Thursday, June 19, 2025

Betawi di Daerah Cikoko, Jakarta Selatan - Menjaga Warisan di Tengah Modernisasi Usman Arifin M, SH, MH Alumni Magister Ilmu Hukum Jurusan Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Cikoko, sebuah kelurahan di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, merupakan wilayah urban yang terus berkembang pesat. Di tengah hiruk-pikuk pembangunan infrastruktur dan kawasan bisnis yang menjamur, tersimpan jejak budaya yang kuat: keberadaan masyarakat Betawi. Dalam keseharian yang sibuk masuk ke gang nya terdapat pemukiman rapat penduduk yang sebagian besar dihuni oleh masyarat betawi yang masih memelihara tradisinya. Patung pancoran yang menjulang dan begitu terkenal diseluruh Indonesia, wilayah cikoko muncul seolah-olah menjadi saksi bisu dalam diamnya mengatakan jika pancoran termasuk dalam wilayahnya ataupun cikoko merupakan bagian dari daerah pancoran Jakarta selatan itu sendiri. Jauh sebelum jalan gatot subroto dibangun tebet dan pancoran menyatu tanpa ada pemisahan, jalur gatot subroto dibangun dan memisahkan daerah yang tadinya bertentangga tersebut. Sejarah dan Identitas Betawi di Cikoko Kelurahan Cikoko berada di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, terbentuk sejak 1978 menurut PP RI No. 25/1978 sesuai dari kutipan dari media social en.wikipedia.org+5id.scribd.com+5selatan.jakarta.go.id+5. Pancoran sendiri adalah bekas bagian dari Mampang Prapatan yang dimekarkan tahun 1990. Suku Betawi tumbuh dari asimilasi etnis Melayu, Sunda, Jawa, Arab, Tionghoa, India, Bugis, Bali, hingga Eropa sejak masa Batavia abad ke-17 seperti yang dikutip dari id.scribd.com+4infodkj.com+4hijkt.com+4. Akulturasi ini terekam dalam berbagai aspek budaya, salah satunya kesenian Cokek, perpaduan Betawi–Tionghoa sejak akhir abad ke-19 Secara historis, Cikoko merupakan salah satu kawasan yang menjadi bagian dari wilayah pemukiman masyarakat Betawi asli. Nama "Cikoko" sendiri diyakini berasal dari nama tanaman atau istilah lokal Betawi tempo dulu. Warga Betawi di sini telah bermukim sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum Jakarta berkembang menjadi kota metropolitan seperti sekarang. Masyarakat Betawi di Cikoko mempertahankan identitas mereka melalui berbagai aspek budaya, mulai dari bahasa, kuliner, pakaian tradisional, hingga kesenian seperti lenong dan tanjidor. Meski jumlah penduduk Betawi di Cikoko kini mulai berkurang akibat urbanisasi dan pergeseran demografis, pengaruh budaya mereka masih terasa kuat. Budaya Betawi di Tengah Perubahan Beberapa tradisi Betawi yang masih dilestarikan di Cikoko antara lain: • Pernikahan adat Betawi, yang masih digelar lengkap dengan iring-iringan ondel-ondel, palang pintu, dan pakaian adat seperti baju demang dan kebaya encim. • Kuliner khas Betawi seperti soto Betawi, kerak telor, dan nasi uduk yang masih banyak dijajakan oleh pedagang lokal, terutama saat bulan Ramadan atau pada acara-acara komunitas. • Perayaan Hari Raya dan tradisi Maulid Nabi, yang dirayakan secara meriah dengan pengajian, silaturahmi warga, dan sajian makanan khas. Tantangan dan Upaya Pelestarian Masyarakat Betawi di Cikoko kini menghadapi tantangan besar: tekanan dari pembangunan dan pergeseran sosial. Banyak lahan tradisional berubah menjadi gedung-gedung kantor dan apartemen. Anak-anak muda Betawi mulai meninggalkan budaya leluhur karena pengaruh gaya hidup modern. Selain factor tadi beberapa factor menjadi alasan kenapa budaya betawi makin tergerus, salah satunya ketidakadanya lapangan yang luas ataupun tergerusnya taman-taman yang dapat digunakan oleh masyarat untuk menjalankan tradisinya, misalkan untuk melaksanakan budaya topeng atau tanjidor dibutuhkan panggung besar dan banyak warga akan berkumpul dengan kondisi ruang public yang makin sempit maka pelaksanaan hajatan yang mengadakan topeng atau tanjidor tidak mungkin dijalankan, layar tancep yang kerap kali ada pada saat hajatan akan sulit diadakan dengan kondisi area public yang lapang nya hilang dan tidak ada lagi. Kuliner Betawi seperti soto Betawi, nasi uduk, dan kerak telor tetap digemari dan dijual di pasar atau usaha rumahan, terutama acara komunitas ,Contoh ruang publik modern: Taman Pensil Warna di Jalan Cikoko Timur (maret 2024)—hasil revitalisasi untuk kebutuhan pejalan kaki. Meski demikian, ada upaya nyata dari warga dan tokoh masyarakat setempat untuk melestarikan budaya Betawi. Beberapa RW dan komunitas lokal aktif mengadakan acara kebudayaan tahunan, mengajarkan seni Betawi kepada generasi muda, serta membentuk sanggar seni dan komunitas pengajian yang menggabungkan budaya dan keislaman khas Betawi. Dalam hal ini biasanya masjid ataupun lapangan parker masjid menjadi alternative bagi diadakannya acara ini. Penutup Cikoko, dengan segala geliat modernitasnya, masih menyimpan denyut nadi budaya Betawi yang kental. Keberadaan masyarakat Betawi di daerah ini adalah pengingat bahwa Jakarta dibangun di atas keberagaman, dan salah satu fondasi utamanya adalah kebudayaan Betawi. Menjaga warisan Betawi di Cikoko bukan hanya tugas warga lokal, tetapi juga tanggung jawab kolektif untuk menjaga identitas budaya ibu kota.
Daftar Pustaka 1. KOMPAS: Tari Cokek dan kemunculannya dalam akulturasi Betawi–Tionghoa senibudayabetawi.com+2kompas.com+2kumparan.com+2 2. Wikipedia: On¬del-ondel, Setu Babakan, dan Balaksuji en.wikipedia.org 3. Artikel budaya lokal di Cikoko dan Jakarta Selatan warisanbudayaindonesia.info+7warisanbudayaindonesia.info+7en.wikipedia.org+7

Wednesday, June 18, 2025

Potensi Dibukanya Blok Masela dan Lapangan Kerja yang Tersedia Dilihat dari Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Penulis : Usman Arifin M, SH, MH Alumni Magister Ilmu Hukum jurusan Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak Blok Masela merupakan proyek strategis nasional di sektor migas yang memiliki potensi besar dalam menyerap tenaga kerja di wilayah timur Indonesia, wilayah kerja ini rencananya akan beroperasi di tahun 2029. Tulisan ini bertujuan menganalisis potensi lapangan kerja yang tersedia dari pengembangan Blok Masela dengan pendekatan hukum ketenagakerjaan Indonesia. Studi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis terhadap regulasi ketenagakerjaan dan perundang-undangan migas. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembangan Blok Masela berpotensi menciptakan ribuan lapangan kerja bagi tenaga kerja terampil maupun non-terampil. Namun demikian, aspek hukum ketenagakerjaan seperti jaminan perlindungan kerja, pelatihan tenaga kerja lokal, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hubungan industrial perlu diawasi secara ketat guna menjamin keadilan dan keberlanjutan. Kata kunci: Blok Masela, ketenagakerjaan, hukum tenaga kerja, migas, lapangan kerja 1. Pendahuluan Pembangunan sektor energi nasional merupakan prioritas strategis dalam mendukung ketahanan energi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu proyek unggulan adalah pengembangan Blok Masela, yang terletak di Laut Arafura, Provinsi Maluku. Selain potensi ekonominya, proyek ini diharapkan menjadi lokomotif penciptaan lapangan kerja di wilayah Indonesia Timur, dilihat dari besarnya cadangan minya dan gas bumi yang terkandung didalamnya maka potensi penyerapan tenaga kerja akan dibutuhkan banyak pekerja disana. Namun, penciptaan lapangan kerja dari proyek ini tidak dapat dipisahkan dari kerangka hukum ketenagakerjaan yang mengatur hubungan industrial, hak dan kewajiban pekerja, serta peran negara dalam menjamin keadilan sosial. Oleh karena itu, artikel ini mengkaji bagaimana hukum ketenagakerjaan Indonesia dapat mengakomodasi peluang yang muncul dari proyek Blok Masela beserta tantangannya bagaimana hukum ketenagakerjaan diterapkan disana disituasi yang belum bisa diprediksi dan ditengah ketidakberdayaan hukum dalam hegemoni perusahaan migas dan menurunnya produktivitas explorasi. 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diperbarui melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya. Aspek penting dalam hukum ini mencakup perlindungan kerja, sistem pengupahan, hubungan kerja, dan penyelesaian perselisihan industrial. 2.2 Proyek Strategis Nasional dan Industri Migas Proyek Blok Masela ditetapkan sebagai proyek strategis nasional melalui Peraturan Presiden dan memiliki pengaruh besar terhadap industri migas nasional. Pengembangan sektor ini mengacu pula pada UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta ketentuan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang mendorong penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) ataupun pekerja lokal. 3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dengan analisis kualitatif. Data diperoleh melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan, migas, serta dokumen perencanaan pembangunan Blok Masela. Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi korelasi antara potensi lapangan kerja dan perlindungan hukum ketenagakerjaan dalam penyajiannya menganalisa beberapa sumber hukum dan artikel sejenis. 4. Pembahasan 4.1 Potensi Lapangan Kerja dari Blok Masela Pembangunan Blok Masela diperkirakan menciptakan sekitar 10.000 lapangan kerja dalam berbagai fase (konstruksi, operasional, dan logistik). Kategori tenaga kerja yang dibutuhkan meliputi: 1. Tenaga kerja teknis (insinyur, operator kilang LNG) 2. Tenaga kerja non-teknis (pekerja logistik, katering, kebersihan) 3. Tenaga kerja lokal (masyarakat Maluku dan Papua) 4.2 Analisis Hukum Ketenagakerjaan Pemanfaatan tenaga kerja dalam proyek ini harus tunduk pada: 1. Perlindungan hubungan kerja: Bentuk hubungan kerja (PKWT/PKWTT), hak atas cuti, jaminan sosial, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) harus mengikuti ketentuan perundangan. 2. Upah dan Kesejahteraan: Pemberlakuan UMP/UMK setempat serta tunjangan kerja sesuai Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. 3. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3): Proyek migas memiliki risiko tinggi sehingga implementasi K3 wajib sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1970. 4. Keterlibatan Tenaga Kerja Lokal: Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 15 Tahun 2018, perusahaan migas wajib mengutamakan tenaga kerja dalam negeri dan memberikan pelatihan untuk meningkatkan daya saing. 4.3 Tantangan Implementasi 1. Rendahnya keterampilan tenaga kerja lokal menimbulkan ketergantungan pada tenaga kerja luar daerah. 2. Risiko praktik kerja kontrak dan outsourcing yang tidak sesuai hukum. 3. Minimnya pengawasan terhadap pemenuhan standar ketenagakerjaan. 5. Penutup Pengembangan Blok Masela menyimpan potensi ekonomi dan sosial besar, khususnya dalam membuka lapangan kerja di wilayah Indonesia Timur. Namun, manfaat tersebut hanya dapat tercapai apabila implementasi proyek dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan. Peran aktif pemerintah dalam pengawasan dan pemberdayaan tenaga kerja lokal menjadi kunci keberhasilan proyek ini dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan. Daftar Pustaka 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja 3. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 5. Peraturan Menteri ESDM No. 15 Tahun 2018 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Pemberdayaan Tenaga Kerja Dalam Negeri Sutedi, Adrian. (2015). Hukum Ketenagakerjaan. Sinar Grafika. 6. Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM. (2023). Laporan Proyek Blok Masela

The Role of International Law in Addressing the Ongoing Iran-Israel Conflict and Indonesia's Position

The Role of International Law in Addressing the Ongoing Iran-Israel Conflict and Indonesia's Position In recent days, we have been shocked by a series of precision missile attacks targeting Iran's nuclear development centers. These attacks, carried out by Israel without prior warning, occurred in the midst of negotiations on a nuclear non-proliferation agreement between Iran and the United States. Many parties have condemned Israel's reckless actions and suspect that Iran will inevitably retaliate. Indeed, within days, Iran responded by launching several missiles, which appear to be older-generation long-range projectiles. In this case, Israel’s missile defense systems proved ineffective against Iran’s long-range capabilities. Traveling over 1,000 kilometers, the Iranian missiles penetrated without hindrance, devastating Israel’s cities and skyscrapers. This raised serious public concern and speculation—will Israel retaliate, and if so, how will Iran respond? The range of possibilities is vast, and thus, as a sovereign nation, Indonesia must also respond appropriately. The following are several approaches Indonesia may take: 1. Prohibition on the Use of Force & the Principle of Sovereignty International law, particularly the United Nations Charter (Article 2(4)), prohibits the use of force against the territorial integrity and political independence of any state. Israel's strike on Iranian military and nuclear facilities is highly questionable in terms of legality, as it was not based on an actual armed attack or imminent threat. Therefore, it may constitute a violation of international law. 2. Limited Right to Self-Defense Article 51 of the UN Charter recognizes the right to self-defense only in response to an actual armed attack. Israel’s claim of a preemptive strike in anticipation of Iran's nuclear program is not considered to meet this threshold. Legal experts such as Marko Milanović and institutions like the International Commission of Jurists categorize such actions as a “crime of aggression.” 3. International Humanitarian Law & Civilian Protection Targeting civilian infrastructure—including nuclear facilities, consulates, hospitals, and residential areas—is deeply concerning and may qualify as a breach of the Geneva Conventions, particularly regarding the principles of military proportionality and distinction. 4. The Role of the UN Security Council and IAEA The International Atomic Energy Agency (IAEA) has condemned the attacks on Iran’s nuclear facilities, warning of radiological risks and violations of international law. The UN Security Council holds the authority to respond via resolutions; however, concrete action and coordinated global response remain lacking. 5. Global Diplomatic Response Numerous countries—including Russia, China, the EU, Australia, Malaysia, and Indonesia—have opposed preemptive military actions and called for diplomatic solutions and the upholding of international legal norms.
Conclusion Key Issue Role of International Law Use of force without actual attack Prohibited under the UN Charter; may amount to a crime of aggression. Preemptive self-defense Not recognized unless backed by clear, extreme, and imminent threats. Civilian protection Governed by the Geneva Conventions; requires proportionality and caution. Nuclear oversight IAEA plays a monitoring role and has condemned attacks on nuclear sites. Multilateral diplomacy Strongly emphasized by the global community; UNSC yet to take firm action. In short, international law provides a clear framework to limit the use of force and ensure accountability for violations. However, implementation continues to be hindered by geopolitical interests, power imbalances, and the ineffective role of the Security Council. What Role Has Indonesia Played in This Conflict? Indonesia has taken on an active diplomatic role in response to the Iran-Israel conflict, emphasizing de-escalation, legal norms, and humanitarian support. Based on several reports and official statements, Indonesia’s role can be observed through the following actions: 1. Strong Condemnation & Advocacy for Restraint The Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia has consistently condemned Israel’s attacks on Iran, citing them as violations of international law and Iranian sovereignty (as referenced from sources such as en.wikipedia.org). Indonesia continues to urge all parties to exercise restraint and avoid further escalation. 2. Proactive Diplomacy to Reduce Tensions Foreign Minister Retno Marsudi and President Jokowi (as well as President Prabowo through his appointed officials) have reached out to key regional and global players—including Iran, the U.S., Saudi Arabia, Jordan, and the European Union—encouraging de-escalation and dialogue. The Indonesian government has also intensified monitoring efforts via its embassies and call centers for Indonesian nationals in affected areas. 3. Upholding International Law & Two-State Solution Indonesia emphasizes the importance of upholding the UN Charter and principles of sovereignty. It also supports the two-state solution (Israel and Palestine) as a long-term path to regional peace and stability. 4. Participation in International Forums Indonesia has urged the UN Security Council to take decisive action to curb the conflict and halt unilateral military escalation. Moreover, Indonesia has continued to express its legal stance in international forums regarding Israel’s violations of international law. 5. Addressing Global Impacts The government is preparing mitigation measures against potential global economic impacts, such as fluctuations in oil prices and rising logistics costs. Furthermore, Indonesia is committed to protecting its citizens through active monitoring and evacuation preparedness where necessary. Summary of Indonesia's Role in the Iran–Israel Conflict Area of Action Explanation Active diplomacy Direct engagement with international leaders; urging de-escalation. Legal advocacy Firm rejection of aggression; calls for UN Security Council intervention. Support for two-state plan Advocates a free Palestine as part of a long-term peace solution. Citizen protection Ensuring the safety of Indonesians abroad; preparing economic safeguards. Overall, Indonesia serves as a diplomatic mediator, advocate of international law, and protector of its nationals, while emphasizing the importance of a just and peaceful resolution through global dialogue and legal frameworks. Hopefully, this article proves useful and can serve as a reference for future writings on similar topics. Menara Kuningan, 19 Juni 2025 Usman Arifin M, SH, MH

Peran Indonesia berdasarkan Hukum Internasional dalam Menangani Konflik Iran dan Israel Saat Ini

beberapa hari ini kita dikejutkan dengan adanya serangan rudal presisi yang ditujukan ke pusat pengembangan nuklir Iran, Israel melakukan hal tersebut tanpa peringatan dan dilakukan ditengah perundingan mengenai kesepakatan anti nuklir antara Iran dan USA, sebagian pihak mengecam tindakan sembrono Israel dan menduga bahwa Iran pasti membalasnya. tidak sampai hitungan hari, Iran membalas dengan meluncurkan beberapa rudal yang tampaknya generasi lamanya dan dalam hal ini persenjatan penangkis Israel tidak berdaya menghadapi rudal jarak jauh iran, dengan jarak lebih dari 1000 KM rudal iran seolah tanpa hambatan membuat Neagara Israel dengan segala gedung pencakar langitnya luluh lantak dan publik menduga-duga akankah israel membalas dan jika iya bagaimana sikap Iran, begitu banyak kemungkinan yang ada sehingga kita sebagai negara harus juga merespon keadaan itu dengan beberapa langkah yang dapat ditempuh Indonesia, diantaranya : 1. Larangan Penggunaan Kekerasan & Prinsip Kedaulatan Hukum internasional, terutama Piagam PBB, melarang penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial dan kedaulatan negara lain (Pasal 2(4)). Serangan Israel ke fasilitas militer dan nuklir Iran dipertanyakan legalitasnya karena tidak berdasarkan serangan bersenjata yang nyata atau imminent threat, sehingga bisa dianggap pelanggaran hukum internasional 2. Hak Pembelaan Diri Terbatas Pasal 51 Piagam PBB mengakui hak mengklaim pembelaan diri atas serangan bersenjata yang nyata. Namun, klaim Israel atas self‑defense preemptive terhadap dugaan program nuklir Iran tidak dianggap memenuhi syarat ini, menurut ahli hukum seperti Marko Milanović dan International Commission of Jurists yang menyebutnya “crime of aggression” 3. Hukum Humaniter Internasional & Perlindungan Warga Sipil Serangan yang menargetkan infrastruktur sipil—termasuk fasilitas nuklir, konsulat, rumah sakit, dan pemukiman—mengkhawatirkan dan bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran Konvensi Jenewa serta prinsip proporsionalitas dan diskresi militer . 4. Peran Dewan Keamanan dan IAEA IAEA telah mengecam serangan ke fasilitas nuklir Iran, menyoroti risiko radiologis dan pelanggaran hukum internasional. Dalam hal ini peranan Dewan Keamanan PBB memiliki kewenangan merespon melalui resolusi, tetapi belum ada tindakan konkret dan koordinasi global masih lemah . 5. Reaksi dan Penyelesaian Diplomatik Global Berbagai negara—termasuk Rusia, China, EU, Australia, Malaysia, dan Indonesia—menentang militer preemptive dan menyerukan diplomasi serta penegakan hukum internasional. Kesimpulan Isu Utama Peran Hukum Internasional Penggunaan kekerasan tanpa serangan nyata Dilarang oleh Piagam PBB, potensi kejahatan agresi. Self-defense preemptive Tidak diakui kecuali bukti serangan ekstrem langsung. Perlindungan warga sipil Konvensi Jenewa menuntut diskresi dan proporsionalitas; banyak dikhawatirkan melanggar. Pengawasan nuklir IAEA memainkan peran pemantauan dan mengutuk serangan. Diplomasi multilateralDitekankan oleh komunitas internasional; Dewan Keamanan belum ambil tindakan keras. Secara ringkas, hukum internasional memberikan kerangka hukum yang jelas untuk membatasi penggunaan kekerasan dan memastikan akuntabilitas atas pelanggaran, tetapi implementasi masih terganjal oleh kurangnya keseimbangan kekuatan, kepentingan geopolitik, dan lemahnya intervensi Dewan Keamanan. apa peranan indonesia terhadap permasalahan ini "Indonesia has taken on an active diplomatic role in response to the Iran‑Israel conflict, emphasizing de‑escalation, legal norms, and humanitarian support" jika dilihat dari beberapa berita yang ada, apa yang dilakukan oleh Indonesia bisa dilihat dari beberapa langkah berikut: 1. Mengecam Keras dan Dorong Penahanan Diri Kementerian Luar Negeri RI secara konsisten mengecam serangan Israel terhadap Iran dengan menyebutnya sebagai pelanggaran hukum internasional dan pelanggaran kedaulatan negara seperti disadur dari berita di en.wikipedia.org Indonesia secara konsisten mengimbau semua pihak agar menahan diri dan mencegah eskalasi lebih lanjut . 2. Diplomasi Proaktif untuk Meredam Ketegangan Menlu Retno Marsudi dan Presiden Jokowi telah menghubungi negara-negara penting di kawasan (seperti Iran, AS, Arab Saudi, Yordania, dan Uni Eropa) untuk mendorong pihak terkait menahan diri dan menghindari konflik lebih luas presiden Prabowo melalui menteri luar negerinya terlihat memerintahkan dialog intensif dan monitoring situasi melalui kedutaan RI dan call center untuk WNI di wilayah yang terdampak . 3. Penegakan Hukum Internasional & Solusi Dua Negara RI menekankan pentingnya menghormati Piagam PBB dan prinsip kedaulatan, serta mendukung penyelesaian melalui dua negara (Israel–Palestina) sebagai kunci stabilitas jangka panjang. 4. Keterlibatan di Forum Internasional Indonesia menyerukan agar Dewan Keamanan PBB bertindak tegas untuk meredam konflik dan menghentikan aktivitas militer yang memperluas eskalasi seperti yang di lihat dari berita cnnindonesia.com. Selain itu, posisi hukum RI juga disuarakan dalam forum internasional terkait pelanggaran hukum internasional oleh Israel. 5. Respons terhadap Dampak Global Pemerintah juga menyiapkan upaya mitigasi terhadap potensi dampak ekonomi global, seperti fluktuasi harga minyak dan biaya logistik lebih jauh lagi kewajiban suatu negara terhadap konflik ini dapat berupa Melindungi Warga Negara Indonesia lewat monitoring intensif dan persiapan evakuasi jika diperlukan . dapat disimpulkan beberapa Peran Indonesia yang dilakukan dan merespon kejadian konflik iran dan israel adalah pertama masuk dalam Area Tindakan Penjelasan Diplomasi aktif Menelpon pihak internasional, intensif komunikasi, desakan de‑escalation keduanya menyarankan Penegakan hukum Tegas menolak agresi, mendorong UNSC bertindak, ketiganya Solusi dua negara Mendukung Palestina merdeka sebagai bagian dari strategi jangka panjang dan terakhir Proteksi WNI & maksimalkan dampak ekonomi Evakuasi WNI, antisipasi harga minyak/logistik Secara keseluruhan, Indonesia berperan sebagai penengahi diplomatik, advokat hukum internasional, dan protektor warganya, sambil menekankan pentingnya penyelesaian damai yang adil melalui forum global dan prinsip-prinsip hukum internasional. Jika kamu ingin lebih spesifik tentang peran Indonesia di PBB atau Rencana Mediasi lainnya. semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat digunakan refensi bagi penulisan lain serupa kedepannya. Jakarta 19 Juni 2025 Usman Arifin M, SH. MH.

PERAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN DINAS TENAGA KERJA DALAM TRANSMISI HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA ALIH KELOLA BLOK ROKAN DARI CHEVRON PACIFIC INDONESIA KE PERTAMINA HULU ROKAN

PERAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN DINAS TENAGA KERJA DALAM TRANSMISI HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA ALIH KELOLA BLOK ROKAN DARI CHEVRON PACIFIC INDONESIA KE PERTAMINA HULU ROKAN Usman Arifin M, SH, MH Fakultas Hukum, Universitas Indonesia Email: usman.arifin@ui.ac.id Abstrak Alih kelola Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) menimbulkan dinamika hubungan industrial, khususnya terkait pemutusan hubungan kerja (PHK), kompensasi, dan status kerja pekerja kontrak. Penelitian ini menganalisis peran Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dalam menyelesaikan dan mengawasi sengketa ketenagakerjaan selama transisi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris, dengan data diperoleh dari putusan, PKB CPI, dan berita lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran PHI sangat krusial dalam menegakkan keabsahan PHK, sementara Disnaker berperan penting dalam pengawasan awal dan mediasi. Namun demikian, dalam praktiknya terdapat pelanggaran prosedur PHK oleh CPI dan minimnya perlindungan terhadap pekerja PKWT di bawah subkontraktor PHR. Kata Kunci: Hubungan industrial, PHI, Disnaker, Blok Rokan, PHK, hukum ketenagakerjaan 1. Pendahuluan Salah satu wilayah kerja migas yang besar di Indonesia ada di daerah Rokan Sumatera tepatnya berada daerah Riau Pekanbaru, setelah tidak tercapai kesepakatan antara pemerintah dengan Chevron Pacific Indonesia (CPI) Perusahaan asing yang telah mengelola blok ini hampir 50 tahun, Pemerintah melihat pentingnya pengelolaan ini dialihkan ke Perusahaan Migas milik Negara atau Pertamina. Seperti blok Mahakam yang diambil alih kelola oleh PHM dan hasilnya baik maka Pemerintah merasa hak pengelolaan ini bisa juga dialihkan hak nya kepada Perusahaan milik Negara atau Pertamina. Setelah menjalani proses yang begitu panjang dan dokumen kelengkapan yang banyak maka terjadilah pemindahan hak pengelolaan Wilayah Rokan tersebut. Alih Kelola & Dampak terhadap Pekerja Pengelolaan Blok Rokan beralih dari CPI ke anak usaha Pertamina, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), pada 9 Agustus 2021 Dari sisi Hukum Ketanagakerjaan hubungan kerja yang terjadi pada sekitar 2.700–2.757 pekerja CPI, sebagian besar (sekitar 98–100%) dimana sepakat dan menyetujui untuk digabung ke PHR ataupun berpindah hubungan kerjanya, sementara sebagian kecil memilih mengundurkan diri dan menerima kompensasi/PHK yang dilakukan secara marathon, untuk memberikan hak-hak dari pekerja yang mengundurkan diri. Berdasarkan hal tersebut di atas maka beberapa permasalahan yang ada dapat dilihat dari sisi akademis terutama huoungannya dengan hokum ketenagakerjaan yang terjadi dari proses peralihan ini, diantaranya : 1. Apakah secara hukumnya diperbplehkan untuk Pemerintah mengambil alih hak pengelolaan tersebut ? 2. Bagaimana hak pekerja dan dampaknya bagi hubungan kerja pekerja dalam CPI yang berpindah ke PHR ? 3. Apa dampak yang terjadi dalam proses pemindahan pengelolaan wilayah kerja ini terutama jika dilihat dari perspektif hukum ketenagakerjaan ? 2. Tinjauan Pustaka Hubungan industrial merupakan konsep penting dalam dunia ketenagakerjaan yang menggambarkan relasi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Dalam praktiknya, hubungan ini tercermin dalam perjanjian kerja yang menjadi dasar legal antara pemberi kerja dan pekerja. Perjanjian kerja tidak hanya berisi ketentuan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, tetapi juga merupakan cerminan dari dinamika hubungan industrial yang dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan industrial adalah sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah. Hubungan ini dibangun atas asas kekeluargaan, kemitraan, dan keseimbangan kepentingan. Dalam ilmu hubungan industrial, terdapat beberapa teori utama yang mendasari interaksi antara pekerja dan pengusaha, yang memiliki implikasi langsung terhadap penyusunan perjanjian kerja, yaitu: 1. Teori Unitaris (Unitarist Theory) Teori ini melihat perusahaan sebagai satu kesatuan harmonis, di mana pekerja dan pengusaha memiliki tujuan yang sama. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang abnormal dan dapat diselesaikan melalui komunikasi dan manajemen yang baik. Dalam konteks perjanjian kerja, teori ini mendorong hubungan yang kooperatif dan pengaturan yang bersifat internal. 2. Teori Pluralis (Pluralist Theory) Dalam pandangan pluralis, hubungan industrial terdiri dari berbagai kepentingan yang berbeda antara pekerja dan pengusaha. Oleh karena itu, konflik dianggap sebagai hal yang wajar dan harus diatur melalui mekanisme formal seperti perjanjian kerja, serikat pekerja, dan perundingan bersama. Perjanjian kerja dalam pendekatan ini bersifat negosiatif dan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan kepentingan. 3. Teori Marxis (Marxist Theory) Teori ini melihat hubungan industrial sebagai bentuk pertentangan kelas antara pemilik modal (pengusaha) dan pekerja. Perjanjian kerja dianggap sebagai instrumen untuk mempertahankan dominasi kapital terhadap buruh. Teori ini menekankan pentingnya transformasi struktural agar hubungan kerja menjadi lebih adil. Perjanjian kerja adalah kontrak yang menjadi dasar sahnya hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. Dalam perspektif hubungan industrial, perjanjian ini merupakan hasil dari interaksi sosial dan ekonomi antara dua pihak yang memiliki kedudukan dan kepentingan berbeda. Perjanjian kerja dapat berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT): Berlaku untuk waktu atau pekerjaan tertentu dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT): Berlaku tanpa batas waktu tertentu. Di dalamnya, aspek hubungan industrial tercermin melalui: • Perundingan dan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. • Partisipasi serikat pekerja dalam merumuskan perjanjian kerja bersama (PKB). • Kehadiran pemerintah sebagai regulator dan mediator apabila terjadi perselisihan. Pentingnya Teori Hubungan Industrial dalam Praktik Perjanjian Kerja dan dalam pembahasan mengenai topik pemindahan hak pengelolaan wilayah kerja Rokan dan dampaknya terhadap perjanjian kerja didalamnya tidak bisa dilepaskan dari proses penyelsaian perselisihan hubungan industrial. 1. Membangun Perjanjian yang Adil dan Berimbang Pemahaman teori hubungan industrial membantu perancang perjanjian kerja untuk mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak secara adil. 2. Mencegah dan Mengelola Konflik Dengan mengenali potensi konflik sebagai bagian dari dinamika hubungan kerja, perusahaan dapat membangun sistem penyelesaian sengketa yang efektif melalui negosiasi dan mediasi. 3. Mendorong Dialog Sosial dan Kemitraan Teori pluralis dan unitaris, misalnya, mendorong perusahaan untuk membangun komunikasi yang terbuka dan hubungan kerja yang bersifat kemitraan. 3. Metode Penelitian • Jenis penelitian jurnal ini bersifat Yuridis normatif dan dengan menyajikan data-data empiris yang telah diujikan dengan menjelaskan duduk perkaranya. • Sumber data menggunakan data primer (PKB, UU terutama UU migas dan UU Ketenagakerjaan, Putusan PHI), serta menampilakn data bersifat sekunder (literatur, berita yang didapat baik secara online ataupun langsung dari perpusatakaan) • Dalam penulisan ini menggunakan teknik analisis berdasarkan narasi di lapangan dan menjabarkan peermasalahan secara deskriptif analitis 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Proses Alih Kelola Blok Rokan • Ditetapkan sistem “mirroring” kontrak, di mana PHR menawarkan perjanjian kerja yang meniru kondisi CPI . • CPI bertanggung jawab menyelesaikan hak-hak pekerja dalam PKB mereka (termasuk kompensasi, pesangon, tabungan, dll.) sebelum penutupan kontrak seperti yang dikutip dari id.scribd.com+14bisnis.tempo.co+14kumparan.com+14. 4.2. Pelanggaran Prosedur Hukum Ketenagakerjaan oleh CPI 4.2.1. Sengketa Serikat & Dugaan Pelanggaran PKB oleh CPI • Tercatat setidaknya empat pekerja yang menolak PHK oleh CPI menggugat, karena tidak melalui mekanisme PHI dan mereka menganggap PHK dilakukan secara sepihak—dituding melanggar PKB Pasal 125 dan 141. • Tiga serikat pekerja (SPNC, Sarbumusi, SPCI) mengajukan protes tertulis terhadap CPI, menyoroti pelanggaran PKB terkait penerimaan fasilitas, gaji, dan akses fasilitas selama masa transisi. 4.2.2. Tantangan di Era PHR: Pekerja Kontrak & Persoalan Ketidakpastian • Setelah alih kelola, pekerja PKWT (kontrak jangka tetap) banyak mengeluhkan potensi PHK karena durasi kontrak pendek, upah stagnan (Rp 3,2–4,2 juta/bulan), serta beban psikologis tinggi. • PHR menyatakan bahwa urusan PKWT berada sepenuhnya di bawah tanggung jawab mitra/subkontraktor, bukan Pertamina langsung. 4.3. Peran dan Tanggung Jawab Disnaker Perspektif Hukum Ketenagakerjaan 4.3.1. Keterlibatan PHI & Mekanisme PHK • PHK harus melalui proses peradilan lewat Pengadilan Hubungan Industrial—tidak boleh sepihak • Spesifikasi PKB CPI mengatur bahwa PHK harus dilakukan berdasarkan putusan PHI (Pasal 125 & 141 PKB CPI) . PHI adalah lembaga peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jenis Perselisihan yang Relevan: Dalam kasus alih kelola Blok Rokan, PHI memiliki wewenang atas: • Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) • Perselisihan Hak, seperti kompensasi, pesangon, tabungan karyawan • Perselisihan Kepentingan, termasuk penyusunan PKB baru • Perselisihan antar serikat pekerja Peran PHI di Blok Rokan: • Menjadi jalur hukum resmi jika PHK dinilai tidak sah → Beberapa pekerja CPI menggugat PHK ke PHI karena dinilai melanggar Pasal 125 & 141 PKB, yang mengatur bahwa PHK harus melalui PHI. • Mengeluarkan putusan yang bersifat mengikat → Dalam kasus CPI vs pekerja, PHI atau MA bisa memutuskan hak atas pesangon, penyelesaian tabungan, atau pengembalian ke pekerjaan jika terbukti PHK tidak sah. 4.3.2. Peranan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Disnaker bertanggung jawab atas pengawasan dan pembinaan hubungan kerja, serta menjadi jalur mediasi non-litigasi sebelum masuk ke PHI. Tugas dan Kewenangan: • Menerima dan memfasilitasi mediasi atas perselisihan hubungan kerja • Mengevaluasi perjanjian kerja, termasuk peralihan kontrak kerja (mirroring) • Mengawasi kepatuhan PKB, UU Ketenagakerjaan, dan norma kerja • Melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran hak pekerja • Menerbitkan anjuran tertulis atau nota pemeriksaan yang bisa jadi dasar gugatan ke PHI Peran Disnaker di Blok Rokan: • Menjadi mediator awal dalam sengketa antara CPI dan pekerja terkait kompensasi dan PHK massal • Mengawasi transisi kerja dari CPI ke PHR, memastikan proses sesuai UU No. 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja • Memberi perlindungan terhadap pekerja PKWT di bawah subkontraktor PHR, yang mengeluhkan kontrak pendek dan ketidakpastian kerja • Melakukan inspeksi kepatuhan atas hak-hak normatif (upah, jam kerja, jaminan sosial) Lembaga Tahap Peran Disnaker Awal Mediasi, pengawasan, penerbitan anjuran PHI Lanjutan (jika mediasi gagal) Mengadili dan memutuskan secara hukum sengketa ketenagakerjaan • UU mewajibkan penyelesaian perselisihan melalui prosedur bertingkat: bipartit → mediasi Disnaker → PHI. • Banyak kasus CPI di Blok Rokan dinilai melanggar tahapan ini karena PHK langsung dilakukan tanpa PHI. • Peran aktif dan independen dari Disnaker sangat krusial untuk melindungi hak-hak pekerja, terutama di masa transisi perusahaan besar seperti ini. 4.4. Intervensi PHI dalam Penyelesaian PHK 4.4.1. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Perusahaan • UU Ketenagakerjaan dan PKB menjamin hak atas gaji, fasilitas, tabungan, dan pesangon; CPI dinilai melanggar dengan memutus akses, menahan gaji/tabungan, hingga PHK tanpa penyelesaian hak . • Setelah transisi, potensi risiko muncul bagi pekerja kontrak karena ketidakpastian hubungan kerja dan minimnya perlindungan sosial. 4.4.2. Transisi & Mirror Contract • Skema alih kelola “mirror” memberikan kontinuitas legal formal, tetapi secara substantif muncul perbedaan manajemen dan budaya kerja antara CPI dan PHR, yang menimbulkan potensi gesekan hak pekerja. 4.5. Tantangan dan Kesenjangan Perlindungan Hukum terhadap PKWT Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak kerja untuk waktu tertentu adalah bentuk hubungan kerja yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan yang diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya. PKWT dirancang untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara atau tidak tetap. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan PKWT sering kali menimbulkan berbagai permasalahan hukum dan ketidakadilan bagi pekerja. Tantangan dalam Pelaksanaan PKWT Pertama, Penyalahgunaan Status PKWT oleh Pemberi Kerja Banyak perusahaan menggunakan PKWT secara tidak tepat, misalnya untuk pekerjaan yang bersifat tetap atau berkelanjutan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan hukum dan dapat merugikan pekerja, terutama dalam hal jaminan kepastian kerja dan kesejahteraan jangka panjang. Kedua, Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Hukum Kelemahan pengawasan dari instansi ketenagakerjaan menyebabkan pelanggaran PKWT kerap terjadi tanpa sanksi yang tegas. Banyak pekerja tidak mengetahui hak-haknya atau enggan melapor karena takut kehilangan pekerjaan. Ketiga, Minimnya Perlindungan Sosial dan Jaminan Kerja Pekerja PKWT sering kali tidak mendapatkan perlindungan sosial yang memadai, seperti akses terhadap jaminan kesehatan, jaminan pensiun, atau pesangon saat kontrak berakhir. Hal ini memperbesar kesenjangan antara pekerja tetap dan kontrak. Keempat, Kurangnya Akses terhadap Serikat Pekerja Karena sifat pekerjaan yang tidak tetap, pekerja PKWT sering kali tidak terorganisir dalam serikat pekerja, sehingga suara mereka dalam negosiasi atau perlindungan kolektif menjadi lemah. Salah satu tantangan dalam penerapan PKWT adalah Kesenjangan Hukum dan Regulasi. Meskipun regulasi telah ada, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang mengatur PKWT secara lebih rinci, masih terdapat sejumlah kesenjangan, di antaranya: 1. Ambiguitas Kriteria Pekerjaan PKWT Tidak adanya standar yang jelas mengenai jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk menggunakan PKWT memungkinkan multiinterpretasi oleh pengusaha. 