From: "A.Syauqi Yahya"
’Roh’, ’Api’, Kata Bung Karno
Senin, 13 September 2010
Bung Karno mungkin kesepian. Di Ende, diasingkan oleh pemerintah kolonial
sejak Februari 1934, hanya satu-dua orang yang berani mengunjunginya. Tentu
saja tak ada rapat umum tempat ia bisa berpidato, dielu-elukan orang ramai,
didengarkan dengan kagum.
Seorang penulis biografi politiknya, Bernard Dahm, menyebutkan, dalam
kesendirian itu Bung Karno ”berpaling mencari lindungan ke dalam Islam”. Di
Ende, Bung Karno memang banyak bicara soal Islam, tapi saya tak yakin
tepatkah kata ”lindungan” (dalam versi Inggris ”refuge”) di situ.
Sejak Desember tahun itu, ia memulai serangkaian korespondensi dengan T.A.
Hassan, tokoh ”Persatuan Islam” yang beralamat di Bandung. Surat-surat itu,
kemudian terkenal sebagai ”Surat-Surat Islam dari Endeh”, terkumpul dalam
Dibawah Bendera Revolusi, sebuah buku monumental yang menghimpun hampir
semua risalah yang ditulis Bung Karno di masa pergerakan nasional. Mula-mula
ia meminta kepada ”saudara-saudara” di Bandung itu agar dikirimi
buku-buku. Kemudian
surat-surat itu jadi sederet diskusi tentang keadaan umat Islam di Indonesia
dan dunia.
Saya belum pernah membaca bagaimana T.A. Hassan membalas. Tapi dari ke-12
surat Bung Karno, tak tampak ada rasa gentar untuk mengecam keadaan Islam
waktu itu dengan kata-kata tajam. Artinya, ia tak mencari ”lindungan” dalam
Islam. Apalagi Islam yang ia saksikan adalah Islam yang dirundung takhayul
dan ”taqlidisme” dan dihambat ”hadramautisme yang jumud-maha-jumud”.
Islam yang demikian itu menampik perubahan. Pada 18 Agustus 1936, Bung Karno
menulis: ”Kita royal sekali dengan perkataan ’kafir’, kita gemar sekali
mencap segala barang yang baru dengan cap ’kafir’.” Maka yang disebut
”Islam” akhirnya hanya,
…dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang matanya angker, siapa
yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang
dan menggenggam tasbih yang selalu berputar— dia, dialah yang kita namakan
Islam.
”Astagfirullah!” seru Bung Karno.
Saya tak tahu apa yang akan terjadi terhadap Bung Karno seandainya ia hidup
di hari ini dengan kata-kata setajam itu. Tapi tampaknya masa lalu belum
beringas. Memang di tahun 1928-29, di Pekalongan, Jawa Tengah, ada orang
yang menganggap nyawa Bung Karno ”halal” untuk dihabisi, karena bicara
banyak tentang nasionalisme. Tapi kesan saya, tahun 1930-an adalah masa yang
punya ruang luas untuk berpolemik tentang Islam, tanpa hendak saling
membungkam. Tulisan tajam Bung Karno dimuat dalam majalah Pandji Islam, yang
terbit pada 1935; juga bantahan terhadapnya. Hasilnya: satu mutu perdebatan
yang sampai sekarang belum tertandingi.
Hassan bukan orang yang sepaham. Khususnya dalam hal kebangsaan. Buku Luthfi
Assyaukanie, Islam and the Secular State in Indonesia, menyebut Hassan
sebagai orang yang menganggap tindakan ”mengundang dan mengajak orang ke
dalam kebangsaan” satu hal yang ”dilarang oleh Islam”. Sebaliknya Bung Karno
menilai ”Persatuan Islam”, organisasi Hassan, cenderung kepada ”sektarisme”.
Tapi benturan pendapat kedua orang itu—apa pun jawaban Hassan dalam
korespondensi bersejarah itu—tak sampai merusak percakapan mereka.
Tentu harus dicatat: seandainya Bung Karno bukan seorang pemimpin pergerakan
nasional yang diikuti ribuan orang, mungkin ia tak akan didengar dengan rasa
segan. Ada satu hal lain: dalam kritiknya kepada keadaan dunia Islam ia
meletakkan diri sebagai orang-dalam: ia memakai kata ”kita”, bukan ”kalian”.
Tapi ada faktor yang lebih penting. Indonesia sedang berada dalam kejutan
perubahan-perubahan besar sejarah. Kolonialisme memperkenalkan dunia modern
yang tak terkalahkan. Tradisi dan adat mulai digugat, modernitas melecut.
Masyarakat lama retak. Berdirinya Sarekat Islam (tahun 1912) adalah jawaban
atas keretakan itu. Organisasi ini meninggalkan Islam yang dicemooh Bung
Karno sebagai celak-kurma-jubah-dupa semata. Lebih jelas lagi Muhammadiyah.
Ia lahir dengan tekad menyingkirkan Islam dari ”takhayul”, dengan keberanian
menghalalkan orang Islam mengenakan pakaian Barat dan niat mendirikan
sekolah dan rumah sakit seperti dilakukan orang Kristen.
Maka ketika Bung Karno menyebut adanya dynamical laws of progress, tak ada
yang membantahnya. Menjelang pertengahan abad ke-20 itu, orang umumnya yakin
kemajuan adalah ”hukum” sejarah, juga buat umat Islam. ”Panta rei, kata
Heraclitus—segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal
memerlukan pembaharuan,” tulis Bung Karno dalam ”Me-’muda’-kan Pengertian
Islam”.
Tapi jika kemajuan tak bisa dielakkan, tak berarti umat Islam tak jadi
subyek yang aktif menggerakkannya. Bung Karno, seorang Marxis yang paham
dialektika, akan menjawab bahwa sejarah, juga kemajuan, tak hanya terjadi
karena ia niscaya. Kemajuan terjadi karena ada kesadaran manusia untuk
bertindak.
Maka Bung Karno berkali-kali bicara perlunya umat Islam menghidupkan ”Roh
Islam yang berkobar-kobar”, ”api Islam yang menyala-nyala”, ”dari ujung
zaman yang satu ke ujung zaman yang lain”.
Dua buah metafor yang memukau—tapi juga dua kiasan yang keliru. Bung Karno
tampaknya percaya ada ”api” yang kekal, ada ”Roh Islam yang sejati”. Dengan
kata lain, keduanya tak tersentuh oleh sejarah yang bergerak, bebas dari
panta rei. Di sini Bung Karno melenceng dari pandangan Marxistisnya sendiri.
Dalam pandangan ini ”Roh Islam yang sejati” tak akan pernah ada. Yang ada:
tafsir orang, di suatu masa, di suatu tempat tentang apa yang ”sejati” dan
yang bukan.
Dan tentang ”Roh”….
Barangkali kita tak perlu istilah yang melambung. ”Roh” itu sebenarnya hal
yang biasa saja: hasrat manusia untuk tak tenggelam. ”Api” itu bukan datang
dari luar sejarah, ”Roh” itu bukan jatuh dari langit. Keduanya terbit dari
dalam pengalaman manusia di atas bumi di dalam kekurangannya.
Itu sebabnya hasrat itu senantiasa ada. Bung Karno, yang terkadang
seakan-akan menyamakan ”Api” dan ”Roh” itu dengan ”rasio”, mengatakan bahwa
ada sebuah masa—tak kurang dari 1.000 tahun—ketika sejarah Islam hanya
terdiri atas ”abu” dan ”debu”. Itu adalah masa gelap yang panjang ketika
”akal menjadi terkutuk” di ingatan umat.
Tapi benarkah semudah itu gelap menimpa?
Bung Karno termasuk orang yang berasumsi, kebekuan itu bermula dengan
berkuasanya pemikiran Abu’l Hasan al-Ash’ari. Sejak berkembangnya
Ash’arisme, dan itu berarti di abad ke-9, ”Islam bukan lagi satu agama yang
boleh difikirkan secara merdeka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan
tarikat.”
Di sini saya kira Bung Karno alpa. Ia tak menjelaskan bagaimana sebuah
”haluan” pemikiran dapat demikian berkuasa, hingga ”akal, fikiran, rede,
reason, dienyahkan”. Bung Karno—seorang Marxis yang menafsirkan
sejarah—seharusnya tak percaya bahwa Ash’arisme dengan begitu saja telah
menghentikan ”rasionalisme” berkembang di dunia Islam, hingga akal ”hampir
seribu tahun dikungkung”. Ia tak seharusnya percaya bahwa satu ”haluan”
dapat menciptakan sebuah kondisi yang bertahan lama.
Apalagi sejarah mencatat, keadaan ”terkungkung” itu tak berlangsung ”hampir
seribu tahun”. Juga tak pernah secara mutlak. Dunia Islam terus melanjutkan
vitalitasnya di abad ke-12 di Spanyol. Di abad ke-15 Turki Usmani meluaskan
kekuasaannya ke Balkan dan merebut Konstantinopel, bahkan mengepung Wina
untuk kedua kalinya di abad ke-17. Di India, raja-raja Moghul menghasilkan
sastra, teater, dan arsitektur yang dikagumi sampai sekarang, misalnya Taj
Mahal. Di Iran, filosof Mulla Sadra membangun Mazhab Ishfahan.
Walhasil, ada yang tak kunjung padam. Bukan ”Api” yang kekal, bukan ”Roh”
yang datang dari luar sejarah, melainkan praxis, atau laku, yang mencoba
mengatasi kemandekan, yang mencoba melepaskan diri dari kekurangan. Dalam
laku itulah kaidah yang mencengkeram ditabrak, dibengkokkan, atau dibuat
elastis. Kata Bung Karno:
Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama, tatkala manusia
tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan kuda, tak kenal lain senjata
melainkan pedang dan panah… kalau hukum-hukumnya tidak seperti ’karet’.
Zaman beredar, kebutuhan manusia berobah—panta rei!—maka pengertian manusia
tentang hukum-hukum itu adalah berobah pula.
Kata ”karet” kini punya konotasi yang kurang baik (Bung Karno
menerjemahkannya dari kata elastic), tapi agaknya gambaran yang hendak
dipaparkan adalah keniscayaan sikap yang luwes, sikap pragmatis: pada
mulanya bukan logos yang, seperti didalilkan rasionalisme, tak tersentuh
oleh pengalaman di dunia. Pada mulanya adalah laku, ”Im Anfang war die Tat,”
seperti ujar Faust dalam karya Goethe.
Dalam laku, kesadaran lahir. Melalui laku, pengetahuan tumbuh. Pengalamanlah
yang menentukan tafsir manusia tentang kaidah dan hukum yang datang dari
Kitab Suci.
Manusia keliru bila menolak peran pengalaman. Maka meskipun mengagumi
kebangkitan kerajaan Ibnu Saud dari padang pasir Arab, Bung Karno melihat
jalan buntu dalam semangat ”pemurnian” agama di zaman Raja itu.
Jasa Wahabisme yang terbesar, menurut Bung Karno, adalah ”kemurnian”-nya:
”Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya
seribu-satu takhayul dan seribu-satu bid’ah.” Tapi ketika ”kemurnian”
disamakan dengan ”keaslian”, pemurnian jadi sesuatu yang menampik sejarah.
Wahabisme mencurigai ”tiap-tiap kemodernan”; ia seakan-akan pantulan padang
pasir yang tak kenal tiupan hawa sejuk dari ”lapisan udara negeri lain”. Di
tahun 1920-an, telepon dan radio diharamkan masuk ke Mekah. Akibatnya,
pemurnian berakhir dengan kegagalan. Raja Ibnu Saud akhirnya bertindak
mengatasi para ulamanya. Negeri Wahabi itu sedikit berubah.
Sampai di mana batas perubahan itu? Tidakkah, seperti sering ditakutkan,
sikap pragmatis, yang begitu luwes terhadap perubahan dalam sejarah, akan
mengakhiri kepastian ajaran yang dianggap kekal dan mutlak?
Bung Karno belum menjawab itu. Tapi siapa yang akan bisa menjawab itu,
kecuali dengan kata-kata?
*Goenawan Mohamad*
Thursday, June 23, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment