Munculnya beberapa figur dari jalur perseorangan dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 memberi tantangan serius bagi partai politik untuk selektif mengusung calon.
Tampaknya ini pula pemicu partai politik mengusung tokoh-tokoh populis sebagai kandidat mereka, termasuk mengimpor tokoh dari daerah lain.
Majunya Faisal Basri dari jalur independen disambut positif pelbagai kalangan. Figur-figur yang ”nonpartisan” dan kritis ternyata menggairahkan para pemilih yang bosan dengan figur dari parpol yang rata-rata ”minus” kepemimpinan, visi, dan integritas.
Berbeda dengan Aceh, saat ini Aceh menghadapi situasi kurang kondusif bagi calon independen. Sebagian besar kepala daerah yang maju melalui calon independen adalah ”sempalan” dari aktivis Partai Aceh (PA) yang tidak dipinang oleh partai lokal terbesar hasil pemilu (legislatif) 2009. Maka, kader PA yang maju melalui jalur independen dianggap kader oportunis yang mengejar kekuasaan semata.
Titik lemah
Terlepas dari kasus Aceh, sebenarnya persepsi publik terhadap kinerja partai politik telah sedemikian buruk, dari Senayan hingga DPRD tingkat I dan II.
Dalam penelitian tentang demokrasi lokal di Aceh Besar, saya menanyakan kepada seorang anggota Dewan cara mereka memandang orientasi dan fungsi lembaga legislatif. Secara normatif ia menjawab bahwa fungsi ideal lembaga legislatif adalah menjalankan fungsi legislasi, yaitu pengawasan dan anggaran.
Friday, March 30, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment