Nice Article Sep 15, '10 8:29 PM
untuk semuanya
Artikel inspiratif ini ditulis oleh Rhenald Kasali
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya
itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,
bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai
belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan
itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai
buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai
tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes,
ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari
mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai
berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya
dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi
nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan
untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan
argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya
menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat
mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa
mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari
program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik
ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat
ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus
benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang
penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan
ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.
Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,
menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya
sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut
“menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita
tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya
sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para
dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya
pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya
tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya
temukan juga menguji dengan cara menekan.Ada semacam balas dendam dan
kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya.
Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis
karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan
karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali
ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita
yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga
teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun
Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah
memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima
nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan
“gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan
dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman:
Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah
menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan
inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak
ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat
mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari
orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat
tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada
orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan
menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi
ancaman yang menakut-nakuti.
*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI
Thursday, June 23, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment