Thursday, June 23, 2011

pispot

“P I S P O T”





cerpen Hamsad Rangkuti





Kami naik ke mobil polisi itu. Aku duduk di sebelah wanita korban
penjambretan. Lelaki yang tersangka melakukan penjambretan itu duduk di
depan kami. Hidungnya masih meneteskan darah. Di kiri kanannya duduk
petugas pasar yang menangkapnya dan seorang polisi. Mobil itu terbuka.
Angin menerbangkan rambut kami.



Orang itu beberapa saat yang lalu melintas di antara keramaian pasar.
Seorang wanita menjerit. Aku melihat orang itu memasukkan sesuatu ke
mulutnya disaat langkahnya yang tergesa. Aku menuding lelaki itu dan
petugas pasar menangkapnya. Massa pun melampiaskan amarah mereka. Orang
itu melap darah pada bibirnya dalam kecepatan lari mobil. Dia tidak
berani mengangkat untuk memperlihatkan darah yang masih meleleh
mencoreng mukanya.



Sebenarnya tidak ada barang bukti untuk menuduhnya sebagai pelaku
penjambretan itu. Namun, aku mempertahankan kesaksianku dan ia pun
jatuh terjerumus ke tangan polisi.



DI kantor polisi dia mulai didesak untuk mengakui perbuatannya. Mereka
mulai menjalankan cara mereka untuk membuat orang mengaku!



“Benar kamu telan kalung itu?” bentak mereka.



“Tidak,” kata laki-laki itu menyembunyikan mukanya.



“Kamu buang?”



“Tidak.”



“Kamu sembunyikan?”



“Tidak.”



“Dia tidak bisa berkata lain selain : Tidak!” Mereka mulai tidak sabar.
“Siksa!”



Orang itu terlempar dari kursi. Dia mencoba hendak berdiri. Bertelekan
pada sudut meja. Dia kembali duduk di kursi.



“Saya tidak melakukan penjambretan itu, Bapak Polisi.”



“Bukan itu yang kutanyakan! Ke mana kau sembunyikan kalung itu?”



“Dia telan!” kataku.



“Kamu lihat?”



“Saya lihat! Dia masukkan kalung itu dan dia telan!”



Aku menambah kata “kalung” pada kesaksianku. Padahal, aku tidak melihat
benda apa yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Sekarang sudah telanjur!
“Pasti?”



“Pasti!”



“Dia masukkan kalung itu ke mulutnya? Begitu?



Orang di seberang itu memindahkan kesaksianku ke atas kertas yang
diketiknya.



“Ya! Dia masukkan!”



“Lalu dia telan?”



“Berapa gram? Tanyanya ke wanita korban penjambretan itu.



“Lima belas gram!” jawab wanita itu.



“Cukup! Itu sudah cukup!” Bentak kepala pemeriksa.



“Semua keterangan itu sudah cukup meyakinkan! Ambil obat pencahar!
Pisang dan papaya. Suruh dia mencret seperti burung. Lalu tampung
kotorannya!”



Kepala pemeriksa itu pergi meninggalkan ruang pemeriksaan. Setelah
semua benda yang disebutnya tersedia di ruang pemeriksaan, orang
memanggilnya dan dia datang dengan keputusannya.



“Suruh dia minum obat pencahar! Apa itu? Garam inggris?”



“Betul Pak.” Kata bawahannya



“Bagus, dan tampung!”



Mereka pun mulai memaksa lelaki itu untuk menelan obat pencahar.
Tetapi, lelaki itu tidak mau meminumnya. Dia tidak mau membuka mulut.
Mereka mulai keras. Gelas berisi larutan garam inggris itu mereka
sodokan ke mulutnya. Dia tutup mulutnya seperti orang menggigit.
Kemudia dia terlempar lagi di kursi.



“Minum! Apa kau tidak biasa minum?!”



Dia bertelekanpada sudut meja untuk bisa bangkit dari tempat dia
tersungkur.



“Kupas papaya itu! Dan suruh dia makan!”



“Mana yang lebih dahulu Komandan? Obat pencahar ini atau papaya?”



“Serentak juga tidak apa-apa! Yang penting tampung begitu dia ke
jamban!”



“Nanti ususnya…”



“Tidak ada urusan! Suruh dia telan obat pencahar itu! Kemudian pisang
atau papaya, lalu tampung!”



Mereka pun memaksa lelaki itu membuka mulut untuk menyungkah itu semua.



Aku mulai tidak kuat melihat penyiksaan iitu. Aku minta kepada komandan
pemeriksa untuk membollehkan aku membujuk lelaki itu menelan obat
pencahar, pisang dan papaya. Dia menyetujui. Lalu aku dan lelaki itu
dimasukkan ke dalam ruang berdinding kaca yang terang benderang. Para
pemeriksaberada di balik riben dan kami tidak melihatnya. Termasuk
wanita yang menjadi korban penjambretan itu mengawasi kami lewat kaca
peragaan.



Aku mulai membujuk laki-laki itu. Gelap di luar memberi kesan seolah
kami berada di dalam kamar dalam gelap malam.



“Sekarang Cuma kita berdua saja di ruang ini. Ada suatu hal yang ingin
kukatakan kepadamu. “Aku mulai menyakinkannya . “Kalau dalam waktu
dekat kau tidak keluarkan kalung itu , mereka akan mengoperasimu!” Aku
bergesser dekat kepadanya. “Kau telah tahu bagaimana orang dioperasi?
Kau akan dibawa ke kamar bedah. Sebelum kau dioperasi, tubuhmu akan
ditembus sinar x untuk melihat di bagian mana kalung itu nyangkut di
ususmmu. Kau akan puasa dalam waktu yang lama. Setelah itu baru kau
dimasukkan ke kamar bedah. Kau akan dibius. Pada saat kau sudah tidak
sadar oleh obat bius, pada saat itulah kulit perutmu akan disayat
mereka di meja operasi. Pisau bedah itu akan masuk ke dalam perutmu
seperti orang menyiang ikan. Ususmu akan disabet mereka dengan geram,
karena kau menyembunyikan benda berharga di ususmu. Satu hal harus kau
ketahui bahwa operasi itu bukan untuk menyelamatkan kalung yang kau
telan. Coba bayangkan seandainya operasi itu memerlukan tambahan darah.
Siapa yang akan mau menyumbangkan darahnya untuk orang seperti kau?
Jambret! Ingat bung. Kau tidfak ada artinya bagi mereka. Mereka
mengoperasimu dalam saat mereka geram karena kau menyembunyikan kalung
emas di dalam ususmu. Kau tidak ada artinya bagi mereka. Tidak mungkin
ada orang mau menyumbang darah secara sukarela kepadamu. Tidak mungkin
ada salah seorang sanak keluargamu yang mau datang menujukkan diri
untuk menyumbang darah kepadamu. Mereka malu untuk muncul. Karena kau
maling! Tahu kau? Nyawamu bagi mereka tidak ada artinya. Tubuhmu yang
terbaring dalam pengaruh obat bius itu tidak akan mereka hiraukan lagi
begitu mereka menemukan kalung emas itu. Saking gembiranya mereka itu,
aku yakin begitu, mereka akan lupa menyudahi operasimu. Kau akan mati
sia-sia. Untuk apa menyelamatkan penjambret seperti kau. Mengurangi
jumlah penjahat lebih bijaksana! Maka, kau akan mampus! Kau tidak ubah
seperti koper tua yang dicampakkan setelah dikeluarkan isinya. Mayatmu
akan terbaring tanpa ada orang yang menjenguk.”



Orang itu dari tunduk memandang kepadaku.



“Kau masih muda Bung. Masih banyak kemungkinan masa depanmu. Kau harus
manfaatkan hidupmu. Masak kau mau mampus dengan jalan konyol seperti
itu? Operasiitu bukan untuk menyelamatkan jiwamu, tetapi untuk
menyelamatkan kalung emas yang kau telan!”



“Apa yang harus aku lakukan?” katanya.



“Keluarkan!” bentakku



“Aku tidak melakukannya!”



“Sudah tidak waktu lagi untuk berkilah-kilah! Tidak saatnya
menyembunyikan kejaatan pada saat ini. Jangan tunggu mereka kalap.
Jangan kau kira mereka tidak melihat kita. Semua gerak-gerik kita
mereka lihat lewat kaca riben ini. Lihat kedip api rokok mereka di
dalam gelap! Itu sama seperti mata mengintai kita. Ayo lakukan! Cepat
telan obat pencahar itu! Apa yang kau takutkan pergi ke jamban?”



Dia raih gelas berisi larutan garam inggris dari atas meja. Dia reguk
seperti orang minum kopi. Kemudian dia lahap papaya dan pisang.



“Makan lebih banyak pepaya itu, biar cepat dia mendorongnya .”



Seorang petugas membuka pintu kaca.



“Sudah ingin ke jamban?” katanya



“Dia baru menelannya. Belum. Sebentar lagi, Pak.”



“Bagus! Kalau dia tidak suka papaya dalam negeri, kita bisa sediakan
papaya Bangkok!” Dia tutup intu kaca itu.



Tidak lama kemudian dia muncul pula. Dua orang masuk membawa papan
penyekat dan dua pispot. Papan penyekat itu dimaksudkan sebagai dinding
jamban. Orang itu kalau sudah ingin ke jamban, dia boleh pergi ke balik
papan penyekat untuk membuang hajat. Untuk alasan tertentu. Orang itu
diperintahkan menanggalkan pakaiannya, kecuali celana dalam. Dia
disuruh merekam pergi ke balik papan penyekat sampai dia memerlukan
pispot.



Aku dan para petugas keluar dari dalam ruangan berkaca. Kami menonton
dari balik riben , menunggu orang itu mengeluarkan kotorannya ke dalam
pispot.



Seorang petugas yang memegang alat pengeras suara masuk ke dalam
ruangan berkaca dan mengambil pispot yang diulurkan dari papan
penyekat. Petugas itu tampak memeriksa isi pispot dengan ranting.
Terdengar dia melaporkan apa yang dia lihat di dalam pispot.



“Belum keluar! Baru biji-biji kedelai. Rupanya dia makan tempe!”



Dia keluar membawa pispot dan seseorang menyambutnya dan
membersihkannya di lubang kakus.



Si penjambret meminta pispot baru. Kemudian orang yang membawa alat
pengeras suara masuk kembali ke dalam ruangan berkaca dan menyambut
pispot yang diulurkan dari balik papan penyekat. Lalu terdengar suara
dari dalam pengeras suara:



“Belum juga! Masih sisa-sisa tempe. Ada seperti benang. Kukira ini
sumbu singkong rebus!”



Dia kemudian dalam urutan waktu melakukan hal yang sama. Sementara, di
balik riben kami terus menunggu sudah sampai sepuluh kotoran di dalam
pispot dituang ke dalam kakus, namun kalung itu tak terkait di ujung
ranting. Wanita pemilik kalung mulai bosan menunggu. Dia me-nilpun
suaminya. Tidak lama kemudian suami wanita itu datang. Dia pun ikut
bergabung menonton di balik riben. Orang di balik papan penyekat makin
pendek jarak waktunya dia mengulurkan pispot, namun kalung emas lima
belas gram itu tidak keluar bersama kotorannya. Pada saat kami menunggu
seperti itu, tiba-tiba papan penyekat di dalam ruangan kaca itu
terdorong dan kemudian tumbang. Orang dibaliknya jatuh terjerembab
menindihnya. Dia sudah tidak dapat berdiri. Dia menjadi lunglai setelah
terus –menerus mengeluarkan kotorannya.



Maka, si suami pun mengambil keputusan. Dia desak si istri mencabut
tuduhannya. Si istri melakukannya. Tuduhannya dia cabut. Dia minta maaf
pada polisi, karena mungkin bukan orang itu yang menjambret kalungnya.
Lelaki itu dibersihkan di kamar mandi. Tuduhan terhadap dirinya
dicabut! Wanita itu minta maaf kepadanya. Aku juga minta maaf
kepadanya. Polisi juga memaafkannya. Dia bebas!



Karena merasa berdosa, aku menolong lelaki itu meninggalkan kantor
polisi. Aku memapahnya naik ke atas taksi. Aku terus-menerus meminta
maaf di sepanjang perjalanan. Aku raba uang di sakuku. Aku beri dia
uang untuk menebus rasa berdosa pada diriku. Lelaki itu berlinang air
matanya.



“Beli makanan. Kau perlu gizi untuk memulihkan kesehatanmu. Aku
benar-benar merasa berdosa!”



Dia lipat uang di tangannya.



“Terima kasih. Ternyata bapak orang baik.”



“Jangan katakan begitu! Aku telah menjerumuskanmu. Uang itu tidak ada
artinya. Aku telah melakukan kesaksian palsu. Maafkan aku, Bung.”



Kemudian kami sama diam di dalam perjalanan itu. Kemudian dia minta
diturunkan di gang tempat tinggalnya. Aku menolongnya sampai keluar.Aku
menyalamnya.



“Maafkan aku Bung. Rasanya aku berdosa betul. Sepuluh ribu tidak ada
artinya untuk mengenyahkan rasa berdosa itu. Bisa kau berdiri? Apa
tidak becak ke rumahmu? Apa perlu aku mengantarmu?”



“Tidak ush Pak. Terima kasih.”



Dia tampak tidak kuasa menahan air matanya. Aku biarkan dia berdiri
goyah. Aku masuk ke dalam taksi. Pintu aksi dia tutupkan tempat dia
bertumpu. Aku ulurkan tanganku pada jendela untuk menjabat tanganya.
Aku belum merasa cukup untuk melenyapkan rasa bersalah itu. Maka, aku
mengulang apa yang telah kukatakan:



“Maafkan saya, ya Bung. Beli makanan untuk memulihkan kesehatanmu. Aku
benar-benar merasa berdosaa kepadamu.Aku tidak akan mengulang hal yang
sama terhadap orang lain.”

Orang itu menghapus air matanya pada pipinya yang berdarah. Mukanya
yang lebam dia tundukkan.



“Bapak adalah saksi yang benar. Bapak tidak boleh merasa berdosa.” Dia
semakin menunduk seolah dia hendak menyembunyikan mukanya. “Bapak orang
baik. Saya harus mengatakannya! Anakku sedang sakit keras. Kami perlu
biaya. Istriku telah putus asa di rumah. Dokter meminta banyak.” Dia
tiba-tiba mengangkat mukanya. “Bapak adalah saksi itu! Bapak orang
baik. Saya harus mengatakannya!” Dia kembali menunduk. “Saya bukanlah
menjambret. Tetapi, saya telah melakukannya. Tiga kali kalung itu
keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung menelannya.”Dia
lepas jabat tangannya pelan-pelan. Dia memandangiku.



“Bapak orang baik. Hukumlah saya.” Dia raba uang yang telah saya beri
itu di dalam saku bajunya. Dia mungkin hendak mengembalikannya.



“Kalau begitu kau masih memerlukan pispot,” kataku.



Aku biarkan dia memegang uang sepuluh ribu itu. Aku suruh taksi
meninggalkannya. Aku harus segera memutuskan begitu sebelum aku berubah
keputusan. Kurasa itu lebih tepat.***

No comments:

Post a Comment