2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Lemah Akses pekerja PKWT terhadap mekanisme penyelesaian sengketa hubungan industrial masih terbatas, terutama karena posisi tawar yang rendah dan keterbatasan ekonomi. 3. Kurangnya Perlindungan saat Pemutusan Kontrak Dalam banyak kasus, pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja PKWT tidak diikuti dengan kompensasi yang layak, padahal dalam aturan terbaru, pekerja PKWT berhak atas uang kompensasi sesuai masa kerja. 4. Rekomendasi Perbaikan Untuk mengatasi tantangan dan kesenjangan tersebut, beberapa langkah yang dapat diambil antara lain: 5. Revisi dan Penegasan Regulasi PKWT Pemerintah perlu menegaskan kriteria pekerjaan PKWT dan memberikan pedoman yang lebih rinci untuk mencegah penyalahgunaan. 6. Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum Diperlukan peningkatan kapasitas dan ketegasan dari pengawas ketenagakerjaan untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap aturan. 7. Pemberdayaan dan Pendidikan Pekerja Edukasi kepada pekerja mengenai hak-hak mereka dalam PKWT penting untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan mandiri. 8. Akses terhadap Serikat Pekerja dan Mekanisme Hukum Mendorong pekerja PKWT untuk berorganisasi serta menyediakan akses hukum yang lebih mudah dan murah untuk menyelesaikan sengketa. 5. Saran dan Kesimpulan Isu Rekomendasi PHK tanpa PHI Perusahaan harus menegakkan putusan PHI/MA; PHK kooperatif diperlukan. Pemenuhan hak Audit komprehensif atas gaji/tabungan/pesangon; transparansi dan penyelesaian cepat. Perlindungan PKWT Dorong pembatasan PKWT sesuai UU: maksimal 2 tahun atau 3 kali perpanjangan. Harmonisasi PKB baru Negosiasi PKB antar serikat CPI dan Pertamina untuk menghindari diskriminasi status. Peran pemerintah/PHI/Disnaker Aktif memfasilitasi dialog, audit pemenuhan hak, dan penegakan norma ketenagakerjaan. Kesimpulan • Alih kelola Blok Rokan menjadi studi kasus penting dalam hukum ketenagakerjaan: walaupun secara teknis transisi pekerja telah diupayakan melalui perjanjian mirror contract dan persetujuan massal, pelanggaran PKB oleh CPI dan kondisi pekerja kontrak di era PHR menimbulkan masalah hukum dan industrial relations. Kuncinya adalah prosedur PHK yang sesuai hukum, pemenuhan penuh hak pekerja, dan harmonisasi regulasi hubungan kerja pasca-alih kelola agar tercipta keadilan dan stabilitas industrial. • Peran lembaga seperti Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) sangat penting dalam konteks alih kelola Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina Hulu Rokan (PHR), khususnya dari perspektif hukum ketenagakerjaan. Berikut penjelasan mendetail: • Rekomendasi kepada pemerintah, PHR, serikat pekerja, dan regulator Daftar Pustaka 1. UUD 1945 2. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 4. ruangenergi.com+1redaksiriau.co.id+1. 5. Usman Arifin M, SH, MH (2022), Hukum Hubungan Kerja di Tengah Bencana – Upaya Perlindungan Hukum Pekerja di Industri Migas (apakah dampaknya pada industry minyak dan gas bumi di Indonesia) – Amerta Media, Jakarta 2022 6. kumparan.com+2www2.pertamina.com+2money.kompas.com+2. 7. reddit.com+14money.kompas.com+14redaksiriau.co.id+14. 8. redaksiriau.co.id+2reddit.com+2ruangenergi.com+2. 9. redaksiriau.co.id+2reddit.com+2ruangenergi.com+2.

Tuesday, June 17, 2025

Hubungan Kerja dalam Perusahaan Joint Venture pada Proyek Migas BP di Teluk Bintuni, Papua Barat: Perspektif Hukum Ketenagakerjaan

Hubungan Kerja dalam Perusahaan Joint Venture pada Proyek Migas BP di Teluk Bintuni, Papua Barat: Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Penulis : Usman Arifin M, SH, MH. Abstrak Artikel ini menganalisis hubungan kerja yang timbul dalam struktur perusahaan joint venture (usaha patungan) dalam proyek migas BP di Teluk Bintuni, Papua Barat, dari perspektif hukum ketenagakerjaan Indonesia. Proyek ini dikelola oleh BP Berau Ltd. bersama mitra lokal dalam berbagai bidang, termasuk konstruksi dan pengadaan barang dan jasa. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan pendekatan studi kasus untuk mengkaji status hubungan kerja, tanggung jawab hukum antara perusahaan induk dan mitra lokal, serta perlindungan hukum bagi pekerja. Temuan menunjukkan bahwa ketidakjelasan hubungan hukum dalam kontrak kemitraan sering berdampak pada lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja lokal. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi antara regulasi perburuhan dan praktik bisnis joint venture di sektor hulu migas. Kata kunci: hubungan kerja, joint venture, hukum ketenagakerjaan, proyek migas, BP Berau Ltd. USALAwfirm. Indonesia Employment Law 1. Pendahuluan Perusahaan joint venture dalam industri migas merupakan bentuk kemitraan antara investor asing dan lokal untuk mengelola eksplorasi dan produksi minyak dan gas. Dalam struktur ini, hubungan kerja menjadi kompleks karena terdapat lebih dari satu entitas hukum yang terlibat. Proyek LNG Tangguh yang dikelola BP Berau Ltd. di Teluk Bintuni, Papua Barat, menjadi salah satu contoh aktual, di mana pekerja lokal dipekerjakan oleh kontraktor lokal dalam proyek infrastruktur yang didukung oleh BP. