memenuhi permintaan, ujarnya. Sebab itu pula ia mulai merintis budidaya belut dengan menebar 40 kg bibit pada Juli 1989.
Roy-panggilan akrab Ruslan Roy-memperkirakan seminggu setelah peringatan Hari Kemerdekaan ke-61 RI semua Monopterus albus yang dibudidayakan di kolam seluas 25 m2 itu siap panen. Ukuran yang diminta eksportir untuk belut konsumsi sekitar 400 g/ekor. Bila waktu itu tiba, eksportir di Tangerang yang jauh-jauh hari menginden akan menampung seluruh hasil panen.
Untuk mengejar ukuran konsumsi, peternak di Jakarta Selatan itu memberi pakan alami berprotein tinggi seperti cacing tanah, potongan ikan laut, dan keong mas. Pakan itu dirajang dan diberikan sebanyak 5% dari bobot tubuh/hari.
Dengan asumsi tingkat kematian 5-10% hingga berumur 9 bulan, Roy menghitung 4-5 bulan setelah menebar bibit, ia bakal memanen 400 kg belut. Dengan harga Rp40.000/kg, total pendapatan yang diraup Rp16-juta. Setelah dikurangi biaya-biaya sekitar Rp2-juta, diperoleh laba bersih Rp14-juta.
Keuntungan itu akan semakin melambung karena pada saat yang sama Roy membuat 75 kolam di Rancamaya, Bogor, masing-masing berukuran sekitar 25 m2 berkedalaman 1 m. Pantas suami Kastini itu berani melepas pekerjaannya sebagai konsultan keuangan di Jakarta Pusat.
Perluas areal
Nun di Bandung, Ir R. M. Son Son Sundoro, lebih dahulu menikmati keuntungan hasil pembesaran belut. Itu setelah ia dan temannya sukses memasok ke beberapa negara. Sebut saja Hongkong, Taiwan, Cina, Jepang, Korea, Malaysia, dan Thailand. Menurut Son Son pasar belut mancanegara tidak terbatas. Oleh karena itu demi menjaga kontinuitas pasokan, ia dan eksportir membuat perjanjian di atas kertas bermaterai. Maksudnya agar importir mendapat jaminan pasokan.
Sejak 1998, alumnus Teknik dan Manajemen Industri di Institut Teknologi Indonesia, itu rutin menyetor 3 ton/hari ke eksportir. Itu dipenuhi dari 30 kolam berukuran 5 m x 5 m di Majalengka, Ciwidey, Rancaekek, dan 200 kolam plasma binaan di Jawa Barat. Ia mematok harga belut ke eksportir US$4-US$5, setara Rp40.000-Rp60.000/kg isi 10-15 ekor. Sementara harga di tingkat petani plasma Rp20.000/kg.
Permintaan ekspor belut
Negara Tujuan
Kebutuhan (ton/minggu)
Jepang
1.000
Hongkong
350
Cina
300
Malaysia
80
Taiwan
20
Korea
10
Singapura
5
Sumber: Drs Ruslan Roy, MM, Ir R. M. Son Son Sundoro, www.eelstheband.com, dan telah diolah dari berbagai sumber.
Terhitung mulai Juli 2006, total pasokan meningkat drastis menjadi 50 ton per hari. Itu diperoleh setelah pria 39 tahun itu membuka kerjasama dengan para peternak di dalam dan luar Pulau Jawa. Sebut saja pada awal 2006 ia membuka kolam pembesaran seluas 168 m2 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Di tempat lain, penggemar travelling itu juga membuka 110 kolam jaring apung masing-masing seluas 21 m2 di waduk Cirata, Kabupaten Bandung. Total jenderal 1-juta bibit belut ditebar bertahap di jaring apung agar panen berlangsung kontinu setiap minggu. Dengan volume sebesar itu, ayah 3 putri itu memperkirakan keuntungan sebesar US$2.500 atau Rp 20.500.000 per hari.
Di Majalengka, Jawa Barat, Muhammad Ara Giwangkara juga menuai laba dari pembesaran belut. Sarjana filsafat dari IAIN Sunan Gunungjati, Bandung, itu akhir Desember 2005 membeli 400 kg bibit dari seorang plasma di Bandung seharga Rp11,5- juta. Bibit-bibit itu kemudian dipelihara di 10 kolam bersekat asbes berukuran 5 m x 5 m. Berselang 4 bulan, belut berukuran konsumsi, 35-40 cm, sudah bisa dipanen.
Dengan persentase kematian dari burayak hingga siap panen 4%, Ara bisa menjual sekitar 3.000 kg belut. Karena bermitra, ia mendapat harga jual Rp12.500/ kg. Setelah dikurangi ongkos perawatan dan operasional sebesar Rp9- juta dan pembelian bibit baru sebesar Rp11,5- juta, tabungan Ara bertambah Rp17-juta. Bagi Ara hasil itu sungguh luar biasa, sebab dengan pendapatan Rp3- juta- Rp4-juta per bulan, ia sudah bisa melebihi gaji pegawai negeri golongan IV.
Bibit meroket
Gurihnya bisnis belut tidak hanya dirasakan peternak pembesar. Peternak pendeder yang memproduksi bibit berumur 3 bulan turut terciprat rezeki. Justru di situlah terbuka peluang mendapatkan laba relatif singkat. Apalagi kini harga bibit semakin meroket. Kalau dulu Rp10.000/kg, sekarang rata-rata Rp27.500/kg, tergantung kualitas, ujar Hj Komalasari, penyedia bibit di Sukabumi, Jawa Barat. Ia menjual minimal 400-500 kg bibit/bulan sejak awal 1985 hingga sekarang.
Pendeder pun tak perlu takut mencari pasar. Mereka bisa memilih cara bermitra atau nonmitra. Keuntungan pendeder bermitra: memiliki jaminan pasar yang pasti dari penampung. Yang nonmitra, selain bebas menjual eceran, pun bisa menyetor ke penampung dengan harga jual lebih rendah 20-30% daripada bermitra. Toh, semua tetap menuai untung.
Sukses Son Son, Ruslan, Ara, dan Komalasari memproduksi dan memasarkan belut sekarang ini bak bumi dan langit dibandingkan 8 tahun lalu. Siapa yang berani menjamin kalau belut booming gampang menjualnya? ujar Eka Budianta, pengamat agribisnis di Jakarta.
Menurut Eka, memang belut segar kini semakin dicari, bahkan harganya semakin melambung jika sudah masuk ke restoran. Untuk harga satu porsi unagi-hidangan belut segar-di restoran jepang yang cukup bergengsi di Jakarta Selatan mencapai Rp250.000. Apalagi bila dibeli di Tokyo, Osaka, maupun di restoran jepang di kota-kota besar dunia.
Dengan demikian boleh jadi banyak yang mengendus peluang bisnis belut yang kini pasarnya menganga lebar. Maklum pasokan belut-bibit maupun ukuran konsumsi-sangat minim, sedangkan permintaannya membludak. (Hermansyah/Peliput: Lani Marliani)
budidaya belut
« Budidaya Belut (2)Budidaya Belut (4) »Budidaya Belut (3)
December 5, 2006 by trimudilah
Belut Tantangan dan Harapan Masa Depan
Budidaya Belut saat ini dirasa sangat menguntungkan mengingat permintaan dalam dan luar negeri terus meningkat, namun Belut alam yang hidup bebas sangat sulit ditemukan.
Penggunaan pestisida pembahas hama dilahan pertanian ternyata berdampak menghilangnya sebagian spesies ikan, termasuk belut. Hal ini sangat memprihatinkan, bila dipandang dari segi keseimbangan alam. Kelestarian alam merupakan tanggungjawab bersama penghuni bumi.
Budidaya Belut sebenarnya tidak sulit dan juga tidak mahal. Masyarakat yang memiliki lahan sempitpun dapat memelihara belut. Secara Teknis Budidaya dan pemeliharaan belut (monopterus albus) hanya memerlukan perhatian dalam memilih tempat/lokasi budidaya, pembuatan kolam, media pemeliharaan, memilih benih, perkembangbiakan belut, penetasan, makanan dan kebiasaan makan serta hama. Disisi lain kita memerlukan tata cara panen, pasca panen, pemasaran dan pencatatan.
Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Belut
a. Tempat/Lokasi Budidaya
Pemilihan lokasi bakal pembuatan kolam ditempat yang tidak secara langsung terkena sinar matahari, meskipun dapat disiasati dengan pemberian peneduh. Disamping itu luas lahan dengan memperhatikan kemiringan dan batas calon kolam. Kolam ini dapat diatas tanah atau galian tanah, hal ini tergantung pada luas lahan yang akan memudahkan pengamatan, pembangunan konstruksi kolam, seperti pintu air, saringan dan lain sebagainya.
b. Pembuatan kolam
Lokasi yang telah ditentukan dengan memperhatikan persyaratan teknis dan jenis kolam, baik kolam penampungan induk, kolam pemijahan dan pendederan serta kolam pembesaran. Kolam-kolam ini memiliki ukuran tersndiri, pertama, Kolam Penampungan Induk berukuran 200 cm x 400 cm x 80 cm, kedua Kolam Pemijahan 200 cm x 200 cm x 100 cm, ketiga, Kolam Pembesaran 500 cm x 500 cm x 120 cm.
c. Media Pemeliharaan
Kolam budidaya belut menggunakan media pemelihaan sebagai tempat hidup berupa tanah/lumpur sawah yang dikeringkan, pupuk kandang, pupuk kompos (sekam/gabah padi yang dibusukkan), jerami padi, cincangan batang pisang, pupuk urea dan NPK dengan perbandingan kurang lebih sebagai berikut :
Lapisan paling bawah tanah/lumpur setinggi 20 cm.
1. Lapisan pupuk kandang setinggi 5 cm.
2. Lapisan tanah/lumpur setinggi 10 cm.
3. Lapisan Pupuk kompos setinggi 5 cm.
4. Lapisan tanah/lumpur setinggi 10 cm.
5. Lapisan jerami padi setinggi 15 cm, yang diatasnya ditaburi secara merata pupuk urea 2,5 kg dan NPK 2,5 kg untuk ukuran kolam 500 cm x 500 cm. Perbandingan jumlah pupuk dan luas kolam ini juga dipergunakan dalam ukuran kolam, baik lebih besar maupun kecil.
7. Lapisan tanah/lumpur setinggi 20 cm.
8. Lapisan air dengan kedalaman setinggi 15 cm, yang ditaburi secara merata batang pisang sampai menutupi permukaan kolam.
Seluruh media pemeliharaan ini didiamkan agar terjadi proses permentasi dan siap untuk pemeliharaan belut selama kurang lebih dua minggu.
d. Pemilihan Benih
Media pemeliharaan yang sudah lengkap dan siap untuk pemeliharaan, menuntut pemilihan bibit belut yang berkualitas agar menghasilkan keturunan normal.
Syarat Benih Belut : pertama, anggota tubuh utuh dan mulus atau tidak cacat atau bekas gigitan. kedua, mampu bergerak lincah dan agresif. ketiga, penampilan sehat yang ditunjukan dengan tubuh yang keras, tidak lemas tatkala dipegang. keempat, tubuh berukuran kecil dan berwarna kuning kecoklatan. kelima, usia berkisar 2-4 bulan.
Disamping itu diperhatikan pula pemilihan induk belut jantan dan betina sebagai berikut :
1. Ciri Induk Belut Jantan
Berukuran panjang lebih dari 40 cm.
Warna permukaan kulit gelap atau abu-abu.
Bentuk kepala tumpul.
Usia diatas sepuluh bulan.
2. Ciri Induk Belut Betina
Berukuran panjang 20-30 cm
Warna permukaan kulit cerah atau lebih muda
Warna hijau muda pada punggung dan warna putih kekuningan pada perut
Bentuk kepala runcing
Usia dibawah sembilan bulan.
e. Perkembangan Belut
Belut berkembangbiak secara alami dialam terbuka dan dapat dibudidaya dengan perkembangbiakan normal dikolam dengan media pemeliharaan yang memenuhi persyaratan. Belut secara lami memiliki masa kawin selama musim hujan (4-5 bulan), dimalam hari dengan suhu sekitar 28° C atau lebih. Musim kawin ini ditandai dengan berkeliarannya belut jantan kepenjuru kolam, terutama ketepian dan dangkal yang akan menjadi lubang perkawinan. Lubang berbentuk “U”dimana belut jantan akan membuat gelembung busa dipermukaan air untuk menarik perhatian betina, namun belut jantan menunggu pasangannya dikolam yang tidak berbusa. Telur-telur dikeluarkan disekitar lubang, dibawah busa dan setelah dibuahi akan dicakup pejantan untuk disemburkan dilubang persembunyian yang dijaga belut jantan.
f. Penetasan
Telur-telur ini akan menetas setelah 9-10 hari, tetapi dalam pendederan menetas pada hari ke 12-14. Anak-anak belut ini memiliki kulit kuning yang semakin hari akan berangsur-angsur menjadi coklat. Belut jantan akan tetap menjaga sampai belut muda berusia dua minggu atau mereka meninggalkan sarang penetasan untuk mencari makanan sendiri.
g. Makanan dan kebiasaan makan
Belut secara alamiah memakan segala jenis binatang kecil yang hidup atau terjatuh di air. Belut ini akan menyergap makanannya dengan membuat lubang perangkap, lubang ini menyerupai terowongan berdiameter 5 cm.
h. Hama belut
Belut jarang terserang penyakit yang disebabkan oleh kuman atau bakteri, namun mereka sering kekurangan pangan, kekeringan atau dimakan sesama belut dan predator lainnya, sehingga memerlukan air mengalir agar tetap sehat.
Setelah belut berkembang sesuai yang diharapkan, kita harus memperhatikan tata cara panen agar belut tidak luka dan tetap segar, baik untuk pasar lokal maupun antar daerah dan ekspor. Belut untuk pasar lokal hanya memerlukan ukuran sedang dengan umur 3-4 bulan, sedangkan ekspor perlu ukuran lebih besar dengan usia 6-7 bulan.
Perlakukan pasca panenpun juga harus diperhatikan, baik dalam membersihkan dan memperbaiki kolam pemeliharaan serta dilakukan penggantian media yang baru, sehingga makanan belut tidak habis bahkan semakin banyak.
Belut merupakan makanan bergizi yang layak dikonsumsi manusia, sehingga dapat dipasarkan dimanapun, baik lokal maupun ekspor dengan harga yang cukup menguntungkan.
Dalam rangka budidaya ini akan diselenggarakan Seminar atau Pelatihan Budidaya Belut dengan instruktur/narasumber Ir. R.M. Sonson Sundoro di Kaliurang pada tanggal 12-13 Februari 2005 dengan materi “Teknik Budidaya Belut” di Wisma Taman Eden Kaliurang Yogyakarta.
Kontribusi Pelatihan ini Rp. 525.000,- dengan fasilitas training kit, sertifikat, kartu anggota plasma, kaos, tas, kontrak jaminan pemasaran, transportasi ke peternak belut dan pertanggungan asuransi jiwa.
Tempat pendaftaran :
1. Iriyanto (Sayegan) – 081578064424
2. Slamet Sutiyono (Sidoarum) – 081578866449
3. Darmanto (Gedongkuning) – 08179412499
4. Slemat (Bumenkulon-Baturetno) – 0816688441
5. Joko Supriyanto (Magelang) – (0293) 5501549
Sekretariat : Jl. Wonocatur No. 31 Gedongkuning, Yogyakarta telp. (0274) 7484819 (heri/win)
Sumber : Koperasi Cipta Usaha Mandiri 1 1
December 5, 2006 by trimudilah
Belut Tantangan dan Harapan Masa Depan
Budidaya Belut saat ini dirasa sangat menguntungkan mengingat permintaan dalam dan luar negeri terus meningkat, namun Belut alam yang hidup bebas sangat sulit ditemukan.
Penggunaan pestisida pembahas hama dilahan pertanian ternyata berdampak menghilangnya sebagian spesies ikan, termasuk belut. Hal ini sangat memprihatinkan, bila dipandang dari segi keseimbangan alam. Kelestarian alam merupakan tanggungjawab bersama penghuni bumi.
Budidaya Belut sebenarnya tidak sulit dan juga tidak mahal. Masyarakat yang memiliki lahan sempitpun dapat memelihara belut. Secara Teknis Budidaya dan pemeliharaan belut (monopterus albus) hanya memerlukan perhatian dalam memilih tempat/lokasi budidaya, pembuatan kolam, media pemeliharaan, memilih benih, perkembangbiakan belut, penetasan, makanan dan kebiasaan makan serta hama. Disisi lain kita memerlukan tata cara panen, pasca panen, pemasaran dan pencatatan.
Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Belut
a. Tempat/Lokasi Budidaya
Pemilihan lokasi bakal pembuatan kolam ditempat yang tidak secara langsung terkena sinar matahari, meskipun dapat disiasati dengan pemberian peneduh. Disamping itu luas lahan dengan memperhatikan kemiringan dan batas calon kolam. Kolam ini dapat diatas tanah atau galian tanah, hal ini tergantung pada luas lahan yang akan memudahkan pengamatan, pembangunan konstruksi kolam, seperti pintu air, saringan dan lain sebagainya.
b. Pembuatan kolam
Lokasi yang telah ditentukan dengan memperhatikan persyaratan teknis dan jenis kolam, baik kolam penampungan induk, kolam pemijahan dan pendederan serta kolam pembesaran. Kolam-kolam ini memiliki ukuran tersndiri, pertama, Kolam Penampungan Induk berukuran 200 cm x 400 cm x 80 cm, kedua Kolam Pemijahan 200 cm x 200 cm x 100 cm, ketiga, Kolam Pembesaran 500 cm x 500 cm x 120 cm.
c. Media Pemeliharaan
Kolam budidaya belut menggunakan media pemelihaan sebagai tempat hidup berupa tanah/lumpur sawah yang dikeringkan, pupuk kandang, pupuk kompos (sekam/gabah padi yang dibusukkan), jerami padi, cincangan batang pisang, pupuk urea dan NPK dengan perbandingan kurang lebih sebagai berikut :
Lapisan paling bawah tanah/lumpur setinggi 20 cm.
1. Lapisan pupuk kandang setinggi 5 cm.
2. Lapisan tanah/lumpur setinggi 10 cm.
3. Lapisan Pupuk kompos setinggi 5 cm.
4. Lapisan tanah/lumpur setinggi 10 cm.
5. Lapisan jerami padi setinggi 15 cm, yang diatasnya ditaburi secara merata pupuk urea 2,5 kg dan NPK 2,5 kg untuk ukuran kolam 500 cm x 500 cm. Perbandingan jumlah pupuk dan luas kolam ini juga dipergunakan dalam ukuran kolam, baik lebih besar maupun kecil.
7. Lapisan tanah/lumpur setinggi 20 cm.
8. Lapisan air dengan kedalaman setinggi 15 cm, yang ditaburi secara merata batang pisang sampai menutupi permukaan kolam.
Seluruh media pemeliharaan ini didiamkan agar terjadi proses permentasi dan siap untuk pemeliharaan belut selama kurang lebih dua minggu.
d. Pemilihan Benih
Media pemeliharaan yang sudah lengkap dan siap untuk pemeliharaan, menuntut pemilihan bibit belut yang berkualitas agar menghasilkan keturunan normal.
Syarat Benih Belut : pertama, anggota tubuh utuh dan mulus atau tidak cacat atau bekas gigitan. kedua, mampu bergerak lincah dan agresif. ketiga, penampilan sehat yang ditunjukan dengan tubuh yang keras, tidak lemas tatkala dipegang. keempat, tubuh berukuran kecil dan berwarna kuning kecoklatan. kelima, usia berkisar 2-4 bulan.
Disamping itu diperhatikan pula pemilihan induk belut jantan dan betina sebagai berikut :
1. Ciri Induk Belut Jantan
Berukuran panjang lebih dari 40 cm.
Warna permukaan kulit gelap atau abu-abu.
Bentuk kepala tumpul.
Usia diatas sepuluh bulan.
2. Ciri Induk Belut Betina
Berukuran panjang 20-30 cm
Warna permukaan kulit cerah atau lebih muda
Warna hijau muda pada punggung dan warna putih kekuningan pada perut
Bentuk kepala runcing
Usia dibawah sembilan bulan.
e. Perkembangan Belut
Belut berkembangbiak secara alami dialam terbuka dan dapat dibudidaya dengan perkembangbiakan normal dikolam dengan media pemeliharaan yang memenuhi persyaratan. Belut secara lami memiliki masa kawin selama musim hujan (4-5 bulan), dimalam hari dengan suhu sekitar 28° C atau lebih. Musim kawin ini ditandai dengan berkeliarannya belut jantan kepenjuru kolam, terutama ketepian dan dangkal yang akan menjadi lubang perkawinan. Lubang berbentuk “U”dimana belut jantan akan membuat gelembung busa dipermukaan air untuk menarik perhatian betina, namun belut jantan menunggu pasangannya dikolam yang tidak berbusa. Telur-telur dikeluarkan disekitar lubang, dibawah busa dan setelah dibuahi akan dicakup pejantan untuk disemburkan dilubang persembunyian yang dijaga belut jantan.
f. Penetasan
Telur-telur ini akan menetas setelah 9-10 hari, tetapi dalam pendederan menetas pada hari ke 12-14. Anak-anak belut ini memiliki kulit kuning yang semakin hari akan berangsur-angsur menjadi coklat. Belut jantan akan tetap menjaga sampai belut muda berusia dua minggu atau mereka meninggalkan sarang penetasan untuk mencari makanan sendiri.
g. Makanan dan kebiasaan makan
Belut secara alamiah memakan segala jenis binatang kecil yang hidup atau terjatuh di air. Belut ini akan menyergap makanannya dengan membuat lubang perangkap, lubang ini menyerupai terowongan berdiameter 5 cm.
h. Hama belut
Belut jarang terserang penyakit yang disebabkan oleh kuman atau bakteri, namun mereka sering kekurangan pangan, kekeringan atau dimakan sesama belut dan predator lainnya, sehingga memerlukan air mengalir agar tetap sehat.
Setelah belut berkembang sesuai yang diharapkan, kita harus memperhatikan tata cara panen agar belut tidak luka dan tetap segar, baik untuk pasar lokal maupun antar daerah dan ekspor. Belut untuk pasar lokal hanya memerlukan ukuran sedang dengan umur 3-4 bulan, sedangkan ekspor perlu ukuran lebih besar dengan usia 6-7 bulan.
Perlakukan pasca panenpun juga harus diperhatikan, baik dalam membersihkan dan memperbaiki kolam pemeliharaan serta dilakukan penggantian media yang baru, sehingga makanan belut tidak habis bahkan semakin banyak.
Belut merupakan makanan bergizi yang layak dikonsumsi manusia, sehingga dapat dipasarkan dimanapun, baik lokal maupun ekspor dengan harga yang cukup menguntungkan.
Dalam rangka budidaya ini akan diselenggarakan Seminar atau Pelatihan Budidaya Belut dengan instruktur/narasumber Ir. R.M. Sonson Sundoro di Kaliurang pada tanggal 12-13 Februari 2005 dengan materi “Teknik Budidaya Belut” di Wisma Taman Eden Kaliurang Yogyakarta.
Kontribusi Pelatihan ini Rp. 525.000,- dengan fasilitas training kit, sertifikat, kartu anggota plasma, kaos, tas, kontrak jaminan pemasaran, transportasi ke peternak belut dan pertanggungan asuransi jiwa.
Tempat pendaftaran :
1. Iriyanto (Sayegan) – 081578064424
2. Slamet Sutiyono (Sidoarum) – 081578866449
3. Darmanto (Gedongkuning) – 08179412499
4. Slemat (Bumenkulon-Baturetno) – 0816688441
5. Joko Supriyanto (Magelang) – (0293) 5501549
Sekretariat : Jl. Wonocatur No. 31 Gedongkuning, Yogyakarta telp. (0274) 7484819 (heri/win)
Sumber : Koperasi Cipta Usaha Mandiri 1 1
pidato obama tentang osama
PRESIDEN Amerika Serikat Barack Obama mengonfirmasi tewasnya pimpinan jaringan teroris internasional Osama bin Laden, dalam pidatonya pada Minggu (1/5), pukul 23.38 waktu setempat. Osama tewas dalam aksi baku tembak dengan pasukan AS di Abbottabad, Pakistan.
Berikut isi pidato lengkap Obama:
SELAMAT malam. Malam ini, saya melaporkan kepada warga Amerika Serikat (AS) dan dunia bahwa pemerintah AS telah melancarkan sebuah operasi yang menewaskan Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda dan teroris yang bertanggung jawab atas pembunuhan ribuan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak berdosa.
Hampir 10 tahun lalu, suatu hari cerah di bulan September menjadi kelam ketika sebuah serangan terburuk dalam sejarah AS terjadi. Gambar dari serangan 9/11 terekam dalam ingatan kita semua.
Sebuah pesawat terbang yang dibajak melintas di langit, Twin Tower runtuh hingga rata dengan tanah, asap hitam membumbung dari Pentagon, reruntuhan Flight 93 tampak di Shanksville, Pennsylvania, dimana aksi warga yang dengan gagah berani menghindarkan kita dari lebih banyak kesedihan dan kehancuran.
Selain itu, kita juga jangan lupa dengan gambar terburuk yang tidak dilihat dunia. Kursi kosong di meja makan, anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ibu atau ayah mereka, serta orang tua yang tidak pernah merasakan kembali pelukan anak mereka. Sedikitnya 3 ribu warga AS kehilangan nyawa mereka dan meninggalkan lubang besar di hati kita semua.
Pada 11 September 2001, saat kita semua berduka, warga AS bersatu. Kita menawarkan bantuan kepada tetangga kita dan kita menawarkan darah kita kepada mereka yang terluka.
Kita memperkuat hubungan satu dengan yang lain serta cinta kita untuk komunitas dan negara ini. Di hari itu, tidak peduli dari mana Anda berasal, agama Anda, ras atau etnis Anda, kita semua bersatu menjadi sebuah keluarga besar, Amerika Serikat.
Kita juga bersatu dalam sebuah keputusan untuk melundungi negara ini dan membuat pelaku kejahatan biadab itu membayar perbuatannya. Kita segera mengetahui bahwa serangan 9/11 dilakukan oleh Al-Qaeda, sebuah organisasi yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang secara terbuka menggelar perang terhadap Amerika Serikat dan berkomitmen membunuh warga tak berdosa di negara kita dan berbagai penjuru dunia.
Karenanya, kita tanpa ragu menyatakan perang terhadap Al-Qaeda untuk melindungi warga negara AS, sahabat kita, dan seluruh sekutu AS.
Dalam kurun 10 tahun terakhir, berkat upaya tanpa lelah dan kepahlawanan dari militer dan kelompok counterterorisme profesional AS, kita telah mencapai hal yang besar dalam perang melawan teror.
Kita berhasil menggagalkan berbagai upaya serangan teroris dan memperkuat pertahanan dalam negeri. Di Afghanistan, kita berhasil menyingkirkan gerakan Taliban yang selama ini memberi tempat aman dan dukungan kepada bin Laden dan kelompok Al-Qaeda.
Di berbagai penjuru dunia lainnya, kita bekerja sama dengan negara sahabat dan sekutu untuk menangkap atau membunuh puluhan teroris Al-Qaeda termasuk mereka yang bertanggung jawab atas serangan 9/11. Namun, Osama bin Laden terus berhasil lolos dari tangkapan dan melarikan diri ke wilayah perbatasan Pakistan.
Sementara itu, Al-Qaeda terus melakukan kegiatan mereka dari wilayah perbatasan tersebut. Karenanya, tidak lama setelah dilantik sebagai presiden, saya menugaskan Leon Panetta, direktur CIA untuk menjadikan penangkapan atau pembunuhan bin Laden sebagai hal teratas dalam perang melawan Al-Qaeda sembari terus memperluas upaya untuk menghancurkan jaringan kelompok teroris tersebut.
Kemudian, pada Agustus lalu, setelah melalui tahun-tahun yang melelahkan, saya mendapatkan informasi mengenai kemungkinan lokasi bin Laden. Informasi itu sulit dibuktikan kebenarannya dan dibutuhkan beberapa bulan untuk memastikannya.
Saya bertemu beberapa kali dengan tim keamanan AS seiring berkembangnya informasi mengenai keberadaan bin Laden di sebuah lokasi di Pakistan. Dan puncaknya pada pekan lalu, saya memutuskan bahwa kita telah memiliki informasi yang cukup untuk beraksi dan mengeluarkan izin untuk sebuah operasi untuk menangkap Osama bin Laden.
Hari ini, berdasarkan arahan dari saya, Amerika Serikat melancarkan serangan terhadap sebuah bangunan di Abbottabad, Pakistan. Sebuah tim kecil menggelar operasi tersebut dengan keberanian dan kemampuan yang luar biasa.
Tidak ada warga AS yang terluka dalam serangan tersebut. Mereka berhasil menghindari jatuhnya korban warga sipil. Dalam baku tembak, Osama bin Laden tewas dan jenazahnya telah kami amankan.
Selama lebih dari dua dekade, bin Laden telah menjadi pemimpin dan simbol Al-Qaeda. Dia terus merencanakan serangan ke negara kita dan negara sahabat AS. Kematian bin Laden merupakan raihan paling signifikan dalam upaya AS mengalahkan Al-Qaeda.
Meski begitu, kematian bin Laden bukanlah akhir dari semua perjuangan AS. Tidak bisa dipungkiri bahwa Al-Qaeda akan terus melancarkan serangan terhadapa kita. Kita harus terus waspada baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam menggelar perang melawan Al Qaeda, saya juga menekankan bahwa pemerintah AS tidak dan tidak akan menggelar perang melawan Islam. Saya telah menjelaskan sama dengan Presiden Bush menjelaskan, tidak lama setelah 9/11 bahwa perang kita bukanlah perang melawan Islam.
Bin Laden bukanlah pemimpin umat Islam, dia adalah pembunuh kaum muslim. Al-Qaeda dengan terang-terangan telah membunuh puluhan warga muslim di banyak negara termasuk di AS.
Jadi, kematian bin Laden harus disambut oleh semua orang yang menginginkan kedamaian dan kedaulatan manusia. Selama ini, saya dengan tegas menyatakan bahwa AS akan melancarkan aksi di dalam negara Pakistan jika kami bisa memastikan keberadaan bin Laden.
Itu telah dibuktikan. Namun, lebih penting lagi adalah adanya kerja sama antiteror dengan pemerintah Pakistan yang membantu kami menemukan bin Laden dan tempat persembunyiannya. Bin Laden pun secara terang-terangan telah menyatakan perang terhadap Pakistan dan memerintah serangan terhadap warga Pakistan.
Malam ini, saya telah menghubungi Presiden Zardari dan tim saya telah berbicara dengan rekan-rekan mereka dari Pakistan. Mereka sepakat bahwa hari ini adalah hari yang baik dan bersejarah untuk kedua negara. Di masa depan, sangat penting bahwa Pakistan meneruskan kerja sama dengan AS untuk menghadapai Al-Qaeda.
Warga AS tidak memilih untuk terlibat dalam perang ini. Perang ini mendatangi AS dan memulainya dengan membantai warga negara AS. Setelah hampi 10 tahun, berperang dan berkorban, kita semua tahu biaya yang harus kita bayarkan.
Biaya itu terlihat jelas di mata saya sebagai Komandan Angkatan Bersenjata yang harus menulis surat kepada setiap keluarga yang kehilangan kerabat mereka atau melihat ke mata prajurit yang menderita luka parah.
Karenanya, warga AS sadar betul atas biaya perang ini. Namun, sebagai sebuah negara, kita tidak akan membiarkan keamanan negeri ini menjadi taruhan dan berdiam diri ketika warga AS dibunuh. Kita akan bekerja tanpa kenal lelah melindungi warga negara AS dan sekutunya.
Karenanya, di malam ini, kita bisa berkata kepada keluarga yang kehilangan orang yang mereka cintai akibat ulah Al-Qaeda: Keadilan telah ditegakkan. Malam ini, kita mengucapkan terima kasih kepada pekerja antiteror dan intelejen yang tidak terhitung jumlahnya yang telah tanpa kenal lelah melakukan tugas mereka.
Warga AS kemungkinan tidak melihat kerja mereka atau bahkan mengetahui nama mereka namun malam ini kita menyatakan puas atas kerja mereka.
Kita juga berterima kasih kepada mereka yang menggelar operasi ini karena mereka cerminan dari profesionalisme, patriotisme, dan keberanian tiada tara sebagai bentuk pengabdian untuk negara ini. Mereka merupakan bagian dari generasi yang menanggung beban dari serangan 9/11.
Akhirnya, izinkan saya menyampaikan kepada seluruh keluarga yang kehilangan kerabat mereka dalam peristiwa 9/11 bahwa kami tidak pernah melupakan kehilangan kalian ataupun mundur dari komitmen untuk mencegah serangan seperti itu terjadi di wilayah AS.
Dan malam ini, marilah kita semua melihat kembali pada persatuan yang terjadi pasca-9/11. Saya tahu bahwa rasa persatuan itu kerap goyah. Namun, capaian hari ini merupakan bukti terhadap kebesaran negara ini dan determinasi warga AS.
Tugas untuk mengamankan negara kita belum selesai. Namun, malam ini, kita sekali lagi diingatkan bahwa warga AS bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Itu merupakan bagian dari sejarah AS, apakah itu pengejaran untuk kesejahteraan, perburuan untuk kesamaan hak warga negara, penegakan nilai-nilai kemanusiaan, dan tekad untuk menciptakan dunia menjadi tempat yang lebih aman.
Mari kita semua mengingat bahwa kita bisa melakukan semua hal itu bukan karena kekayaan atau kekuasaan melainkan karena siapa diri kita yaitu sebuah negara yang satu di bawah naungan Tuhan tidak terpisahkan dimana kebebasan dan keadilan adalah milik semua orang.
Terima kasih. Tuhan bersama Anda semua. Dan Tuhan memberkati Amerika Serikat.(*)
Berikut isi pidato lengkap Obama:
SELAMAT malam. Malam ini, saya melaporkan kepada warga Amerika Serikat (AS) dan dunia bahwa pemerintah AS telah melancarkan sebuah operasi yang menewaskan Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda dan teroris yang bertanggung jawab atas pembunuhan ribuan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak berdosa.
Hampir 10 tahun lalu, suatu hari cerah di bulan September menjadi kelam ketika sebuah serangan terburuk dalam sejarah AS terjadi. Gambar dari serangan 9/11 terekam dalam ingatan kita semua.
Sebuah pesawat terbang yang dibajak melintas di langit, Twin Tower runtuh hingga rata dengan tanah, asap hitam membumbung dari Pentagon, reruntuhan Flight 93 tampak di Shanksville, Pennsylvania, dimana aksi warga yang dengan gagah berani menghindarkan kita dari lebih banyak kesedihan dan kehancuran.
Selain itu, kita juga jangan lupa dengan gambar terburuk yang tidak dilihat dunia. Kursi kosong di meja makan, anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ibu atau ayah mereka, serta orang tua yang tidak pernah merasakan kembali pelukan anak mereka. Sedikitnya 3 ribu warga AS kehilangan nyawa mereka dan meninggalkan lubang besar di hati kita semua.
Pada 11 September 2001, saat kita semua berduka, warga AS bersatu. Kita menawarkan bantuan kepada tetangga kita dan kita menawarkan darah kita kepada mereka yang terluka.
Kita memperkuat hubungan satu dengan yang lain serta cinta kita untuk komunitas dan negara ini. Di hari itu, tidak peduli dari mana Anda berasal, agama Anda, ras atau etnis Anda, kita semua bersatu menjadi sebuah keluarga besar, Amerika Serikat.
Kita juga bersatu dalam sebuah keputusan untuk melundungi negara ini dan membuat pelaku kejahatan biadab itu membayar perbuatannya. Kita segera mengetahui bahwa serangan 9/11 dilakukan oleh Al-Qaeda, sebuah organisasi yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang secara terbuka menggelar perang terhadap Amerika Serikat dan berkomitmen membunuh warga tak berdosa di negara kita dan berbagai penjuru dunia.
Karenanya, kita tanpa ragu menyatakan perang terhadap Al-Qaeda untuk melindungi warga negara AS, sahabat kita, dan seluruh sekutu AS.
Dalam kurun 10 tahun terakhir, berkat upaya tanpa lelah dan kepahlawanan dari militer dan kelompok counterterorisme profesional AS, kita telah mencapai hal yang besar dalam perang melawan teror.
Kita berhasil menggagalkan berbagai upaya serangan teroris dan memperkuat pertahanan dalam negeri. Di Afghanistan, kita berhasil menyingkirkan gerakan Taliban yang selama ini memberi tempat aman dan dukungan kepada bin Laden dan kelompok Al-Qaeda.
Di berbagai penjuru dunia lainnya, kita bekerja sama dengan negara sahabat dan sekutu untuk menangkap atau membunuh puluhan teroris Al-Qaeda termasuk mereka yang bertanggung jawab atas serangan 9/11. Namun, Osama bin Laden terus berhasil lolos dari tangkapan dan melarikan diri ke wilayah perbatasan Pakistan.
Sementara itu, Al-Qaeda terus melakukan kegiatan mereka dari wilayah perbatasan tersebut. Karenanya, tidak lama setelah dilantik sebagai presiden, saya menugaskan Leon Panetta, direktur CIA untuk menjadikan penangkapan atau pembunuhan bin Laden sebagai hal teratas dalam perang melawan Al-Qaeda sembari terus memperluas upaya untuk menghancurkan jaringan kelompok teroris tersebut.
Kemudian, pada Agustus lalu, setelah melalui tahun-tahun yang melelahkan, saya mendapatkan informasi mengenai kemungkinan lokasi bin Laden. Informasi itu sulit dibuktikan kebenarannya dan dibutuhkan beberapa bulan untuk memastikannya.
Saya bertemu beberapa kali dengan tim keamanan AS seiring berkembangnya informasi mengenai keberadaan bin Laden di sebuah lokasi di Pakistan. Dan puncaknya pada pekan lalu, saya memutuskan bahwa kita telah memiliki informasi yang cukup untuk beraksi dan mengeluarkan izin untuk sebuah operasi untuk menangkap Osama bin Laden.
Hari ini, berdasarkan arahan dari saya, Amerika Serikat melancarkan serangan terhadap sebuah bangunan di Abbottabad, Pakistan. Sebuah tim kecil menggelar operasi tersebut dengan keberanian dan kemampuan yang luar biasa.
Tidak ada warga AS yang terluka dalam serangan tersebut. Mereka berhasil menghindari jatuhnya korban warga sipil. Dalam baku tembak, Osama bin Laden tewas dan jenazahnya telah kami amankan.
Selama lebih dari dua dekade, bin Laden telah menjadi pemimpin dan simbol Al-Qaeda. Dia terus merencanakan serangan ke negara kita dan negara sahabat AS. Kematian bin Laden merupakan raihan paling signifikan dalam upaya AS mengalahkan Al-Qaeda.
Meski begitu, kematian bin Laden bukanlah akhir dari semua perjuangan AS. Tidak bisa dipungkiri bahwa Al-Qaeda akan terus melancarkan serangan terhadapa kita. Kita harus terus waspada baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam menggelar perang melawan Al Qaeda, saya juga menekankan bahwa pemerintah AS tidak dan tidak akan menggelar perang melawan Islam. Saya telah menjelaskan sama dengan Presiden Bush menjelaskan, tidak lama setelah 9/11 bahwa perang kita bukanlah perang melawan Islam.
Bin Laden bukanlah pemimpin umat Islam, dia adalah pembunuh kaum muslim. Al-Qaeda dengan terang-terangan telah membunuh puluhan warga muslim di banyak negara termasuk di AS.
Jadi, kematian bin Laden harus disambut oleh semua orang yang menginginkan kedamaian dan kedaulatan manusia. Selama ini, saya dengan tegas menyatakan bahwa AS akan melancarkan aksi di dalam negara Pakistan jika kami bisa memastikan keberadaan bin Laden.
Itu telah dibuktikan. Namun, lebih penting lagi adalah adanya kerja sama antiteror dengan pemerintah Pakistan yang membantu kami menemukan bin Laden dan tempat persembunyiannya. Bin Laden pun secara terang-terangan telah menyatakan perang terhadap Pakistan dan memerintah serangan terhadap warga Pakistan.
Malam ini, saya telah menghubungi Presiden Zardari dan tim saya telah berbicara dengan rekan-rekan mereka dari Pakistan. Mereka sepakat bahwa hari ini adalah hari yang baik dan bersejarah untuk kedua negara. Di masa depan, sangat penting bahwa Pakistan meneruskan kerja sama dengan AS untuk menghadapai Al-Qaeda.
Warga AS tidak memilih untuk terlibat dalam perang ini. Perang ini mendatangi AS dan memulainya dengan membantai warga negara AS. Setelah hampi 10 tahun, berperang dan berkorban, kita semua tahu biaya yang harus kita bayarkan.
Biaya itu terlihat jelas di mata saya sebagai Komandan Angkatan Bersenjata yang harus menulis surat kepada setiap keluarga yang kehilangan kerabat mereka atau melihat ke mata prajurit yang menderita luka parah.
Karenanya, warga AS sadar betul atas biaya perang ini. Namun, sebagai sebuah negara, kita tidak akan membiarkan keamanan negeri ini menjadi taruhan dan berdiam diri ketika warga AS dibunuh. Kita akan bekerja tanpa kenal lelah melindungi warga negara AS dan sekutunya.
Karenanya, di malam ini, kita bisa berkata kepada keluarga yang kehilangan orang yang mereka cintai akibat ulah Al-Qaeda: Keadilan telah ditegakkan. Malam ini, kita mengucapkan terima kasih kepada pekerja antiteror dan intelejen yang tidak terhitung jumlahnya yang telah tanpa kenal lelah melakukan tugas mereka.
Warga AS kemungkinan tidak melihat kerja mereka atau bahkan mengetahui nama mereka namun malam ini kita menyatakan puas atas kerja mereka.
Kita juga berterima kasih kepada mereka yang menggelar operasi ini karena mereka cerminan dari profesionalisme, patriotisme, dan keberanian tiada tara sebagai bentuk pengabdian untuk negara ini. Mereka merupakan bagian dari generasi yang menanggung beban dari serangan 9/11.
Akhirnya, izinkan saya menyampaikan kepada seluruh keluarga yang kehilangan kerabat mereka dalam peristiwa 9/11 bahwa kami tidak pernah melupakan kehilangan kalian ataupun mundur dari komitmen untuk mencegah serangan seperti itu terjadi di wilayah AS.
Dan malam ini, marilah kita semua melihat kembali pada persatuan yang terjadi pasca-9/11. Saya tahu bahwa rasa persatuan itu kerap goyah. Namun, capaian hari ini merupakan bukti terhadap kebesaran negara ini dan determinasi warga AS.
Tugas untuk mengamankan negara kita belum selesai. Namun, malam ini, kita sekali lagi diingatkan bahwa warga AS bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Itu merupakan bagian dari sejarah AS, apakah itu pengejaran untuk kesejahteraan, perburuan untuk kesamaan hak warga negara, penegakan nilai-nilai kemanusiaan, dan tekad untuk menciptakan dunia menjadi tempat yang lebih aman.
Mari kita semua mengingat bahwa kita bisa melakukan semua hal itu bukan karena kekayaan atau kekuasaan melainkan karena siapa diri kita yaitu sebuah negara yang satu di bawah naungan Tuhan tidak terpisahkan dimana kebebasan dan keadilan adalah milik semua orang.
Terima kasih. Tuhan bersama Anda semua. Dan Tuhan memberkati Amerika Serikat.(*)
pidato sby
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mengejutkan publik dan meluruskan sikapnya soal pencalonan presiden RI 2014. Dalam kuliah umum Indonesia Young Leaders Forum 2011 di Jakarta, Kamis (9/6), SBY dalam pembukaan kuliahnya menyatakan dirinya dan keluarga tidak akan maju dalam Pemilu Presiden 2014.
Berikut kutipannya:
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Yang saya hormati para Menteri, para Anggota DPR RI, dan para Anggota DPD RI, Saudara Gubernur DKI Jakarta, Saudara Ketua Umum HIPMI, para Sesepuh dan Senior HIPMI, Saudara Ketua dan para Anggota Komite Ekonomi Nasional, Saudara Dekan Fakultas Ekonomi UI beserta para Guru Besar UI, para Pimpinan Dunia Usaha, baik BUMN maupun swasta, para Tokoh dan Pemimpin Muda, Pemimpin Masa Depan, utamanya dari kalangan HIPMI yang saya cintai dan saya banggakan,
Sebelum saya menyampaikan ceramah tentang kepemimpinan sebagaimana yang dimintakan oleh Pimpinan HIPMI, sebagaimana tadi Ketua Panitia Penyelenggara memperkenalkan diri. Barangkali saya juga perlu memperkenalkan diri.
Nama saya, SBY. Jabatan saya, Presiden Republik Indonesia ke-6 hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Saya bukan Capres tahun 2014. Istri, saya ulangi, istri dan anak-anak saya juga tidak akan mencalonkan menjadi Presiden 2014. Saat ini saya juga tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk menjadi Capres 2014, biarlah rakyat dan demokrasi yang berbicara pada tahun 2014 mendatang. Setiap orang memiliki hak dan peluang untuk running for RI1. Atas dasar itulah Saudara-saudara, para Pemimpin Muda, saya menerima dengan baik Saudara Erwin Aksa untuk memberikan ceramah tentang kepemimpinan hari ini, on leadership.
Kalau tidak saya jelaskan dan saya perkenalkan siapa saya, dan keluarga saya, utamanya bukan menjadi Capres 2014, saya khawatir Saudara Erwin dan Saudara semua dicurigai oleh pihak-pihak yang kegemaran dan kebahagiannya bercuriga. Bisa-bisa Saudara dituduh jadi tim suksesnya SBY tahun 2014. Tahun 2014, saya tidak perlu tim sukses karena Insya Allah saya akan jatuh tempo.
Meskipun demikian Saudara-saudara, hampir pasti akan ada komentar yang negatif, serta gorengan, plintiran terhadap acara yang tebuka hari ini, tapi jangan khawatir, Allah Maha Mengetahui, rakyat juga punya hati. Jadi acara kita hari ini sah dan halal karena niatnya baik, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT memberikan rahmat, berkah dan ridho-Nya. Semoga pula para pemimpin muda, doa saya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga Saudara semua semakin sukses dalam karier dan profesi dan terus tumbuh menjadi pemimpin-pemimpin tangguh di negeri ini. Itu perkenalan dan pengantar saya.***
Berikut kutipannya:
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Yang saya hormati para Menteri, para Anggota DPR RI, dan para Anggota DPD RI, Saudara Gubernur DKI Jakarta, Saudara Ketua Umum HIPMI, para Sesepuh dan Senior HIPMI, Saudara Ketua dan para Anggota Komite Ekonomi Nasional, Saudara Dekan Fakultas Ekonomi UI beserta para Guru Besar UI, para Pimpinan Dunia Usaha, baik BUMN maupun swasta, para Tokoh dan Pemimpin Muda, Pemimpin Masa Depan, utamanya dari kalangan HIPMI yang saya cintai dan saya banggakan,
Sebelum saya menyampaikan ceramah tentang kepemimpinan sebagaimana yang dimintakan oleh Pimpinan HIPMI, sebagaimana tadi Ketua Panitia Penyelenggara memperkenalkan diri. Barangkali saya juga perlu memperkenalkan diri.
Nama saya, SBY. Jabatan saya, Presiden Republik Indonesia ke-6 hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Saya bukan Capres tahun 2014. Istri, saya ulangi, istri dan anak-anak saya juga tidak akan mencalonkan menjadi Presiden 2014. Saat ini saya juga tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk menjadi Capres 2014, biarlah rakyat dan demokrasi yang berbicara pada tahun 2014 mendatang. Setiap orang memiliki hak dan peluang untuk running for RI1. Atas dasar itulah Saudara-saudara, para Pemimpin Muda, saya menerima dengan baik Saudara Erwin Aksa untuk memberikan ceramah tentang kepemimpinan hari ini, on leadership.
Kalau tidak saya jelaskan dan saya perkenalkan siapa saya, dan keluarga saya, utamanya bukan menjadi Capres 2014, saya khawatir Saudara Erwin dan Saudara semua dicurigai oleh pihak-pihak yang kegemaran dan kebahagiannya bercuriga. Bisa-bisa Saudara dituduh jadi tim suksesnya SBY tahun 2014. Tahun 2014, saya tidak perlu tim sukses karena Insya Allah saya akan jatuh tempo.
Meskipun demikian Saudara-saudara, hampir pasti akan ada komentar yang negatif, serta gorengan, plintiran terhadap acara yang tebuka hari ini, tapi jangan khawatir, Allah Maha Mengetahui, rakyat juga punya hati. Jadi acara kita hari ini sah dan halal karena niatnya baik, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT memberikan rahmat, berkah dan ridho-Nya. Semoga pula para pemimpin muda, doa saya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga Saudara semua semakin sukses dalam karier dan profesi dan terus tumbuh menjadi pemimpin-pemimpin tangguh di negeri ini. Itu perkenalan dan pengantar saya.***
an + archos
An + Archos
Senin, 06 Juni 2011
Dalam bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengandung
sebuah salam. Selalu ada orang lain yang disambut atau dijawab.
Kekuasaan selamanya menuntut hadirnya ”sahaya”.
Satu bagian dari Pangeran Kecil Antoine de St. Exupery: Sang
pangeran berjalan-jalan ke beberapa asteroid di sekitar tempat asalnya.
Syahdan, ia berjumpa dengan seorang raja. Orang itu hidup sendirian di
benda angkasa yang kecil itu, duduk kesepian di sebuah takhta. Melihat
seseorang datang, ia berseru senang: ”Ah, itu dia. Seorang sahaya!”
Sang raja butuh orang yang bisa diperintahnya. Kebutuhan itu begitu
besar hingga ia bersedia mengubah titah: jika orang yang ia perintahkan
agar tak menguap ternyata tak patuh dan tetap menguap, baginda akan
mengganti komandonya dengan ”menguaplah!” Yang penting bukanlah
patuhnya orang lain, melainkan pengakuan bahwa dialah sumber perintah.
Dari kisah itu kita juga tahu: si ”sahaya” yang diperlukan itu
akhirnya jadi ”saya”: yang semula direndahkan, sujet sebagai rakyat,
jadi sujet sebagai manusia yang punya otoritas sendiri. Kekuasaan harus
bernegosiasi dengan ”saya”. Belajar dari sejarah, Hegel pernah
menunjukkan, dalam hubungan antara majikan dan budak, pada gilirannya
sang majikan akan bergantung kepada si budak. Sejarah politik
sebenarnya sejarah manusia yang tegang, mengandung sengketa, tapi juga
mengandung keinginan akan sesama.
Di sela-sela itulah saat ”ethis” dalam politik: ketika orang lain
dijangkau, bahkan disambut dengan terbuka dan murah hati. Zoon
politicon berarti ”hewan sosial” dan ”hewan politik” sekaligus, sebab
bangunan sosial selalu mengandung yang politik: persaingan, konflik,
kuasa-menguasai. Begitu juga proses politik tak akan terlepas dari yang
sosial, di mana konflik tak sepenuhnya hadir dalam kehidupan.
Dikatakan secara lain, saat ”ethis” adalah saat ketika manusia
mengusahakan hidupnya hubungan tanpa antagonisme, tanpa
kuasa-menguasai. Ketika Marx membayangkan masyarakat komunis, yang
diharapkannya adalah sebuah hubungan antarmanusia tanpa perang kelas,
di mana Negara—yang diartikannya sebagai instrumen pemaksaan—praktis
tak diperlukan lagi. Dengan kata lain, saat ”ethis” dalam politik
adalah saat yang memperjuangkan hidup yang egaliter. Dalam bentuknya
yang radikal, itulah saat yang merindukan anarki. Tentu saja ”anarki”
dari pengertiannya yang awal: an (tanpa) dan archos (penguasa).
Tapi politik sebagai perjuangan ke arah an + archos selamanya
menantikan yang berharga dan sekaligus mustahil.
Kita ingat 1966: Mao Zedong memulai ”Revolusi Kebudayaan”. Juli
tahun itu, ia kerahkan para mahasiswa yang kemudian disebut ”Pengawal
Merah” buat menghantam Partai Komunis Cina yang berkuasa. ”Berontak itu
sah!” katanya.
Banyak penjelasan kenapa Mao, yang memenangi revolusi pada 1949
dengan menggunakan mesin Partai yang efektif itu, akhirnya menampik apa
yang dulu dibangunnya. Tapi satu hal agaknya diakui: dukungan yang luas
dan fanatik dari para pemuda terhadap ”Revolusi Kebudayaan” tumbuh dari
persepsi bahwa Partai, semenjak menguasai Cina, telah jadi sarana yang
korup. Para pengagum Mao mencatatnya sebagai pelopor sebuah perjuangan
egaliter yang anti-Partai. ”Revolusi Kebudayaan” dilihat sebagai aksi
yang memisahkan Partai dari politik revolusioner. Partai adalah kutukan
sejarah. Perjuangan melepaskan diri dari kutukan itulah kemudian jadi
cita-cita orang seperti Alain Badiou dan barangkali juga sejumlah orang
di Indonesia kini, ketika demokrasi parlementer mengecewakan.
Tapi akhirnya ”Revolusi Kebudayaan” berhenti. Mao takut Cina
kacau-balau, sebab bentrokan bukan lagi hanya antara ”Pengawal Merah”
dan aparat Partai, tapi juga buruh. Ekonomi terancam, terutama di
kota-kota. April 1969, ”Revolusi Kebudayaan” dinyatakan berakhir.
Ironis, bahwa keputusan itu diambil dan disahkan oleh Sidang Ke-9
Partai. Sampai hari ini, Partai Komunis Cina—di bawah para pemimpin
pasca-Mao—tetap berkuasa. Semangat ”Revolusi Kebudayaan” yang merayakan
an + archos telah dibuang ke keranjang sampah sejarah.
Saat ”ethis” dalam politik memang tak bisa selalu bertahan. Setelah
gelora revolusi yang memberontak, Partai dan Negara segera
diterima—kalaupun bukan bentuk yang ideal, setidaknya sebagai hal buruk
yang tak dapat dielakkan.
Apalagi kini.
Kini, kapitalisme bergerak sekaligus ke dua arah yang paradoksal. Di
satu pihak, selalu ke arah akumulasi dan tegaknya tata yang normal yang
menjaga kelangsungan akumulasi kekuasaan itu. Di lain pihak,
berlangsung apa yang dikatakan Brian Massumi: kapitalisme justru
mendorong kendurnya ”normalitas” dengan menciptakan perbedaan yang tak
henti-hentinya, karena pasar semakin mudah jenuh. Di tengah kapitalisme
seperti itu, Partai dan Negara semakin jadi an evil necessity.
Tampaknya, dari waktu ke waktu, manusia butuh tegaknya Sang Penjaga
Makna. Tapi pada saat yang sama, Makna bisa menjepit, dan dorongan
untuk mengatakan bahwa ”Berontak itu sah” akan selalu terbit. Sejarah
berulang dalam pengertian itu: pengulangan yang sebenarnya menciptakan
yang baru kembali. Dulu budak-budak memberontak dengan pimpinan
Spartakus, seratus tahun sebelum Masehi. Berabad-abad kemudian para
”Spartakis” seperti Rosa Luxemburg membangkang kekuatan borjuasi abad
ke-20.
Ada semacam roh yang tampaknya tak akan berhenti di satu titik yang
aktual. Dalam bentuknya yang cacat sekalipun, berulang kali politik
membuka kemungkinan untuk sebuah saat ”ethis”—untuk sebuah salam.
Senin, 06 Juni 2011
Dalam bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengandung
sebuah salam. Selalu ada orang lain yang disambut atau dijawab.
Kekuasaan selamanya menuntut hadirnya ”sahaya”.
Satu bagian dari Pangeran Kecil Antoine de St. Exupery: Sang
pangeran berjalan-jalan ke beberapa asteroid di sekitar tempat asalnya.
Syahdan, ia berjumpa dengan seorang raja. Orang itu hidup sendirian di
benda angkasa yang kecil itu, duduk kesepian di sebuah takhta. Melihat
seseorang datang, ia berseru senang: ”Ah, itu dia. Seorang sahaya!”
Sang raja butuh orang yang bisa diperintahnya. Kebutuhan itu begitu
besar hingga ia bersedia mengubah titah: jika orang yang ia perintahkan
agar tak menguap ternyata tak patuh dan tetap menguap, baginda akan
mengganti komandonya dengan ”menguaplah!” Yang penting bukanlah
patuhnya orang lain, melainkan pengakuan bahwa dialah sumber perintah.
Dari kisah itu kita juga tahu: si ”sahaya” yang diperlukan itu
akhirnya jadi ”saya”: yang semula direndahkan, sujet sebagai rakyat,
jadi sujet sebagai manusia yang punya otoritas sendiri. Kekuasaan harus
bernegosiasi dengan ”saya”. Belajar dari sejarah, Hegel pernah
menunjukkan, dalam hubungan antara majikan dan budak, pada gilirannya
sang majikan akan bergantung kepada si budak. Sejarah politik
sebenarnya sejarah manusia yang tegang, mengandung sengketa, tapi juga
mengandung keinginan akan sesama.
Di sela-sela itulah saat ”ethis” dalam politik: ketika orang lain
dijangkau, bahkan disambut dengan terbuka dan murah hati. Zoon
politicon berarti ”hewan sosial” dan ”hewan politik” sekaligus, sebab
bangunan sosial selalu mengandung yang politik: persaingan, konflik,
kuasa-menguasai. Begitu juga proses politik tak akan terlepas dari yang
sosial, di mana konflik tak sepenuhnya hadir dalam kehidupan.
Dikatakan secara lain, saat ”ethis” adalah saat ketika manusia
mengusahakan hidupnya hubungan tanpa antagonisme, tanpa
kuasa-menguasai. Ketika Marx membayangkan masyarakat komunis, yang
diharapkannya adalah sebuah hubungan antarmanusia tanpa perang kelas,
di mana Negara—yang diartikannya sebagai instrumen pemaksaan—praktis
tak diperlukan lagi. Dengan kata lain, saat ”ethis” dalam politik
adalah saat yang memperjuangkan hidup yang egaliter. Dalam bentuknya
yang radikal, itulah saat yang merindukan anarki. Tentu saja ”anarki”
dari pengertiannya yang awal: an (tanpa) dan archos (penguasa).
Tapi politik sebagai perjuangan ke arah an + archos selamanya
menantikan yang berharga dan sekaligus mustahil.
Kita ingat 1966: Mao Zedong memulai ”Revolusi Kebudayaan”. Juli
tahun itu, ia kerahkan para mahasiswa yang kemudian disebut ”Pengawal
Merah” buat menghantam Partai Komunis Cina yang berkuasa. ”Berontak itu
sah!” katanya.
Banyak penjelasan kenapa Mao, yang memenangi revolusi pada 1949
dengan menggunakan mesin Partai yang efektif itu, akhirnya menampik apa
yang dulu dibangunnya. Tapi satu hal agaknya diakui: dukungan yang luas
dan fanatik dari para pemuda terhadap ”Revolusi Kebudayaan” tumbuh dari
persepsi bahwa Partai, semenjak menguasai Cina, telah jadi sarana yang
korup. Para pengagum Mao mencatatnya sebagai pelopor sebuah perjuangan
egaliter yang anti-Partai. ”Revolusi Kebudayaan” dilihat sebagai aksi
yang memisahkan Partai dari politik revolusioner. Partai adalah kutukan
sejarah. Perjuangan melepaskan diri dari kutukan itulah kemudian jadi
cita-cita orang seperti Alain Badiou dan barangkali juga sejumlah orang
di Indonesia kini, ketika demokrasi parlementer mengecewakan.
Tapi akhirnya ”Revolusi Kebudayaan” berhenti. Mao takut Cina
kacau-balau, sebab bentrokan bukan lagi hanya antara ”Pengawal Merah”
dan aparat Partai, tapi juga buruh. Ekonomi terancam, terutama di
kota-kota. April 1969, ”Revolusi Kebudayaan” dinyatakan berakhir.
Ironis, bahwa keputusan itu diambil dan disahkan oleh Sidang Ke-9
Partai. Sampai hari ini, Partai Komunis Cina—di bawah para pemimpin
pasca-Mao—tetap berkuasa. Semangat ”Revolusi Kebudayaan” yang merayakan
an + archos telah dibuang ke keranjang sampah sejarah.
Saat ”ethis” dalam politik memang tak bisa selalu bertahan. Setelah
gelora revolusi yang memberontak, Partai dan Negara segera
diterima—kalaupun bukan bentuk yang ideal, setidaknya sebagai hal buruk
yang tak dapat dielakkan.
Apalagi kini.
Kini, kapitalisme bergerak sekaligus ke dua arah yang paradoksal. Di
satu pihak, selalu ke arah akumulasi dan tegaknya tata yang normal yang
menjaga kelangsungan akumulasi kekuasaan itu. Di lain pihak,
berlangsung apa yang dikatakan Brian Massumi: kapitalisme justru
mendorong kendurnya ”normalitas” dengan menciptakan perbedaan yang tak
henti-hentinya, karena pasar semakin mudah jenuh. Di tengah kapitalisme
seperti itu, Partai dan Negara semakin jadi an evil necessity.
Tampaknya, dari waktu ke waktu, manusia butuh tegaknya Sang Penjaga
Makna. Tapi pada saat yang sama, Makna bisa menjepit, dan dorongan
untuk mengatakan bahwa ”Berontak itu sah” akan selalu terbit. Sejarah
berulang dalam pengertian itu: pengulangan yang sebenarnya menciptakan
yang baru kembali. Dulu budak-budak memberontak dengan pimpinan
Spartakus, seratus tahun sebelum Masehi. Berabad-abad kemudian para
”Spartakis” seperti Rosa Luxemburg membangkang kekuatan borjuasi abad
ke-20.
Ada semacam roh yang tampaknya tak akan berhenti di satu titik yang
aktual. Dalam bentuknya yang cacat sekalipun, berulang kali politik
membuka kemungkinan untuk sebuah saat ”ethis”—untuk sebuah salam.
soekarno - soeharto dirindukan...
From: A.Syauqi Yahya
Perindu
Senin, 13 Juni 2011
Dua nama, satu kehilangan. Saya makin sering ketemu orang-orang yang
menyebut nama ”Sukarno” atau ”Soeharto” seraya meletakkan kedua
presiden itu dalam satu masa yang dirasakan hilang. Para perindu ini
orang-orang yang berbeda, tentu. Tapi sebenarnya mereka sejajar: dalam
kemurungan mereka, sejarah adalah nostalgia.
Sejarah sebagai nostalgia adalah gejala kesadaran modern. Para
perindu tak hidup seperti orang-orang di sebuah masyarakat di mana
tradisi punya peran yang sentral. Di alam pikiran masyarakat
tradisional, masa lalu tak pernah absen. Ia hadir di mana-mana. Ia tak
perlu dirindukan kembali.
Tapi Indonesia sejak awal abad ke-20 adalah Indonesia yang dibentuk
oleh pembicaraan tentang sejarah sebagai rupture, ”patahan”, bukan
kesinambungan. Sejak awal abad ke-20, ada kecenderungan menampilkan
”baru”—yang patah arang dengan yang ”lama”—seakan-akan sebuah bagian
dari drama perbenturan.
Dalam pergerakan pemuda tahun 1910-an, misalnya. ”Jong Java”, ”Jong
Sumatranen Bond”, ”Jong Ambon”, dan lain-lain menunjukkan yang ”muda”
sebagai sebuah energi tersendiri: yang ”muda” dianggap harus
menggantikan yang ”tua”. Energi itu berlanjut sampai ke tahun 1920-an:
di masyarakat politik dicetuskan ”Sumpah Pemuda”; di dunia bacaan,
novel seperti Siti Noerbaja jadi terkenal sebagai penampikan terhadap
”adat” (yang ”kuno”). Di tahun 1930-an, dengan sebuah majalah beroplah
kecil tapi bersuara lantang, S. Takdir Alisjahbana memaklumkan lahirnya
”pujangga baru”, dengan kesadaran tentang ”Indonesia” yang bukan zaman
”jahiliyah” sebelumnya.
Sejak itu sejarah (setidaknya sejarah intelektual) dilihat sebagai
sebuah cerita pergantian ”angkatan”. Ada ”Angkatan ’45” yang menolak
angkatan sebelumnya. Dua dasawarsa kemudian diumumkan datangnya
”Angkatan ’66”. Seakan-akan yang terjadi adalah satu progresi, dengan
tenaga yang dengan militan membedakan diri, bahkan meruntuhkan, tenaga
lama.
Sejarah politik juga seakan-akan terkait dengan itu. Malah mungkin
menandai ”patahan” yang lebih tegas. Periode 1945-1958, masa ”demokrasi
parlementer”, ditinggalkan secara radikal oleh periode 1958-1966, masa
”demokrasi terpimpin”. Pada gilirannya itu pun dicampakkan oleh periode
1966-1998, masa ”Orde Baru”. Sejak 1998, ada patahan baru: masa
Reformasi sampai hari ini.
Tiap patahan separuhnya adalah ilusi. Tak ada satu generasi yang
bisa mengubah sejarah seperti yang dirancangnya, dan masa kini tak
pernah jadi baru sama sekali. Generasi sebelumnya selalu punya sisa
yang menghuni hidup generasi sekarang (seperti ”mimpi buruk”, kata
Marx), meskipun tak diakui. Revolusi Prancis di abad ke-18, yang
merupakan cikal-bakal pandangan sejarah sebagai rupture, yang hendak
melangkah dari tahun nol, tetap menampung ambisi kontrarevolusi yang
mengendap. Dari endapan inilah Napoleon Bonaparte, seorang opsir
Revolusi, menegakkan takhta di akhir 1804, hanya lima tahun setelah
Revolusi berakhir.
Dalam pada itu, imajinasi tentang sejarah sebagai ”patahan”
berangsur-angsur mengubah posisi masa silam. Masa yang dipisahkan itu
makin terasa jauh, bak sebuah benua lain yang asing dan misterius—yang
justru menyebabkan orang pergi menjangkau. Yang asing, kata Fernando
Pessoa, ”punya parfumnya sendiri”.
Untuk menjangkau benua waktu yang hilang itu kita pun mengingat—tapi
dengan kenangan yang sayu. Nostalgia mengandung melankoli, tapi juga
mengandung penghiburan. ”Parfum” masa silam itu membuat para perindu
berbahagia.
Mungkin itu sebabnya dalam nostalgia masa lalu mendapat posisi
normatif: masa kini, kata para perindu, seharusnya seperti masa lalu.
”Seharusnya” adalah kata yang mengacu ke depan. Maka tak jarang
nostalgia juga jadi bagian gerakan untuk perubahan radikal. Cita-cita
”negara Islam”, yang dikemukakan sebagai pengganti jenis negara yang
ada sekarang, adalah buah imajinasi tentang masa lalu yang memikat.
Semangat konservatif dan hasrat progresif tak jarang tumpang-tindih.
Terutama masa kini, ketika hidup membuat nostalgia bertaut dengan
rasa waswas, ketika hidup berlangsung di tengah kesimpangsiuran dan
kemajemukan yang tak tepermanai. Ini bukan cerita baru: ketika orang
gila dalam cerita Nietzsche mengabarkan bahwa Tuhan mati, langit
digambarkan buyar dan cuaca kian kelam. Maka Tuhan tak boleh mati:
bayang-bayang-Nya akan terus diperlihatkan beribu-ribu tahun setelah
kabar kematian-Nya. Bagi banyak orang, Tuhan hidup bersama kebutuhan
mereka untuk menegakkan tata.
Di saat itulah nostalgia memberi bentuk. Ia hasil seleksi dari
carut-marut ingatan. Zaman tidak lagi diingat sebagai sebuah masa di
atas bumi yang kacau di bawah langit yang buyar. ”Masa Sukarno” dan
”masa Soeharto” masing-masing berolah identitas yang terpisah dan tak
punya kontradiksi dalam dirinya. Dengan itu, terbangun sebuah patokan,
satu pusat—meskipun hanya imajiner—pemberi norma dan sanksi.
Yang jadi pertanyaan: adakah dunia imajiner yang dibentuk para
perindu membebaskan kita. Bagi saya, emansipasi justru dimulai ketika
kita tak disandera satu gambaran tentang masyarakat yang terpaut pada
kesatuan memori.
Memori tak pernah punya kesatuan. Sebuah zaman, juga sebuah
masyarakat, ibarat kaleidoskop: sebuah tube dari cermin dan kaca yang
beraneka ragam, yang kita lihat dari satu lubang, dan pola pantulannya
pun berubah-ubah seraya kita mengubah pegangan kita pada tube itu. Ada
yang kelihatan, ada yang tidak. Tak sepenuhnya terang, selalu ada
kegelapan. Sebuah zaman, juga sebuah masyarakat, bisa punya satu sosok,
satu identitas, tapi selamanya dalam ambiguitas.
Dan para perindu akan selamanya terkenang sayu.
Perindu
Senin, 13 Juni 2011
Dua nama, satu kehilangan. Saya makin sering ketemu orang-orang yang
menyebut nama ”Sukarno” atau ”Soeharto” seraya meletakkan kedua
presiden itu dalam satu masa yang dirasakan hilang. Para perindu ini
orang-orang yang berbeda, tentu. Tapi sebenarnya mereka sejajar: dalam
kemurungan mereka, sejarah adalah nostalgia.
Sejarah sebagai nostalgia adalah gejala kesadaran modern. Para
perindu tak hidup seperti orang-orang di sebuah masyarakat di mana
tradisi punya peran yang sentral. Di alam pikiran masyarakat
tradisional, masa lalu tak pernah absen. Ia hadir di mana-mana. Ia tak
perlu dirindukan kembali.
Tapi Indonesia sejak awal abad ke-20 adalah Indonesia yang dibentuk
oleh pembicaraan tentang sejarah sebagai rupture, ”patahan”, bukan
kesinambungan. Sejak awal abad ke-20, ada kecenderungan menampilkan
”baru”—yang patah arang dengan yang ”lama”—seakan-akan sebuah bagian
dari drama perbenturan.
Dalam pergerakan pemuda tahun 1910-an, misalnya. ”Jong Java”, ”Jong
Sumatranen Bond”, ”Jong Ambon”, dan lain-lain menunjukkan yang ”muda”
sebagai sebuah energi tersendiri: yang ”muda” dianggap harus
menggantikan yang ”tua”. Energi itu berlanjut sampai ke tahun 1920-an:
di masyarakat politik dicetuskan ”Sumpah Pemuda”; di dunia bacaan,
novel seperti Siti Noerbaja jadi terkenal sebagai penampikan terhadap
”adat” (yang ”kuno”). Di tahun 1930-an, dengan sebuah majalah beroplah
kecil tapi bersuara lantang, S. Takdir Alisjahbana memaklumkan lahirnya
”pujangga baru”, dengan kesadaran tentang ”Indonesia” yang bukan zaman
”jahiliyah” sebelumnya.
Sejak itu sejarah (setidaknya sejarah intelektual) dilihat sebagai
sebuah cerita pergantian ”angkatan”. Ada ”Angkatan ’45” yang menolak
angkatan sebelumnya. Dua dasawarsa kemudian diumumkan datangnya
”Angkatan ’66”. Seakan-akan yang terjadi adalah satu progresi, dengan
tenaga yang dengan militan membedakan diri, bahkan meruntuhkan, tenaga
lama.
Sejarah politik juga seakan-akan terkait dengan itu. Malah mungkin
menandai ”patahan” yang lebih tegas. Periode 1945-1958, masa ”demokrasi
parlementer”, ditinggalkan secara radikal oleh periode 1958-1966, masa
”demokrasi terpimpin”. Pada gilirannya itu pun dicampakkan oleh periode
1966-1998, masa ”Orde Baru”. Sejak 1998, ada patahan baru: masa
Reformasi sampai hari ini.
Tiap patahan separuhnya adalah ilusi. Tak ada satu generasi yang
bisa mengubah sejarah seperti yang dirancangnya, dan masa kini tak
pernah jadi baru sama sekali. Generasi sebelumnya selalu punya sisa
yang menghuni hidup generasi sekarang (seperti ”mimpi buruk”, kata
Marx), meskipun tak diakui. Revolusi Prancis di abad ke-18, yang
merupakan cikal-bakal pandangan sejarah sebagai rupture, yang hendak
melangkah dari tahun nol, tetap menampung ambisi kontrarevolusi yang
mengendap. Dari endapan inilah Napoleon Bonaparte, seorang opsir
Revolusi, menegakkan takhta di akhir 1804, hanya lima tahun setelah
Revolusi berakhir.
Dalam pada itu, imajinasi tentang sejarah sebagai ”patahan”
berangsur-angsur mengubah posisi masa silam. Masa yang dipisahkan itu
makin terasa jauh, bak sebuah benua lain yang asing dan misterius—yang
justru menyebabkan orang pergi menjangkau. Yang asing, kata Fernando
Pessoa, ”punya parfumnya sendiri”.
Untuk menjangkau benua waktu yang hilang itu kita pun mengingat—tapi
dengan kenangan yang sayu. Nostalgia mengandung melankoli, tapi juga
mengandung penghiburan. ”Parfum” masa silam itu membuat para perindu
berbahagia.
Mungkin itu sebabnya dalam nostalgia masa lalu mendapat posisi
normatif: masa kini, kata para perindu, seharusnya seperti masa lalu.
”Seharusnya” adalah kata yang mengacu ke depan. Maka tak jarang
nostalgia juga jadi bagian gerakan untuk perubahan radikal. Cita-cita
”negara Islam”, yang dikemukakan sebagai pengganti jenis negara yang
ada sekarang, adalah buah imajinasi tentang masa lalu yang memikat.
Semangat konservatif dan hasrat progresif tak jarang tumpang-tindih.
Terutama masa kini, ketika hidup membuat nostalgia bertaut dengan
rasa waswas, ketika hidup berlangsung di tengah kesimpangsiuran dan
kemajemukan yang tak tepermanai. Ini bukan cerita baru: ketika orang
gila dalam cerita Nietzsche mengabarkan bahwa Tuhan mati, langit
digambarkan buyar dan cuaca kian kelam. Maka Tuhan tak boleh mati:
bayang-bayang-Nya akan terus diperlihatkan beribu-ribu tahun setelah
kabar kematian-Nya. Bagi banyak orang, Tuhan hidup bersama kebutuhan
mereka untuk menegakkan tata.
Di saat itulah nostalgia memberi bentuk. Ia hasil seleksi dari
carut-marut ingatan. Zaman tidak lagi diingat sebagai sebuah masa di
atas bumi yang kacau di bawah langit yang buyar. ”Masa Sukarno” dan
”masa Soeharto” masing-masing berolah identitas yang terpisah dan tak
punya kontradiksi dalam dirinya. Dengan itu, terbangun sebuah patokan,
satu pusat—meskipun hanya imajiner—pemberi norma dan sanksi.
Yang jadi pertanyaan: adakah dunia imajiner yang dibentuk para
perindu membebaskan kita. Bagi saya, emansipasi justru dimulai ketika
kita tak disandera satu gambaran tentang masyarakat yang terpaut pada
kesatuan memori.
Memori tak pernah punya kesatuan. Sebuah zaman, juga sebuah
masyarakat, ibarat kaleidoskop: sebuah tube dari cermin dan kaca yang
beraneka ragam, yang kita lihat dari satu lubang, dan pola pantulannya
pun berubah-ubah seraya kita mengubah pegangan kita pada tube itu. Ada
yang kelihatan, ada yang tidak. Tak sepenuhnya terang, selalu ada
kegelapan. Sebuah zaman, juga sebuah masyarakat, bisa punya satu sosok,
satu identitas, tapi selamanya dalam ambiguitas.
Dan para perindu akan selamanya terkenang sayu.
love god
Love of The GOD
If:
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
Is represented as:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
24 25 26.
If:
H-A-R-D-W-O-R- K
8+1+18+4+23+15+18+11 = 98%
And:
K-N-O-W-L-E-D-G-E
11+14+15+23+12+5+4+7+5 = 96%
But:
A-T-T-I-T-U-D-E
1+20+20+9+20+21+4+5 = 100%
THEN, look how far the love of God will take you:
L-O-V-E-O-F-G-O-D
12+15+22+5+15+6+7+15+4 = 101%
Therefore, one can conclude with mathematical certainty
that:
While Hard Work and Knowledge will get you close, and Attitude
will
Get you there, It’s the Love of God that will put you over
the top!
If:
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
Is represented as:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
24 25 26.
If:
H-A-R-D-W-O-R- K
8+1+18+4+23+15+18+11 = 98%
And:
K-N-O-W-L-E-D-G-E
11+14+15+23+12+5+4+7+5 = 96%
But:
A-T-T-I-T-U-D-E
1+20+20+9+20+21+4+5 = 100%
THEN, look how far the love of God will take you:
L-O-V-E-O-F-G-O-D
12+15+22+5+15+6+7+15+4 = 101%
Therefore, one can conclude with mathematical certainty
that:
While Hard Work and Knowledge will get you close, and Attitude
will
Get you there, It’s the Love of God that will put you over
the top!
indonesia is rich
Cerita Pagi Aug 19, '10 9:03 PM
untuk semuanya
From: Dody®
Suatu pagi, kami menjemput seseorg klien di bandara. Org itu sdh tua,
kisaran 60 thn. Si Bpk adl pengusaha asal Singapura, dgn logat bicara
gaya melayu & english, beliau menceritakan pengalaman2 hidupnya
kpd kami yg msh muda.
Beliau berkata, "Ur country is so rich!"
Ah biasa banget denger kata2 itu. Tapi tunggu dulu... "Indonesia
doesn't need the world, but the world needs Indonesia," lanjutnya.
"Everything can be found here in Indonesia, U don't need the world."
"Mudah saja, Indonesia paru2 dunia. Tebang saja hutan di kalimantan,
dunia pasti kiamat. Dunia yg butuh Indonesia! Singapura is nothing, we
can't be rich without Indonesia.. 500.000 org Indonesia berlibur ke
Singapura tiap bulan.. Bisa terbayang uang yg masuk ke kami, apartemen2
terbaru kami yg beli org2 Indonesia, ga peduli harga selangit, laku
keras. Lihatlah RS kami, org Indonesia semua yg berobat. Trus, kalian
tau bgmna kalapnya pemerintah kami ketika asap hutan Indonesia masuk?
Ya, bener2 panik. Sangat terasa, we are nothing. Kalian tau kan kalo
Agustus kmrn dunia krisis beras. Termasuk di Singapura dan Malaysia?
Kalian di Indonesia dgn mudah dpt beras.. Liatlah negara kalian, air
bersih di mana2, liatlah negara kami, air bersih pun kami beli dari
Malaysia. Saya ke Kalimantan pun dlm rangka bisnis, krn pasirnya
mengandung permata. Terliat glitter kalo ada matahari bersinar.
Penambang jual cuma Rp 3.000/kg ke pabrik china, si pabrik jual kembali
seharga Rp 30.000/kg. Saya liat ini sbg peluang.. Kalian sadar tidak
kalo negara2 lain selalu takut meng-embargo Indonesia?! Ya, karena
negara kalian memiliki segalanya. Mereka takut kalau kalian menjadi
mandiri, makanya tidak di embargo. Harusnya KALIANLAH YG MENG-EMBARGO
DIRI KALIAN SENDIRI. Belilah pangan dr petani2 kita sendiri, belilah
tekstil garmen dr pabrik2 sendiri.. Tak perlu impor klo bs produk
sendiri. Jika kalian bs mandiri, bisa MENG-EMBARGO DIRI SENDIRI,
INDONESIA WILL RULE THE WORLD!!
untuk semuanya
From: Dody®
Suatu pagi, kami menjemput seseorg klien di bandara. Org itu sdh tua,
kisaran 60 thn. Si Bpk adl pengusaha asal Singapura, dgn logat bicara
gaya melayu & english, beliau menceritakan pengalaman2 hidupnya
kpd kami yg msh muda.
Beliau berkata, "Ur country is so rich!"
Ah biasa banget denger kata2 itu. Tapi tunggu dulu... "Indonesia
doesn't need the world, but the world needs Indonesia," lanjutnya.
"Everything can be found here in Indonesia, U don't need the world."
"Mudah saja, Indonesia paru2 dunia. Tebang saja hutan di kalimantan,
dunia pasti kiamat. Dunia yg butuh Indonesia! Singapura is nothing, we
can't be rich without Indonesia.. 500.000 org Indonesia berlibur ke
Singapura tiap bulan.. Bisa terbayang uang yg masuk ke kami, apartemen2
terbaru kami yg beli org2 Indonesia, ga peduli harga selangit, laku
keras. Lihatlah RS kami, org Indonesia semua yg berobat. Trus, kalian
tau bgmna kalapnya pemerintah kami ketika asap hutan Indonesia masuk?
Ya, bener2 panik. Sangat terasa, we are nothing. Kalian tau kan kalo
Agustus kmrn dunia krisis beras. Termasuk di Singapura dan Malaysia?
Kalian di Indonesia dgn mudah dpt beras.. Liatlah negara kalian, air
bersih di mana2, liatlah negara kami, air bersih pun kami beli dari
Malaysia. Saya ke Kalimantan pun dlm rangka bisnis, krn pasirnya
mengandung permata. Terliat glitter kalo ada matahari bersinar.
Penambang jual cuma Rp 3.000/kg ke pabrik china, si pabrik jual kembali
seharga Rp 30.000/kg. Saya liat ini sbg peluang.. Kalian sadar tidak
kalo negara2 lain selalu takut meng-embargo Indonesia?! Ya, karena
negara kalian memiliki segalanya. Mereka takut kalau kalian menjadi
mandiri, makanya tidak di embargo. Harusnya KALIANLAH YG MENG-EMBARGO
DIRI KALIAN SENDIRI. Belilah pangan dr petani2 kita sendiri, belilah
tekstil garmen dr pabrik2 sendiri.. Tak perlu impor klo bs produk
sendiri. Jika kalian bs mandiri, bisa MENG-EMBARGO DIRI SENDIRI,
INDONESIA WILL RULE THE WORLD!!
serpihan hadist
…ثُمَّ قَامَ
فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ
وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ
ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ يَشْتاَكُ وَ
يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ
“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat
2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya dalam 2
rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai
mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut
sampai 3 kali sehingga semuanya berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali
hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian
berwudhu terus membaca ayat (Inna fii kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili…
sampai akhir surat) kemudian berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)
فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ
وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ
ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ يَشْتاَكُ وَ
يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ
“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat
2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya dalam 2
rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai
mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut
sampai 3 kali sehingga semuanya berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali
hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian
berwudhu terus membaca ayat (Inna fii kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili…
sampai akhir surat) kemudian berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)
meredam tuntutan pekerja
Meredam tuntutan buruh ;-)
A(atasan): "Coba katakan ada berapa hari dlm setahun?"
P(pegawai): "365 hari dan kadang-kadang 366 hari."
A: "Betul, sekarang ada berapa jam dlm sehari?"
P: "24 jam."
A: "Brp jam kamu bekerja dlm sehari?"
P: "Dari jam 08:00 s/d 16:00 jadi 8 jam sehari."
A: "Jd, berapa bagian dari harimu yang kamu pakai bekerja?"
P: "(mulai ngitung dalam hati... 8/24 jam = 1/3) Sepertiga!"
A: "Wah pinter kamu! Sekarang berapakah 1/3 dari 366 hari?"
P: "122 (1/3×366 = 122 hari)."
A: "Apakah kamu bekerja pada hari Sabtu dan Minggu?"
P: "Tidak, Pak!"
A: "Brp jumlah hari Sabtu dan Minggu dlm setahun?"
P: "52 hari Sabtu ditambah 52 hari Minggu = 104 hari."
Atasan: "Nah, kalau kamu kurangkan 104 hari dari 122 hari, berapa yang
tinggal?"
P: "18 hari."
A: "Nah, saya sudah kasih kamu 12 hari cuti tiap thn. Sekarang kurangkan
12 hari dari 18 hari yg tersisa itu brp hari yg tinggal?"
P: "6 hari."
A: "Di hari Idul Fitri dan Idul Adha apakah kamu bekerja?"
P: "Tidak, Pak!"
A: "Jadi sekarang berapa hari yg tersisa?"
P: "4 hari."
A: "Di hari Natal dan Tahun Baru apakah kamu bekerja?"
P: "Tidak, Pak!"
A: "Jd sekarang berapa hari yg tersisa?"
P: "2 hari."
A: "Sekarang sisa tersebut kurangi dengan Libur Waisak, Imlek, Nyepi, 1
Muharram, Maulid Nabi, Isra' Mikraj, Wafat Yesus, Kenaikan Isa Almasih,
Proklamasi, berapa hari yg tersisa?"
P: "??? Gak ada sisa, Pak."
A: "Jd sekarang anda mau menuntut apa?
A(atasan): "Coba katakan ada berapa hari dlm setahun?"
P(pegawai): "365 hari dan kadang-kadang 366 hari."
A: "Betul, sekarang ada berapa jam dlm sehari?"
P: "24 jam."
A: "Brp jam kamu bekerja dlm sehari?"
P: "Dari jam 08:00 s/d 16:00 jadi 8 jam sehari."
A: "Jd, berapa bagian dari harimu yang kamu pakai bekerja?"
P: "(mulai ngitung dalam hati... 8/24 jam = 1/3) Sepertiga!"
A: "Wah pinter kamu! Sekarang berapakah 1/3 dari 366 hari?"
P: "122 (1/3×366 = 122 hari)."
A: "Apakah kamu bekerja pada hari Sabtu dan Minggu?"
P: "Tidak, Pak!"
A: "Brp jumlah hari Sabtu dan Minggu dlm setahun?"
P: "52 hari Sabtu ditambah 52 hari Minggu = 104 hari."
Atasan: "Nah, kalau kamu kurangkan 104 hari dari 122 hari, berapa yang
tinggal?"
P: "18 hari."
A: "Nah, saya sudah kasih kamu 12 hari cuti tiap thn. Sekarang kurangkan
12 hari dari 18 hari yg tersisa itu brp hari yg tinggal?"
P: "6 hari."
A: "Di hari Idul Fitri dan Idul Adha apakah kamu bekerja?"
P: "Tidak, Pak!"
A: "Jadi sekarang berapa hari yg tersisa?"
P: "4 hari."
A: "Di hari Natal dan Tahun Baru apakah kamu bekerja?"
P: "Tidak, Pak!"
A: "Jd sekarang berapa hari yg tersisa?"
P: "2 hari."
A: "Sekarang sisa tersebut kurangi dengan Libur Waisak, Imlek, Nyepi, 1
Muharram, Maulid Nabi, Isra' Mikraj, Wafat Yesus, Kenaikan Isa Almasih,
Proklamasi, berapa hari yg tersisa?"
P: "??? Gak ada sisa, Pak."
A: "Jd sekarang anda mau menuntut apa?
pispot
“P I S P O T”
cerpen Hamsad Rangkuti
Kami naik ke mobil polisi itu. Aku duduk di sebelah wanita korban
penjambretan. Lelaki yang tersangka melakukan penjambretan itu duduk di
depan kami. Hidungnya masih meneteskan darah. Di kiri kanannya duduk
petugas pasar yang menangkapnya dan seorang polisi. Mobil itu terbuka.
Angin menerbangkan rambut kami.
Orang itu beberapa saat yang lalu melintas di antara keramaian pasar.
Seorang wanita menjerit. Aku melihat orang itu memasukkan sesuatu ke
mulutnya disaat langkahnya yang tergesa. Aku menuding lelaki itu dan
petugas pasar menangkapnya. Massa pun melampiaskan amarah mereka. Orang
itu melap darah pada bibirnya dalam kecepatan lari mobil. Dia tidak
berani mengangkat untuk memperlihatkan darah yang masih meleleh
mencoreng mukanya.
Sebenarnya tidak ada barang bukti untuk menuduhnya sebagai pelaku
penjambretan itu. Namun, aku mempertahankan kesaksianku dan ia pun
jatuh terjerumus ke tangan polisi.
DI kantor polisi dia mulai didesak untuk mengakui perbuatannya. Mereka
mulai menjalankan cara mereka untuk membuat orang mengaku!
“Benar kamu telan kalung itu?” bentak mereka.
“Tidak,” kata laki-laki itu menyembunyikan mukanya.
“Kamu buang?”
“Tidak.”
“Kamu sembunyikan?”
“Tidak.”
“Dia tidak bisa berkata lain selain : Tidak!” Mereka mulai tidak sabar.
“Siksa!”
Orang itu terlempar dari kursi. Dia mencoba hendak berdiri. Bertelekan
pada sudut meja. Dia kembali duduk di kursi.
“Saya tidak melakukan penjambretan itu, Bapak Polisi.”
“Bukan itu yang kutanyakan! Ke mana kau sembunyikan kalung itu?”
“Dia telan!” kataku.
“Kamu lihat?”
“Saya lihat! Dia masukkan kalung itu dan dia telan!”
Aku menambah kata “kalung” pada kesaksianku. Padahal, aku tidak melihat
benda apa yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Sekarang sudah telanjur!
“Pasti?”
“Pasti!”
“Dia masukkan kalung itu ke mulutnya? Begitu?
Orang di seberang itu memindahkan kesaksianku ke atas kertas yang
diketiknya.
“Ya! Dia masukkan!”
“Lalu dia telan?”
“Berapa gram? Tanyanya ke wanita korban penjambretan itu.
“Lima belas gram!” jawab wanita itu.
“Cukup! Itu sudah cukup!” Bentak kepala pemeriksa.
“Semua keterangan itu sudah cukup meyakinkan! Ambil obat pencahar!
Pisang dan papaya. Suruh dia mencret seperti burung. Lalu tampung
kotorannya!”
Kepala pemeriksa itu pergi meninggalkan ruang pemeriksaan. Setelah
semua benda yang disebutnya tersedia di ruang pemeriksaan, orang
memanggilnya dan dia datang dengan keputusannya.
“Suruh dia minum obat pencahar! Apa itu? Garam inggris?”
“Betul Pak.” Kata bawahannya
“Bagus, dan tampung!”
Mereka pun mulai memaksa lelaki itu untuk menelan obat pencahar.
Tetapi, lelaki itu tidak mau meminumnya. Dia tidak mau membuka mulut.
Mereka mulai keras. Gelas berisi larutan garam inggris itu mereka
sodokan ke mulutnya. Dia tutup mulutnya seperti orang menggigit.
Kemudia dia terlempar lagi di kursi.
“Minum! Apa kau tidak biasa minum?!”
Dia bertelekanpada sudut meja untuk bisa bangkit dari tempat dia
tersungkur.
“Kupas papaya itu! Dan suruh dia makan!”
“Mana yang lebih dahulu Komandan? Obat pencahar ini atau papaya?”
“Serentak juga tidak apa-apa! Yang penting tampung begitu dia ke
jamban!”
“Nanti ususnya…”
“Tidak ada urusan! Suruh dia telan obat pencahar itu! Kemudian pisang
atau papaya, lalu tampung!”
Mereka pun memaksa lelaki itu membuka mulut untuk menyungkah itu semua.
Aku mulai tidak kuat melihat penyiksaan iitu. Aku minta kepada komandan
pemeriksa untuk membollehkan aku membujuk lelaki itu menelan obat
pencahar, pisang dan papaya. Dia menyetujui. Lalu aku dan lelaki itu
dimasukkan ke dalam ruang berdinding kaca yang terang benderang. Para
pemeriksaberada di balik riben dan kami tidak melihatnya. Termasuk
wanita yang menjadi korban penjambretan itu mengawasi kami lewat kaca
peragaan.
Aku mulai membujuk laki-laki itu. Gelap di luar memberi kesan seolah
kami berada di dalam kamar dalam gelap malam.
“Sekarang Cuma kita berdua saja di ruang ini. Ada suatu hal yang ingin
kukatakan kepadamu. “Aku mulai menyakinkannya . “Kalau dalam waktu
dekat kau tidak keluarkan kalung itu , mereka akan mengoperasimu!” Aku
bergesser dekat kepadanya. “Kau telah tahu bagaimana orang dioperasi?
Kau akan dibawa ke kamar bedah. Sebelum kau dioperasi, tubuhmu akan
ditembus sinar x untuk melihat di bagian mana kalung itu nyangkut di
ususmmu. Kau akan puasa dalam waktu yang lama. Setelah itu baru kau
dimasukkan ke kamar bedah. Kau akan dibius. Pada saat kau sudah tidak
sadar oleh obat bius, pada saat itulah kulit perutmu akan disayat
mereka di meja operasi. Pisau bedah itu akan masuk ke dalam perutmu
seperti orang menyiang ikan. Ususmu akan disabet mereka dengan geram,
karena kau menyembunyikan benda berharga di ususmu. Satu hal harus kau
ketahui bahwa operasi itu bukan untuk menyelamatkan kalung yang kau
telan. Coba bayangkan seandainya operasi itu memerlukan tambahan darah.
Siapa yang akan mau menyumbangkan darahnya untuk orang seperti kau?
Jambret! Ingat bung. Kau tidfak ada artinya bagi mereka. Mereka
mengoperasimu dalam saat mereka geram karena kau menyembunyikan kalung
emas di dalam ususmu. Kau tidak ada artinya bagi mereka. Tidak mungkin
ada orang mau menyumbang darah secara sukarela kepadamu. Tidak mungkin
ada salah seorang sanak keluargamu yang mau datang menujukkan diri
untuk menyumbang darah kepadamu. Mereka malu untuk muncul. Karena kau
maling! Tahu kau? Nyawamu bagi mereka tidak ada artinya. Tubuhmu yang
terbaring dalam pengaruh obat bius itu tidak akan mereka hiraukan lagi
begitu mereka menemukan kalung emas itu. Saking gembiranya mereka itu,
aku yakin begitu, mereka akan lupa menyudahi operasimu. Kau akan mati
sia-sia. Untuk apa menyelamatkan penjambret seperti kau. Mengurangi
jumlah penjahat lebih bijaksana! Maka, kau akan mampus! Kau tidak ubah
seperti koper tua yang dicampakkan setelah dikeluarkan isinya. Mayatmu
akan terbaring tanpa ada orang yang menjenguk.”
Orang itu dari tunduk memandang kepadaku.
“Kau masih muda Bung. Masih banyak kemungkinan masa depanmu. Kau harus
manfaatkan hidupmu. Masak kau mau mampus dengan jalan konyol seperti
itu? Operasiitu bukan untuk menyelamatkan jiwamu, tetapi untuk
menyelamatkan kalung emas yang kau telan!”
“Apa yang harus aku lakukan?” katanya.
“Keluarkan!” bentakku
“Aku tidak melakukannya!”
“Sudah tidak waktu lagi untuk berkilah-kilah! Tidak saatnya
menyembunyikan kejaatan pada saat ini. Jangan tunggu mereka kalap.
Jangan kau kira mereka tidak melihat kita. Semua gerak-gerik kita
mereka lihat lewat kaca riben ini. Lihat kedip api rokok mereka di
dalam gelap! Itu sama seperti mata mengintai kita. Ayo lakukan! Cepat
telan obat pencahar itu! Apa yang kau takutkan pergi ke jamban?”
Dia raih gelas berisi larutan garam inggris dari atas meja. Dia reguk
seperti orang minum kopi. Kemudian dia lahap papaya dan pisang.
“Makan lebih banyak pepaya itu, biar cepat dia mendorongnya .”
Seorang petugas membuka pintu kaca.
“Sudah ingin ke jamban?” katanya
“Dia baru menelannya. Belum. Sebentar lagi, Pak.”
“Bagus! Kalau dia tidak suka papaya dalam negeri, kita bisa sediakan
papaya Bangkok!” Dia tutup intu kaca itu.
Tidak lama kemudian dia muncul pula. Dua orang masuk membawa papan
penyekat dan dua pispot. Papan penyekat itu dimaksudkan sebagai dinding
jamban. Orang itu kalau sudah ingin ke jamban, dia boleh pergi ke balik
papan penyekat untuk membuang hajat. Untuk alasan tertentu. Orang itu
diperintahkan menanggalkan pakaiannya, kecuali celana dalam. Dia
disuruh merekam pergi ke balik papan penyekat sampai dia memerlukan
pispot.
Aku dan para petugas keluar dari dalam ruangan berkaca. Kami menonton
dari balik riben , menunggu orang itu mengeluarkan kotorannya ke dalam
pispot.
Seorang petugas yang memegang alat pengeras suara masuk ke dalam
ruangan berkaca dan mengambil pispot yang diulurkan dari papan
penyekat. Petugas itu tampak memeriksa isi pispot dengan ranting.
Terdengar dia melaporkan apa yang dia lihat di dalam pispot.
“Belum keluar! Baru biji-biji kedelai. Rupanya dia makan tempe!”
Dia keluar membawa pispot dan seseorang menyambutnya dan
membersihkannya di lubang kakus.
Si penjambret meminta pispot baru. Kemudian orang yang membawa alat
pengeras suara masuk kembali ke dalam ruangan berkaca dan menyambut
pispot yang diulurkan dari balik papan penyekat. Lalu terdengar suara
dari dalam pengeras suara:
“Belum juga! Masih sisa-sisa tempe. Ada seperti benang. Kukira ini
sumbu singkong rebus!”
Dia kemudian dalam urutan waktu melakukan hal yang sama. Sementara, di
balik riben kami terus menunggu sudah sampai sepuluh kotoran di dalam
pispot dituang ke dalam kakus, namun kalung itu tak terkait di ujung
ranting. Wanita pemilik kalung mulai bosan menunggu. Dia me-nilpun
suaminya. Tidak lama kemudian suami wanita itu datang. Dia pun ikut
bergabung menonton di balik riben. Orang di balik papan penyekat makin
pendek jarak waktunya dia mengulurkan pispot, namun kalung emas lima
belas gram itu tidak keluar bersama kotorannya. Pada saat kami menunggu
seperti itu, tiba-tiba papan penyekat di dalam ruangan kaca itu
terdorong dan kemudian tumbang. Orang dibaliknya jatuh terjerembab
menindihnya. Dia sudah tidak dapat berdiri. Dia menjadi lunglai setelah
terus –menerus mengeluarkan kotorannya.
Maka, si suami pun mengambil keputusan. Dia desak si istri mencabut
tuduhannya. Si istri melakukannya. Tuduhannya dia cabut. Dia minta maaf
pada polisi, karena mungkin bukan orang itu yang menjambret kalungnya.
Lelaki itu dibersihkan di kamar mandi. Tuduhan terhadap dirinya
dicabut! Wanita itu minta maaf kepadanya. Aku juga minta maaf
kepadanya. Polisi juga memaafkannya. Dia bebas!
Karena merasa berdosa, aku menolong lelaki itu meninggalkan kantor
polisi. Aku memapahnya naik ke atas taksi. Aku terus-menerus meminta
maaf di sepanjang perjalanan. Aku raba uang di sakuku. Aku beri dia
uang untuk menebus rasa berdosa pada diriku. Lelaki itu berlinang air
matanya.
“Beli makanan. Kau perlu gizi untuk memulihkan kesehatanmu. Aku
benar-benar merasa berdosa!”
Dia lipat uang di tangannya.
“Terima kasih. Ternyata bapak orang baik.”
“Jangan katakan begitu! Aku telah menjerumuskanmu. Uang itu tidak ada
artinya. Aku telah melakukan kesaksian palsu. Maafkan aku, Bung.”
Kemudian kami sama diam di dalam perjalanan itu. Kemudian dia minta
diturunkan di gang tempat tinggalnya. Aku menolongnya sampai keluar.Aku
menyalamnya.
“Maafkan aku Bung. Rasanya aku berdosa betul. Sepuluh ribu tidak ada
artinya untuk mengenyahkan rasa berdosa itu. Bisa kau berdiri? Apa
tidak becak ke rumahmu? Apa perlu aku mengantarmu?”
“Tidak ush Pak. Terima kasih.”
Dia tampak tidak kuasa menahan air matanya. Aku biarkan dia berdiri
goyah. Aku masuk ke dalam taksi. Pintu aksi dia tutupkan tempat dia
bertumpu. Aku ulurkan tanganku pada jendela untuk menjabat tanganya.
Aku belum merasa cukup untuk melenyapkan rasa bersalah itu. Maka, aku
mengulang apa yang telah kukatakan:
“Maafkan saya, ya Bung. Beli makanan untuk memulihkan kesehatanmu. Aku
benar-benar merasa berdosaa kepadamu.Aku tidak akan mengulang hal yang
sama terhadap orang lain.”
Orang itu menghapus air matanya pada pipinya yang berdarah. Mukanya
yang lebam dia tundukkan.
“Bapak adalah saksi yang benar. Bapak tidak boleh merasa berdosa.” Dia
semakin menunduk seolah dia hendak menyembunyikan mukanya. “Bapak orang
baik. Saya harus mengatakannya! Anakku sedang sakit keras. Kami perlu
biaya. Istriku telah putus asa di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia
tiba-tiba mengangkat mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak orang
baik. Saya harus mengatakannya!” Dia kembali menunduk. “Saya bukanlah
menjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga kali kalung itu
keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung menelannya.”Dia
lepas jabat tangannya pelan-pelan. Dia memandangiku.
“Bapak orang baik. Hukumlah saya.” Dia raba uang yang telah saya beri
itu di dalam saku bajunya. Dia mungkin hendak mengembalikannya.
“Kalau begitu kau masih memerlukan pispot,” kataku.
Aku biarkan dia memegang uang sepuluh ribu itu. Aku suruh taksi
meninggalkannya. Aku harus segera memutuskan begitu sebelum aku berubah
keputusan. Kurasa itu lebih tepat.***
cerpen Hamsad Rangkuti
Kami naik ke mobil polisi itu. Aku duduk di sebelah wanita korban
penjambretan. Lelaki yang tersangka melakukan penjambretan itu duduk di
depan kami. Hidungnya masih meneteskan darah. Di kiri kanannya duduk
petugas pasar yang menangkapnya dan seorang polisi. Mobil itu terbuka.
Angin menerbangkan rambut kami.
Orang itu beberapa saat yang lalu melintas di antara keramaian pasar.
Seorang wanita menjerit. Aku melihat orang itu memasukkan sesuatu ke
mulutnya disaat langkahnya yang tergesa. Aku menuding lelaki itu dan
petugas pasar menangkapnya. Massa pun melampiaskan amarah mereka. Orang
itu melap darah pada bibirnya dalam kecepatan lari mobil. Dia tidak
berani mengangkat untuk memperlihatkan darah yang masih meleleh
mencoreng mukanya.
Sebenarnya tidak ada barang bukti untuk menuduhnya sebagai pelaku
penjambretan itu. Namun, aku mempertahankan kesaksianku dan ia pun
jatuh terjerumus ke tangan polisi.
DI kantor polisi dia mulai didesak untuk mengakui perbuatannya. Mereka
mulai menjalankan cara mereka untuk membuat orang mengaku!
“Benar kamu telan kalung itu?” bentak mereka.
“Tidak,” kata laki-laki itu menyembunyikan mukanya.
“Kamu buang?”
“Tidak.”
“Kamu sembunyikan?”
“Tidak.”
“Dia tidak bisa berkata lain selain : Tidak!” Mereka mulai tidak sabar.
“Siksa!”
Orang itu terlempar dari kursi. Dia mencoba hendak berdiri. Bertelekan
pada sudut meja. Dia kembali duduk di kursi.
“Saya tidak melakukan penjambretan itu, Bapak Polisi.”
“Bukan itu yang kutanyakan! Ke mana kau sembunyikan kalung itu?”
“Dia telan!” kataku.
“Kamu lihat?”
“Saya lihat! Dia masukkan kalung itu dan dia telan!”
Aku menambah kata “kalung” pada kesaksianku. Padahal, aku tidak melihat
benda apa yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Sekarang sudah telanjur!
“Pasti?”
“Pasti!”
“Dia masukkan kalung itu ke mulutnya? Begitu?
Orang di seberang itu memindahkan kesaksianku ke atas kertas yang
diketiknya.
“Ya! Dia masukkan!”
“Lalu dia telan?”
“Berapa gram? Tanyanya ke wanita korban penjambretan itu.
“Lima belas gram!” jawab wanita itu.
“Cukup! Itu sudah cukup!” Bentak kepala pemeriksa.
“Semua keterangan itu sudah cukup meyakinkan! Ambil obat pencahar!
Pisang dan papaya. Suruh dia mencret seperti burung. Lalu tampung
kotorannya!”
Kepala pemeriksa itu pergi meninggalkan ruang pemeriksaan. Setelah
semua benda yang disebutnya tersedia di ruang pemeriksaan, orang
memanggilnya dan dia datang dengan keputusannya.
“Suruh dia minum obat pencahar! Apa itu? Garam inggris?”
“Betul Pak.” Kata bawahannya
“Bagus, dan tampung!”
Mereka pun mulai memaksa lelaki itu untuk menelan obat pencahar.
Tetapi, lelaki itu tidak mau meminumnya. Dia tidak mau membuka mulut.
Mereka mulai keras. Gelas berisi larutan garam inggris itu mereka
sodokan ke mulutnya. Dia tutup mulutnya seperti orang menggigit.
Kemudia dia terlempar lagi di kursi.
“Minum! Apa kau tidak biasa minum?!”
Dia bertelekanpada sudut meja untuk bisa bangkit dari tempat dia
tersungkur.
“Kupas papaya itu! Dan suruh dia makan!”
“Mana yang lebih dahulu Komandan? Obat pencahar ini atau papaya?”
“Serentak juga tidak apa-apa! Yang penting tampung begitu dia ke
jamban!”
“Nanti ususnya…”
“Tidak ada urusan! Suruh dia telan obat pencahar itu! Kemudian pisang
atau papaya, lalu tampung!”
Mereka pun memaksa lelaki itu membuka mulut untuk menyungkah itu semua.
Aku mulai tidak kuat melihat penyiksaan iitu. Aku minta kepada komandan
pemeriksa untuk membollehkan aku membujuk lelaki itu menelan obat
pencahar, pisang dan papaya. Dia menyetujui. Lalu aku dan lelaki itu
dimasukkan ke dalam ruang berdinding kaca yang terang benderang. Para
pemeriksaberada di balik riben dan kami tidak melihatnya. Termasuk
wanita yang menjadi korban penjambretan itu mengawasi kami lewat kaca
peragaan.
Aku mulai membujuk laki-laki itu. Gelap di luar memberi kesan seolah
kami berada di dalam kamar dalam gelap malam.
“Sekarang Cuma kita berdua saja di ruang ini. Ada suatu hal yang ingin
kukatakan kepadamu. “Aku mulai menyakinkannya . “Kalau dalam waktu
dekat kau tidak keluarkan kalung itu , mereka akan mengoperasimu!” Aku
bergesser dekat kepadanya. “Kau telah tahu bagaimana orang dioperasi?
Kau akan dibawa ke kamar bedah. Sebelum kau dioperasi, tubuhmu akan
ditembus sinar x untuk melihat di bagian mana kalung itu nyangkut di
ususmmu. Kau akan puasa dalam waktu yang lama. Setelah itu baru kau
dimasukkan ke kamar bedah. Kau akan dibius. Pada saat kau sudah tidak
sadar oleh obat bius, pada saat itulah kulit perutmu akan disayat
mereka di meja operasi. Pisau bedah itu akan masuk ke dalam perutmu
seperti orang menyiang ikan. Ususmu akan disabet mereka dengan geram,
karena kau menyembunyikan benda berharga di ususmu. Satu hal harus kau
ketahui bahwa operasi itu bukan untuk menyelamatkan kalung yang kau
telan. Coba bayangkan seandainya operasi itu memerlukan tambahan darah.
Siapa yang akan mau menyumbangkan darahnya untuk orang seperti kau?
Jambret! Ingat bung. Kau tidfak ada artinya bagi mereka. Mereka
mengoperasimu dalam saat mereka geram karena kau menyembunyikan kalung
emas di dalam ususmu. Kau tidak ada artinya bagi mereka. Tidak mungkin
ada orang mau menyumbang darah secara sukarela kepadamu. Tidak mungkin
ada salah seorang sanak keluargamu yang mau datang menujukkan diri
untuk menyumbang darah kepadamu. Mereka malu untuk muncul. Karena kau
maling! Tahu kau? Nyawamu bagi mereka tidak ada artinya. Tubuhmu yang
terbaring dalam pengaruh obat bius itu tidak akan mereka hiraukan lagi
begitu mereka menemukan kalung emas itu. Saking gembiranya mereka itu,
aku yakin begitu, mereka akan lupa menyudahi operasimu. Kau akan mati
sia-sia. Untuk apa menyelamatkan penjambret seperti kau. Mengurangi
jumlah penjahat lebih bijaksana! Maka, kau akan mampus! Kau tidak ubah
seperti koper tua yang dicampakkan setelah dikeluarkan isinya. Mayatmu
akan terbaring tanpa ada orang yang menjenguk.”
Orang itu dari tunduk memandang kepadaku.
“Kau masih muda Bung. Masih banyak kemungkinan masa depanmu. Kau harus
manfaatkan hidupmu. Masak kau mau mampus dengan jalan konyol seperti
itu? Operasiitu bukan untuk menyelamatkan jiwamu, tetapi untuk
menyelamatkan kalung emas yang kau telan!”
“Apa yang harus aku lakukan?” katanya.
“Keluarkan!” bentakku
“Aku tidak melakukannya!”
“Sudah tidak waktu lagi untuk berkilah-kilah! Tidak saatnya
menyembunyikan kejaatan pada saat ini. Jangan tunggu mereka kalap.
Jangan kau kira mereka tidak melihat kita. Semua gerak-gerik kita
mereka lihat lewat kaca riben ini. Lihat kedip api rokok mereka di
dalam gelap! Itu sama seperti mata mengintai kita. Ayo lakukan! Cepat
telan obat pencahar itu! Apa yang kau takutkan pergi ke jamban?”
Dia raih gelas berisi larutan garam inggris dari atas meja. Dia reguk
seperti orang minum kopi. Kemudian dia lahap papaya dan pisang.
“Makan lebih banyak pepaya itu, biar cepat dia mendorongnya .”
Seorang petugas membuka pintu kaca.
“Sudah ingin ke jamban?” katanya
“Dia baru menelannya. Belum. Sebentar lagi, Pak.”
“Bagus! Kalau dia tidak suka papaya dalam negeri, kita bisa sediakan
papaya Bangkok!” Dia tutup intu kaca itu.
Tidak lama kemudian dia muncul pula. Dua orang masuk membawa papan
penyekat dan dua pispot. Papan penyekat itu dimaksudkan sebagai dinding
jamban. Orang itu kalau sudah ingin ke jamban, dia boleh pergi ke balik
papan penyekat untuk membuang hajat. Untuk alasan tertentu. Orang itu
diperintahkan menanggalkan pakaiannya, kecuali celana dalam. Dia
disuruh merekam pergi ke balik papan penyekat sampai dia memerlukan
pispot.
Aku dan para petugas keluar dari dalam ruangan berkaca. Kami menonton
dari balik riben , menunggu orang itu mengeluarkan kotorannya ke dalam
pispot.
Seorang petugas yang memegang alat pengeras suara masuk ke dalam
ruangan berkaca dan mengambil pispot yang diulurkan dari papan
penyekat. Petugas itu tampak memeriksa isi pispot dengan ranting.
Terdengar dia melaporkan apa yang dia lihat di dalam pispot.
“Belum keluar! Baru biji-biji kedelai. Rupanya dia makan tempe!”
Dia keluar membawa pispot dan seseorang menyambutnya dan
membersihkannya di lubang kakus.
Si penjambret meminta pispot baru. Kemudian orang yang membawa alat
pengeras suara masuk kembali ke dalam ruangan berkaca dan menyambut
pispot yang diulurkan dari balik papan penyekat. Lalu terdengar suara
dari dalam pengeras suara:
“Belum juga! Masih sisa-sisa tempe. Ada seperti benang. Kukira ini
sumbu singkong rebus!”
Dia kemudian dalam urutan waktu melakukan hal yang sama. Sementara, di
balik riben kami terus menunggu sudah sampai sepuluh kotoran di dalam
pispot dituang ke dalam kakus, namun kalung itu tak terkait di ujung
ranting. Wanita pemilik kalung mulai bosan menunggu. Dia me-nilpun
suaminya. Tidak lama kemudian suami wanita itu datang. Dia pun ikut
bergabung menonton di balik riben. Orang di balik papan penyekat makin
pendek jarak waktunya dia mengulurkan pispot, namun kalung emas lima
belas gram itu tidak keluar bersama kotorannya. Pada saat kami menunggu
seperti itu, tiba-tiba papan penyekat di dalam ruangan kaca itu
terdorong dan kemudian tumbang. Orang dibaliknya jatuh terjerembab
menindihnya. Dia sudah tidak dapat berdiri. Dia menjadi lunglai setelah
terus –menerus mengeluarkan kotorannya.
Maka, si suami pun mengambil keputusan. Dia desak si istri mencabut
tuduhannya. Si istri melakukannya. Tuduhannya dia cabut. Dia minta maaf
pada polisi, karena mungkin bukan orang itu yang menjambret kalungnya.
Lelaki itu dibersihkan di kamar mandi. Tuduhan terhadap dirinya
dicabut! Wanita itu minta maaf kepadanya. Aku juga minta maaf
kepadanya. Polisi juga memaafkannya. Dia bebas!
Karena merasa berdosa, aku menolong lelaki itu meninggalkan kantor
polisi. Aku memapahnya naik ke atas taksi. Aku terus-menerus meminta
maaf di sepanjang perjalanan. Aku raba uang di sakuku. Aku beri dia
uang untuk menebus rasa berdosa pada diriku. Lelaki itu berlinang air
matanya.
“Beli makanan. Kau perlu gizi untuk memulihkan kesehatanmu. Aku
benar-benar merasa berdosa!”
Dia lipat uang di tangannya.
“Terima kasih. Ternyata bapak orang baik.”
“Jangan katakan begitu! Aku telah menjerumuskanmu. Uang itu tidak ada
artinya. Aku telah melakukan kesaksian palsu. Maafkan aku, Bung.”
Kemudian kami sama diam di dalam perjalanan itu. Kemudian dia minta
diturunkan di gang tempat tinggalnya. Aku menolongnya sampai keluar.Aku
menyalamnya.
“Maafkan aku Bung. Rasanya aku berdosa betul. Sepuluh ribu tidak ada
artinya untuk mengenyahkan rasa berdosa itu. Bisa kau berdiri? Apa
tidak becak ke rumahmu? Apa perlu aku mengantarmu?”
“Tidak ush Pak. Terima kasih.”
Dia tampak tidak kuasa menahan air matanya. Aku biarkan dia berdiri
goyah. Aku masuk ke dalam taksi. Pintu aksi dia tutupkan tempat dia
bertumpu. Aku ulurkan tanganku pada jendela untuk menjabat tanganya.
Aku belum merasa cukup untuk melenyapkan rasa bersalah itu. Maka, aku
mengulang apa yang telah kukatakan:
“Maafkan saya, ya Bung. Beli makanan untuk memulihkan kesehatanmu. Aku
benar-benar merasa berdosaa kepadamu.Aku tidak akan mengulang hal yang
sama terhadap orang lain.”
Orang itu menghapus air matanya pada pipinya yang berdarah. Mukanya
yang lebam dia tundukkan.
“Bapak adalah saksi yang benar. Bapak tidak boleh merasa berdosa.” Dia
semakin menunduk seolah dia hendak menyembunyikan mukanya. “Bapak orang
baik. Saya harus mengatakannya! Anakku sedang sakit keras. Kami perlu
biaya. Istriku telah putus asa di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia
tiba-tiba mengangkat mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak orang
baik. Saya harus mengatakannya!” Dia kembali menunduk. “Saya bukanlah
menjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga kali kalung itu
keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung menelannya.”Dia
lepas jabat tangannya pelan-pelan. Dia memandangiku.
“Bapak orang baik. Hukumlah saya.” Dia raba uang yang telah saya beri
itu di dalam saku bajunya. Dia mungkin hendak mengembalikannya.
“Kalau begitu kau masih memerlukan pispot,” kataku.
Aku biarkan dia memegang uang sepuluh ribu itu. Aku suruh taksi
meninggalkannya. Aku harus segera memutuskan begitu sebelum aku berubah
keputusan. Kurasa itu lebih tepat.***
bung Karno Ruh Api
From: "A.Syauqi Yahya"
’Roh’, ’Api’, Kata Bung Karno
Senin, 13 September 2010
Bung Karno mungkin kesepian. Di Ende, diasingkan oleh pemerintah kolonial
sejak Februari 1934, hanya satu-dua orang yang berani mengunjunginya. Tentu
saja tak ada rapat umum tempat ia bisa berpidato, dielu-elukan orang ramai,
didengarkan dengan kagum.
Seorang penulis biografi politiknya, Bernard Dahm, menyebutkan, dalam
kesendirian itu Bung Karno ”berpaling mencari lindungan ke dalam Islam”. Di
Ende, Bung Karno memang banyak bicara soal Islam, tapi saya tak yakin
tepatkah kata ”lindungan” (dalam versi Inggris ”refuge”) di situ.
Sejak Desember tahun itu, ia memulai serangkaian korespondensi dengan T.A.
Hassan, tokoh ”Persatuan Islam” yang beralamat di Bandung. Surat-surat itu,
kemudian terkenal sebagai ”Surat-Surat Islam dari Endeh”, terkumpul dalam
Dibawah Bendera Revolusi, sebuah buku monumental yang menghimpun hampir
semua risalah yang ditulis Bung Karno di masa pergerakan nasional. Mula-mula
ia meminta kepada ”saudara-saudara” di Bandung itu agar dikirimi
buku-buku. Kemudian
surat-surat itu jadi sederet diskusi tentang keadaan umat Islam di Indonesia
dan dunia.
Saya belum pernah membaca bagaimana T.A. Hassan membalas. Tapi dari ke-12
surat Bung Karno, tak tampak ada rasa gentar untuk mengecam keadaan Islam
waktu itu dengan kata-kata tajam. Artinya, ia tak mencari ”lindungan” dalam
Islam. Apalagi Islam yang ia saksikan adalah Islam yang dirundung takhayul
dan ”taqlidisme” dan dihambat ”hadramautisme yang jumud-maha-jumud”.
Islam yang demikian itu menampik perubahan. Pada 18 Agustus 1936, Bung Karno
menulis: ”Kita royal sekali dengan perkataan ’kafir’, kita gemar sekali
mencap segala barang yang baru dengan cap ’kafir’.” Maka yang disebut
”Islam” akhirnya hanya,
…dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang matanya angker, siapa
yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang
dan menggenggam tasbih yang selalu berputar— dia, dialah yang kita namakan
Islam.
”Astagfirullah!” seru Bung Karno.
Saya tak tahu apa yang akan terjadi terhadap Bung Karno seandainya ia hidup
di hari ini dengan kata-kata setajam itu. Tapi tampaknya masa lalu belum
beringas. Memang di tahun 1928-29, di Pekalongan, Jawa Tengah, ada orang
yang menganggap nyawa Bung Karno ”halal” untuk dihabisi, karena bicara
banyak tentang nasionalisme. Tapi kesan saya, tahun 1930-an adalah masa yang
punya ruang luas untuk berpolemik tentang Islam, tanpa hendak saling
membungkam. Tulisan tajam Bung Karno dimuat dalam majalah Pandji Islam, yang
terbit pada 1935; juga bantahan terhadapnya. Hasilnya: satu mutu perdebatan
yang sampai sekarang belum tertandingi.
Hassan bukan orang yang sepaham. Khususnya dalam hal kebangsaan. Buku Luthfi
Assyaukanie, Islam and the Secular State in Indonesia, menyebut Hassan
sebagai orang yang menganggap tindakan ”mengundang dan mengajak orang ke
dalam kebangsaan” satu hal yang ”dilarang oleh Islam”. Sebaliknya Bung Karno
menilai ”Persatuan Islam”, organisasi Hassan, cenderung kepada ”sektarisme”.
Tapi benturan pendapat kedua orang itu—apa pun jawaban Hassan dalam
korespondensi bersejarah itu—tak sampai merusak percakapan mereka.
Tentu harus dicatat: seandainya Bung Karno bukan seorang pemimpin pergerakan
nasional yang diikuti ribuan orang, mungkin ia tak akan didengar dengan rasa
segan. Ada satu hal lain: dalam kritiknya kepada keadaan dunia Islam ia
meletakkan diri sebagai orang-dalam: ia memakai kata ”kita”, bukan ”kalian”.
Tapi ada faktor yang lebih penting. Indonesia sedang berada dalam kejutan
perubahan-perubahan besar sejarah. Kolonialisme memperkenalkan dunia modern
yang tak terkalahkan. Tradisi dan adat mulai digugat, modernitas melecut.
Masyarakat lama retak. Berdirinya Sarekat Islam (tahun 1912) adalah jawaban
atas keretakan itu. Organisasi ini meninggalkan Islam yang dicemooh Bung
Karno sebagai celak-kurma-jubah-dupa semata. Lebih jelas lagi Muhammadiyah.
Ia lahir dengan tekad menyingkirkan Islam dari ”takhayul”, dengan keberanian
menghalalkan orang Islam mengenakan pakaian Barat dan niat mendirikan
sekolah dan rumah sakit seperti dilakukan orang Kristen.
Maka ketika Bung Karno menyebut adanya dynamical laws of progress, tak ada
yang membantahnya. Menjelang pertengahan abad ke-20 itu, orang umumnya yakin
kemajuan adalah ”hukum” sejarah, juga buat umat Islam. ”Panta rei, kata
Heraclitus—segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal
memerlukan pembaharuan,” tulis Bung Karno dalam ”Me-’muda’-kan Pengertian
Islam”.
Tapi jika kemajuan tak bisa dielakkan, tak berarti umat Islam tak jadi
subyek yang aktif menggerakkannya. Bung Karno, seorang Marxis yang paham
dialektika, akan menjawab bahwa sejarah, juga kemajuan, tak hanya terjadi
karena ia niscaya. Kemajuan terjadi karena ada kesadaran manusia untuk
bertindak.
Maka Bung Karno berkali-kali bicara perlunya umat Islam menghidupkan ”Roh
Islam yang berkobar-kobar”, ”api Islam yang menyala-nyala”, ”dari ujung
zaman yang satu ke ujung zaman yang lain”.
Dua buah metafor yang memukau—tapi juga dua kiasan yang keliru. Bung Karno
tampaknya percaya ada ”api” yang kekal, ada ”Roh Islam yang sejati”. Dengan
kata lain, keduanya tak tersentuh oleh sejarah yang bergerak, bebas dari
panta rei. Di sini Bung Karno melenceng dari pandangan Marxistisnya sendiri.
Dalam pandangan ini ”Roh Islam yang sejati” tak akan pernah ada. Yang ada:
tafsir orang, di suatu masa, di suatu tempat tentang apa yang ”sejati” dan
yang bukan.
Dan tentang ”Roh”….
Barangkali kita tak perlu istilah yang melambung. ”Roh” itu sebenarnya hal
yang biasa saja: hasrat manusia untuk tak tenggelam. ”Api” itu bukan datang
dari luar sejarah, ”Roh” itu bukan jatuh dari langit. Keduanya terbit dari
dalam pengalaman manusia di atas bumi di dalam kekurangannya.
Itu sebabnya hasrat itu senantiasa ada. Bung Karno, yang terkadang
seakan-akan menyamakan ”Api” dan ”Roh” itu dengan ”rasio”, mengatakan bahwa
ada sebuah masa—tak kurang dari 1.000 tahun—ketika sejarah Islam hanya
terdiri atas ”abu” dan ”debu”. Itu adalah masa gelap yang panjang ketika
”akal menjadi terkutuk” di ingatan umat.
Tapi benarkah semudah itu gelap menimpa?
Bung Karno termasuk orang yang berasumsi, kebekuan itu bermula dengan
berkuasanya pemikiran Abu’l Hasan al-Ash’ari. Sejak berkembangnya
Ash’arisme, dan itu berarti di abad ke-9, ”Islam bukan lagi satu agama yang
boleh difikirkan secara merdeka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan
tarikat.”
Di sini saya kira Bung Karno alpa. Ia tak menjelaskan bagaimana sebuah
”haluan” pemikiran dapat demikian berkuasa, hingga ”akal, fikiran, rede,
reason, dienyahkan”. Bung Karno—seorang Marxis yang menafsirkan
sejarah—seharusnya tak percaya bahwa Ash’arisme dengan begitu saja telah
menghentikan ”rasionalisme” berkembang di dunia Islam, hingga akal ”hampir
seribu tahun dikungkung”. Ia tak seharusnya percaya bahwa satu ”haluan”
dapat menciptakan sebuah kondisi yang bertahan lama.
Apalagi sejarah mencatat, keadaan ”terkungkung” itu tak berlangsung ”hampir
seribu tahun”. Juga tak pernah secara mutlak. Dunia Islam terus melanjutkan
vitalitasnya di abad ke-12 di Spanyol. Di abad ke-15 Turki Usmani meluaskan
kekuasaannya ke Balkan dan merebut Konstantinopel, bahkan mengepung Wina
untuk kedua kalinya di abad ke-17. Di India, raja-raja Moghul menghasilkan
sastra, teater, dan arsitektur yang dikagumi sampai sekarang, misalnya Taj
Mahal. Di Iran, filosof Mulla Sadra membangun Mazhab Ishfahan.
Walhasil, ada yang tak kunjung padam. Bukan ”Api” yang kekal, bukan ”Roh”
yang datang dari luar sejarah, melainkan praxis, atau laku, yang mencoba
mengatasi kemandekan, yang mencoba melepaskan diri dari kekurangan. Dalam
laku itulah kaidah yang mencengkeram ditabrak, dibengkokkan, atau dibuat
elastis. Kata Bung Karno:
Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama, tatkala manusia
tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan kuda, tak kenal lain senjata
melainkan pedang dan panah… kalau hukum-hukumnya tidak seperti ’karet’.
Zaman beredar, kebutuhan manusia berobah—panta rei!—maka pengertian manusia
tentang hukum-hukum itu adalah berobah pula.
Kata ”karet” kini punya konotasi yang kurang baik (Bung Karno
menerjemahkannya dari kata elastic), tapi agaknya gambaran yang hendak
dipaparkan adalah keniscayaan sikap yang luwes, sikap pragmatis: pada
mulanya bukan logos yang, seperti didalilkan rasionalisme, tak tersentuh
oleh pengalaman di dunia. Pada mulanya adalah laku, ”Im Anfang war die Tat,”
seperti ujar Faust dalam karya Goethe.
Dalam laku, kesadaran lahir. Melalui laku, pengetahuan tumbuh. Pengalamanlah
yang menentukan tafsir manusia tentang kaidah dan hukum yang datang dari
Kitab Suci.
Manusia keliru bila menolak peran pengalaman. Maka meskipun mengagumi
kebangkitan kerajaan Ibnu Saud dari padang pasir Arab, Bung Karno melihat
jalan buntu dalam semangat ”pemurnian” agama di zaman Raja itu.
Jasa Wahabisme yang terbesar, menurut Bung Karno, adalah ”kemurnian”-nya:
”Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya
seribu-satu takhayul dan seribu-satu bid’ah.” Tapi ketika ”kemurnian”
disamakan dengan ”keaslian”, pemurnian jadi sesuatu yang menampik sejarah.
Wahabisme mencurigai ”tiap-tiap kemodernan”; ia seakan-akan pantulan padang
pasir yang tak kenal tiupan hawa sejuk dari ”lapisan udara negeri lain”. Di
tahun 1920-an, telepon dan radio diharamkan masuk ke Mekah. Akibatnya,
pemurnian berakhir dengan kegagalan. Raja Ibnu Saud akhirnya bertindak
mengatasi para ulamanya. Negeri Wahabi itu sedikit berubah.
Sampai di mana batas perubahan itu? Tidakkah, seperti sering ditakutkan,
sikap pragmatis, yang begitu luwes terhadap perubahan dalam sejarah, akan
mengakhiri kepastian ajaran yang dianggap kekal dan mutlak?
Bung Karno belum menjawab itu. Tapi siapa yang akan bisa menjawab itu,
kecuali dengan kata-kata?
*Goenawan Mohamad*
’Roh’, ’Api’, Kata Bung Karno
Senin, 13 September 2010
Bung Karno mungkin kesepian. Di Ende, diasingkan oleh pemerintah kolonial
sejak Februari 1934, hanya satu-dua orang yang berani mengunjunginya. Tentu
saja tak ada rapat umum tempat ia bisa berpidato, dielu-elukan orang ramai,
didengarkan dengan kagum.
Seorang penulis biografi politiknya, Bernard Dahm, menyebutkan, dalam
kesendirian itu Bung Karno ”berpaling mencari lindungan ke dalam Islam”. Di
Ende, Bung Karno memang banyak bicara soal Islam, tapi saya tak yakin
tepatkah kata ”lindungan” (dalam versi Inggris ”refuge”) di situ.
Sejak Desember tahun itu, ia memulai serangkaian korespondensi dengan T.A.
Hassan, tokoh ”Persatuan Islam” yang beralamat di Bandung. Surat-surat itu,
kemudian terkenal sebagai ”Surat-Surat Islam dari Endeh”, terkumpul dalam
Dibawah Bendera Revolusi, sebuah buku monumental yang menghimpun hampir
semua risalah yang ditulis Bung Karno di masa pergerakan nasional. Mula-mula
ia meminta kepada ”saudara-saudara” di Bandung itu agar dikirimi
buku-buku. Kemudian
surat-surat itu jadi sederet diskusi tentang keadaan umat Islam di Indonesia
dan dunia.
Saya belum pernah membaca bagaimana T.A. Hassan membalas. Tapi dari ke-12
surat Bung Karno, tak tampak ada rasa gentar untuk mengecam keadaan Islam
waktu itu dengan kata-kata tajam. Artinya, ia tak mencari ”lindungan” dalam
Islam. Apalagi Islam yang ia saksikan adalah Islam yang dirundung takhayul
dan ”taqlidisme” dan dihambat ”hadramautisme yang jumud-maha-jumud”.
Islam yang demikian itu menampik perubahan. Pada 18 Agustus 1936, Bung Karno
menulis: ”Kita royal sekali dengan perkataan ’kafir’, kita gemar sekali
mencap segala barang yang baru dengan cap ’kafir’.” Maka yang disebut
”Islam” akhirnya hanya,
…dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang matanya angker, siapa
yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang
dan menggenggam tasbih yang selalu berputar— dia, dialah yang kita namakan
Islam.
”Astagfirullah!” seru Bung Karno.
Saya tak tahu apa yang akan terjadi terhadap Bung Karno seandainya ia hidup
di hari ini dengan kata-kata setajam itu. Tapi tampaknya masa lalu belum
beringas. Memang di tahun 1928-29, di Pekalongan, Jawa Tengah, ada orang
yang menganggap nyawa Bung Karno ”halal” untuk dihabisi, karena bicara
banyak tentang nasionalisme. Tapi kesan saya, tahun 1930-an adalah masa yang
punya ruang luas untuk berpolemik tentang Islam, tanpa hendak saling
membungkam. Tulisan tajam Bung Karno dimuat dalam majalah Pandji Islam, yang
terbit pada 1935; juga bantahan terhadapnya. Hasilnya: satu mutu perdebatan
yang sampai sekarang belum tertandingi.
Hassan bukan orang yang sepaham. Khususnya dalam hal kebangsaan. Buku Luthfi
Assyaukanie, Islam and the Secular State in Indonesia, menyebut Hassan
sebagai orang yang menganggap tindakan ”mengundang dan mengajak orang ke
dalam kebangsaan” satu hal yang ”dilarang oleh Islam”. Sebaliknya Bung Karno
menilai ”Persatuan Islam”, organisasi Hassan, cenderung kepada ”sektarisme”.
Tapi benturan pendapat kedua orang itu—apa pun jawaban Hassan dalam
korespondensi bersejarah itu—tak sampai merusak percakapan mereka.
Tentu harus dicatat: seandainya Bung Karno bukan seorang pemimpin pergerakan
nasional yang diikuti ribuan orang, mungkin ia tak akan didengar dengan rasa
segan. Ada satu hal lain: dalam kritiknya kepada keadaan dunia Islam ia
meletakkan diri sebagai orang-dalam: ia memakai kata ”kita”, bukan ”kalian”.
Tapi ada faktor yang lebih penting. Indonesia sedang berada dalam kejutan
perubahan-perubahan besar sejarah. Kolonialisme memperkenalkan dunia modern
yang tak terkalahkan. Tradisi dan adat mulai digugat, modernitas melecut.
Masyarakat lama retak. Berdirinya Sarekat Islam (tahun 1912) adalah jawaban
atas keretakan itu. Organisasi ini meninggalkan Islam yang dicemooh Bung
Karno sebagai celak-kurma-jubah-dupa semata. Lebih jelas lagi Muhammadiyah.
Ia lahir dengan tekad menyingkirkan Islam dari ”takhayul”, dengan keberanian
menghalalkan orang Islam mengenakan pakaian Barat dan niat mendirikan
sekolah dan rumah sakit seperti dilakukan orang Kristen.
Maka ketika Bung Karno menyebut adanya dynamical laws of progress, tak ada
yang membantahnya. Menjelang pertengahan abad ke-20 itu, orang umumnya yakin
kemajuan adalah ”hukum” sejarah, juga buat umat Islam. ”Panta rei, kata
Heraclitus—segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal
memerlukan pembaharuan,” tulis Bung Karno dalam ”Me-’muda’-kan Pengertian
Islam”.
Tapi jika kemajuan tak bisa dielakkan, tak berarti umat Islam tak jadi
subyek yang aktif menggerakkannya. Bung Karno, seorang Marxis yang paham
dialektika, akan menjawab bahwa sejarah, juga kemajuan, tak hanya terjadi
karena ia niscaya. Kemajuan terjadi karena ada kesadaran manusia untuk
bertindak.
Maka Bung Karno berkali-kali bicara perlunya umat Islam menghidupkan ”Roh
Islam yang berkobar-kobar”, ”api Islam yang menyala-nyala”, ”dari ujung
zaman yang satu ke ujung zaman yang lain”.
Dua buah metafor yang memukau—tapi juga dua kiasan yang keliru. Bung Karno
tampaknya percaya ada ”api” yang kekal, ada ”Roh Islam yang sejati”. Dengan
kata lain, keduanya tak tersentuh oleh sejarah yang bergerak, bebas dari
panta rei. Di sini Bung Karno melenceng dari pandangan Marxistisnya sendiri.
Dalam pandangan ini ”Roh Islam yang sejati” tak akan pernah ada. Yang ada:
tafsir orang, di suatu masa, di suatu tempat tentang apa yang ”sejati” dan
yang bukan.
Dan tentang ”Roh”….
Barangkali kita tak perlu istilah yang melambung. ”Roh” itu sebenarnya hal
yang biasa saja: hasrat manusia untuk tak tenggelam. ”Api” itu bukan datang
dari luar sejarah, ”Roh” itu bukan jatuh dari langit. Keduanya terbit dari
dalam pengalaman manusia di atas bumi di dalam kekurangannya.
Itu sebabnya hasrat itu senantiasa ada. Bung Karno, yang terkadang
seakan-akan menyamakan ”Api” dan ”Roh” itu dengan ”rasio”, mengatakan bahwa
ada sebuah masa—tak kurang dari 1.000 tahun—ketika sejarah Islam hanya
terdiri atas ”abu” dan ”debu”. Itu adalah masa gelap yang panjang ketika
”akal menjadi terkutuk” di ingatan umat.
Tapi benarkah semudah itu gelap menimpa?
Bung Karno termasuk orang yang berasumsi, kebekuan itu bermula dengan
berkuasanya pemikiran Abu’l Hasan al-Ash’ari. Sejak berkembangnya
Ash’arisme, dan itu berarti di abad ke-9, ”Islam bukan lagi satu agama yang
boleh difikirkan secara merdeka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan
tarikat.”
Di sini saya kira Bung Karno alpa. Ia tak menjelaskan bagaimana sebuah
”haluan” pemikiran dapat demikian berkuasa, hingga ”akal, fikiran, rede,
reason, dienyahkan”. Bung Karno—seorang Marxis yang menafsirkan
sejarah—seharusnya tak percaya bahwa Ash’arisme dengan begitu saja telah
menghentikan ”rasionalisme” berkembang di dunia Islam, hingga akal ”hampir
seribu tahun dikungkung”. Ia tak seharusnya percaya bahwa satu ”haluan”
dapat menciptakan sebuah kondisi yang bertahan lama.
Apalagi sejarah mencatat, keadaan ”terkungkung” itu tak berlangsung ”hampir
seribu tahun”. Juga tak pernah secara mutlak. Dunia Islam terus melanjutkan
vitalitasnya di abad ke-12 di Spanyol. Di abad ke-15 Turki Usmani meluaskan
kekuasaannya ke Balkan dan merebut Konstantinopel, bahkan mengepung Wina
untuk kedua kalinya di abad ke-17. Di India, raja-raja Moghul menghasilkan
sastra, teater, dan arsitektur yang dikagumi sampai sekarang, misalnya Taj
Mahal. Di Iran, filosof Mulla Sadra membangun Mazhab Ishfahan.
Walhasil, ada yang tak kunjung padam. Bukan ”Api” yang kekal, bukan ”Roh”
yang datang dari luar sejarah, melainkan praxis, atau laku, yang mencoba
mengatasi kemandekan, yang mencoba melepaskan diri dari kekurangan. Dalam
laku itulah kaidah yang mencengkeram ditabrak, dibengkokkan, atau dibuat
elastis. Kata Bung Karno:
Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama, tatkala manusia
tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan kuda, tak kenal lain senjata
melainkan pedang dan panah… kalau hukum-hukumnya tidak seperti ’karet’.
Zaman beredar, kebutuhan manusia berobah—panta rei!—maka pengertian manusia
tentang hukum-hukum itu adalah berobah pula.
Kata ”karet” kini punya konotasi yang kurang baik (Bung Karno
menerjemahkannya dari kata elastic), tapi agaknya gambaran yang hendak
dipaparkan adalah keniscayaan sikap yang luwes, sikap pragmatis: pada
mulanya bukan logos yang, seperti didalilkan rasionalisme, tak tersentuh
oleh pengalaman di dunia. Pada mulanya adalah laku, ”Im Anfang war die Tat,”
seperti ujar Faust dalam karya Goethe.
Dalam laku, kesadaran lahir. Melalui laku, pengetahuan tumbuh. Pengalamanlah
yang menentukan tafsir manusia tentang kaidah dan hukum yang datang dari
Kitab Suci.
Manusia keliru bila menolak peran pengalaman. Maka meskipun mengagumi
kebangkitan kerajaan Ibnu Saud dari padang pasir Arab, Bung Karno melihat
jalan buntu dalam semangat ”pemurnian” agama di zaman Raja itu.
Jasa Wahabisme yang terbesar, menurut Bung Karno, adalah ”kemurnian”-nya:
”Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya
seribu-satu takhayul dan seribu-satu bid’ah.” Tapi ketika ”kemurnian”
disamakan dengan ”keaslian”, pemurnian jadi sesuatu yang menampik sejarah.
Wahabisme mencurigai ”tiap-tiap kemodernan”; ia seakan-akan pantulan padang
pasir yang tak kenal tiupan hawa sejuk dari ”lapisan udara negeri lain”. Di
tahun 1920-an, telepon dan radio diharamkan masuk ke Mekah. Akibatnya,
pemurnian berakhir dengan kegagalan. Raja Ibnu Saud akhirnya bertindak
mengatasi para ulamanya. Negeri Wahabi itu sedikit berubah.
Sampai di mana batas perubahan itu? Tidakkah, seperti sering ditakutkan,
sikap pragmatis, yang begitu luwes terhadap perubahan dalam sejarah, akan
mengakhiri kepastian ajaran yang dianggap kekal dan mutlak?
Bung Karno belum menjawab itu. Tapi siapa yang akan bisa menjawab itu,
kecuali dengan kata-kata?
*Goenawan Mohamad*
inspirasi renald kasali
Nice Article Sep 15, '10 8:29 PM
untuk semuanya
Artikel inspiratif ini ditulis oleh Rhenald Kasali
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya
itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,
bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai
belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan
itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai
buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai
tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes,
ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari
mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai
berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya
dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi
nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan
untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan
argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya
menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat
mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa
mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari
program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik
ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat
ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus
benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang
penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan
ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.
Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,
menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya
sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut
“menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita
tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya
sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para
dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya
pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya
tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya
temukan juga menguji dengan cara menekan.Ada semacam balas dendam dan
kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya.
Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis
karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan
karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali
ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita
yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga
teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun
Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah
memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima
nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan
“gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan
dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman:
Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah
menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan
inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak
ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat
mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari
orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat
tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada
orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan
menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi
ancaman yang menakut-nakuti.
*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI
untuk semuanya
Artikel inspiratif ini ditulis oleh Rhenald Kasali
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya
itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,
bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai
belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan
itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai
buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai
tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes,
ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari
mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai
berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya
dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi
nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan
untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan
argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya
menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat
mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa
mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari
program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik
ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat
ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus
benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang
penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan
ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.
Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,
menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya
sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut
“menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita
tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya
sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para
dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya
pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya
tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya
temukan juga menguji dengan cara menekan.Ada semacam balas dendam dan
kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya.
Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis
karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan
karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali
ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita
yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga
teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun
Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah
memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima
nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan
“gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan
dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman:
Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah
menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan
inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak
ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat
mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari
orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat
tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada
orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan
menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi
ancaman yang menakut-nakuti.
*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI
Jakarta
484 jakarta universarry...
mana mungkin ku dapat melupakan jakarta jika dia begitu mempesonakanku..
mana mungkin kulupakan bulan kelahiranku jika jakarta selalu mengingatkanku..\
selamat ulang tahun jakarta, ye ncang, ncing nyak babeh....
us arifin
mana mungkin ku dapat melupakan jakarta jika dia begitu mempesonakanku..
mana mungkin kulupakan bulan kelahiranku jika jakarta selalu mengingatkanku..\
selamat ulang tahun jakarta, ye ncang, ncing nyak babeh....
us arifin
asian swamp eels
Asian swamp eel invades North America!
Added Sep 29, 2008,
In May this year, hundreds of Asian swamp eels were discovered in and around Silver Lake in historic Gibbsboro, New Jersey. This was the first finding in New Jersey, Asian swamp eelbut not the first finding in the United States. Unlike Florida, Georgia, and Hawaii – the three other U.S. states where this species have been discovered – New Jersey is however subjected to harsh winters and a breeding population of Asian swamp eels in New Jersey confirms the suspicion that this Asian invader has no problem adjusting to the
chilly climate of northern North America.
The Asian swamp eels were found by a local college student checking on frogs and turtles in the Silver Lake. As he spotted snake-like heads peeking from the water, he decided to photograph them and post the pictures online. This lead to the “snakes” being identified as Asian swamp eels, Monopterus albus, and prompted a call to the local authorities.
In its native environment in Asia and Australia, the swamp eel Monopterus albus inhabits gentle hill streams, estuaries and lowland wetlands, and it is a common species in rice paddies. It has developed a long row of traits that makes it an apt survivor in many different kinds of environments. Unfortunately, these traits also make it the “perfect” invasive species and biologists fear that the Asian swamp eel may wreck havoc with existing North American ecosystems, especially if the predatory species of these systems prefer to target familiar prey rather than catching the newcomers.
- The Asian swamp eel can survive long periods of drought by burrowing in moist earth, and can therefore take advantage of seasonally appearing, short-lived bodies of water.
- If its home becomes unsuitable, e.g. because of drought, this eel simply crawls ashore and make its way to a more suitable home by slithering over land, just like a snake. This makes it hard to eradicate from bodies of water using poison or similar; there is always the risk of at least two specimens getting away over land and forming a new breeding colony in nearby waters.
- The Asian swamp eel can tolerate a wide range of oxygen levels in the water since it is capable of absorbing oxygen from the air above the surface through its skin. This skill doesn’t only come in handy in oxygen depleted waters; it is also what makes it possible for the fish to travel impressive distances over land.
- This eel prefers freshwater habitats, but can tolerate brackish and saline conditions, which increases its chances of always finding a suitable home.
- It eats all sorts of prey, not only fish, crustaceans, amphibians, and other aquatic animals, but detritus (decaying organic matter) as well. Highly specialized feeders have a much harder time adjusting to new habitats and are therefore less likely to become problematic invasive species.
- This eel is a protandrous hermaphrodite, which means that it can change its sex. All specimens are born male, but can turn into females if necessary. This means that if an aquarist releases two male specimens into a lake, one of them can turn into a female to make reproduction possible.
In Georgia, the first specimens of Asian swamp eel was discovered in 1994, and three years later eels were found in Florida as well. The Hawaiian history of combating swamp eels is much longer as the first specimens are believed to have been released in Hawaiian waters about 100 years ago. In Georgia and New Jersey, biologists blame aquarists of having caused the situation by releasing their pets into the wild. In Florida and Hawaii however, Asian food markets and fish-farmers are considered more likely sources. Asian swamp eels are typically sold fresh in food markets and can be kept alive for long periods of time as long as their skin is kept moist.
New Jersey authorities are now focusing on containing the creatures while trying to figure out a way of annihilating them. “We’re not panicking yet,” says Lisa Barno, chief of the New Jersey Bureau of Freshwater Fisheries. “It’s more that it’s just an invasive species we’d rather not have. We’re still documenting the true extent of the problem, but right now it seems to be fairly contained.” One of the immediate goals is to prevent an expansion downstream to the Cooper River and a watershed leading to the Delaware River. Since May, only one Asian swamp eel has been discovered outside the Silver Lake.
Added Sep 29, 2008,
In May this year, hundreds of Asian swamp eels were discovered in and around Silver Lake in historic Gibbsboro, New Jersey. This was the first finding in New Jersey, Asian swamp eelbut not the first finding in the United States. Unlike Florida, Georgia, and Hawaii – the three other U.S. states where this species have been discovered – New Jersey is however subjected to harsh winters and a breeding population of Asian swamp eels in New Jersey confirms the suspicion that this Asian invader has no problem adjusting to the
chilly climate of northern North America.
The Asian swamp eels were found by a local college student checking on frogs and turtles in the Silver Lake. As he spotted snake-like heads peeking from the water, he decided to photograph them and post the pictures online. This lead to the “snakes” being identified as Asian swamp eels, Monopterus albus, and prompted a call to the local authorities.
In its native environment in Asia and Australia, the swamp eel Monopterus albus inhabits gentle hill streams, estuaries and lowland wetlands, and it is a common species in rice paddies. It has developed a long row of traits that makes it an apt survivor in many different kinds of environments. Unfortunately, these traits also make it the “perfect” invasive species and biologists fear that the Asian swamp eel may wreck havoc with existing North American ecosystems, especially if the predatory species of these systems prefer to target familiar prey rather than catching the newcomers.
- The Asian swamp eel can survive long periods of drought by burrowing in moist earth, and can therefore take advantage of seasonally appearing, short-lived bodies of water.
- If its home becomes unsuitable, e.g. because of drought, this eel simply crawls ashore and make its way to a more suitable home by slithering over land, just like a snake. This makes it hard to eradicate from bodies of water using poison or similar; there is always the risk of at least two specimens getting away over land and forming a new breeding colony in nearby waters.
- The Asian swamp eel can tolerate a wide range of oxygen levels in the water since it is capable of absorbing oxygen from the air above the surface through its skin. This skill doesn’t only come in handy in oxygen depleted waters; it is also what makes it possible for the fish to travel impressive distances over land.
- This eel prefers freshwater habitats, but can tolerate brackish and saline conditions, which increases its chances of always finding a suitable home.
- It eats all sorts of prey, not only fish, crustaceans, amphibians, and other aquatic animals, but detritus (decaying organic matter) as well. Highly specialized feeders have a much harder time adjusting to new habitats and are therefore less likely to become problematic invasive species.
- This eel is a protandrous hermaphrodite, which means that it can change its sex. All specimens are born male, but can turn into females if necessary. This means that if an aquarist releases two male specimens into a lake, one of them can turn into a female to make reproduction possible.
In Georgia, the first specimens of Asian swamp eel was discovered in 1994, and three years later eels were found in Florida as well. The Hawaiian history of combating swamp eels is much longer as the first specimens are believed to have been released in Hawaiian waters about 100 years ago. In Georgia and New Jersey, biologists blame aquarists of having caused the situation by releasing their pets into the wild. In Florida and Hawaii however, Asian food markets and fish-farmers are considered more likely sources. Asian swamp eels are typically sold fresh in food markets and can be kept alive for long periods of time as long as their skin is kept moist.
New Jersey authorities are now focusing on containing the creatures while trying to figure out a way of annihilating them. “We’re not panicking yet,” says Lisa Barno, chief of the New Jersey Bureau of Freshwater Fisheries. “It’s more that it’s just an invasive species we’d rather not have. We’re still documenting the true extent of the problem, but right now it seems to be fairly contained.” One of the immediate goals is to prevent an expansion downstream to the Cooper River and a watershed leading to the Delaware River. Since May, only one Asian swamp eel has been discovered outside the Silver Lake.
Subscribe to:
Posts (Atom)