Thursday, June 23, 2011

an + archos

An + Archos


Senin, 06 Juni 2011



Dalam bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengandung
sebuah salam. Selalu ada orang lain yang disambut atau dijawab.
Kekuasaan selamanya menuntut hadirnya ”sahaya”.





Satu bagian dari Pangeran Kecil Antoine de St. Exupery: Sang
pangeran berjalan-jalan ke beberapa asteroid di sekitar tempat asalnya.
Syahdan, ia berjumpa dengan seorang raja. Orang itu hidup sendirian di
benda angkasa yang kecil itu, duduk kesepian di sebuah takhta. Melihat
seseorang datang, ia berseru senang: ”Ah, itu dia. Seorang sahaya!”





Sang raja butuh orang yang bisa diperintahnya. Kebutuhan itu begitu
besar hingga ia bersedia mengubah titah: jika orang yang ia perintahkan
agar tak menguap ternyata tak patuh dan tetap menguap, baginda akan
mengganti komandonya dengan ”menguaplah!” Yang penting bukanlah
patuhnya orang lain, melainkan pengakuan bahwa dialah sumber perintah.





Dari kisah itu kita juga tahu: si ”sahaya” yang diperlukan itu
akhirnya jadi ”saya”: yang semula direndahkan, sujet sebagai rakyat,
jadi sujet sebagai manusia yang punya otoritas sendiri. Kekuasaan harus
bernegosiasi dengan ”saya”. Belajar dari sejarah, Hegel pernah
menunjukkan, dalam hubungan antara majikan dan budak, pada gilirannya
sang majikan akan bergantung kepada si budak. Sejarah politik
sebenarnya sejarah manusia yang tegang, mengandung sengketa, tapi juga
mengandung keinginan akan sesama.





Di sela-sela itulah saat ”ethis” dalam politik: ketika orang lain
dijangkau, bahkan disambut dengan terbuka dan murah hati. Zoon
politicon berarti ”hewan sosial” dan ”hewan politik” sekaligus, sebab
bangunan sosial selalu mengandung yang politik: persaingan, konflik,
kuasa-menguasai. Begitu juga proses politik tak akan terlepas dari yang
sosial, di mana konflik tak sepenuhnya hadir dalam kehidupan.





Dikatakan secara lain, saat ”ethis” adalah saat ketika manusia
mengusahakan hidupnya hubungan tanpa antagonisme, tanpa
kuasa-menguasai. Ketika Marx membayangkan masyarakat komunis, yang
diharapkannya adalah sebuah hubungan antarmanusia tanpa perang kelas,
di mana Negara—yang diartikannya sebagai instrumen pemaksaan—praktis
tak diperlukan lagi. Dengan kata lain, saat ”ethis” dalam politik
adalah saat yang memperjuangkan hidup yang egaliter. Dalam bentuknya
yang radikal, itulah saat yang merindukan anarki. Tentu saja ”anarki”
dari pengertiannya yang awal: an (tanpa) dan archos (penguasa).





Tapi politik sebagai perjuangan ke arah an + archos selamanya
menantikan yang berharga dan sekaligus mustahil.





Kita ingat 1966: Mao Zedong memulai ”Revolusi Kebudayaan”. Juli
tahun itu, ia kerahkan para mahasiswa yang kemudian disebut ”Pengawal
Merah” buat menghantam Partai Komunis Cina yang berkuasa. ”Berontak itu
sah!” katanya.





Banyak penjelasan kenapa Mao, yang memenangi revolusi pada 1949
dengan menggunakan mesin Partai yang efektif itu, akhirnya menampik apa
yang dulu dibangunnya. Tapi satu hal agaknya diakui: dukungan yang luas
dan fanatik dari para pemuda terhadap ”Revolusi Kebudayaan” tumbuh dari
persepsi bahwa Partai, semenjak menguasai Cina, telah jadi sarana yang
korup. Para pengagum Mao mencatatnya sebagai pelopor sebuah perjuangan
egaliter yang anti-Partai. ”Revolusi Kebudayaan” dilihat sebagai aksi
yang memisahkan Partai dari politik revolusioner. Partai adalah kutukan
sejarah. Perjuangan melepaskan diri dari kutukan itulah kemudian jadi
cita-cita orang seperti Alain Badiou dan barangkali juga sejumlah orang
di Indonesia kini, ketika demokrasi parlementer mengecewakan.





Tapi akhirnya ”Revolusi Kebudayaan” berhenti. Mao takut Cina
kacau-balau, sebab bentrokan bukan lagi hanya antara ”Pengawal Merah”
dan aparat Partai, tapi juga buruh. Ekonomi terancam, terutama di
kota-kota. April 1969, ”Revolusi Kebudayaan” dinyatakan berakhir.
Ironis, bahwa keputusan itu diambil dan disahkan oleh Sidang Ke-9
Partai. Sampai hari ini, Partai Komunis Cina—di bawah para pemimpin
pasca-Mao—tetap berkuasa. Semangat ”Revolusi Kebudayaan” yang merayakan
an + archos telah dibuang ke keranjang sampah sejarah.





Saat ”ethis” dalam politik memang tak bisa selalu bertahan. Setelah
gelora revolusi yang memberontak, Partai dan Negara segera
diterima—kalaupun bukan bentuk yang ideal, setidaknya sebagai hal buruk
yang tak dapat dielakkan.





Apalagi kini.





Kini, kapitalisme bergerak sekaligus ke dua arah yang paradoksal. Di
satu pihak, selalu ke arah akumulasi dan tegaknya tata yang normal yang
menjaga kelangsungan akumulasi kekuasaan itu. Di lain pihak,
berlangsung apa yang dikatakan Brian Massumi: kapitalisme justru
mendorong kendurnya ”normalitas” dengan menciptakan perbedaan yang tak
henti-hentinya, karena pasar semakin mudah jenuh. Di tengah kapitalisme
seperti itu, Partai dan Negara semakin jadi an evil necessity.





Tampaknya, dari waktu ke waktu, manusia butuh tegaknya Sang Penjaga
Makna. Tapi pada saat yang sama, Makna bisa menjepit, dan dorongan
untuk mengatakan bahwa ”Berontak itu sah” akan selalu terbit. Sejarah
berulang dalam pengertian itu: pengulangan yang sebenarnya menciptakan
yang baru kembali. Dulu budak-budak memberontak dengan pimpinan
Spartakus, seratus tahun sebelum Masehi. Berabad-abad kemudian para
”Spartakis” seperti Rosa Luxemburg membangkang kekuatan borjuasi abad
ke-20.





Ada semacam roh yang tampaknya tak akan berhenti di satu titik yang
aktual. Dalam bentuknya yang cacat sekalipun, berulang kali politik
membuka kemungkinan untuk sebuah saat ”ethis”—untuk sebuah salam.

No comments:

Post a Comment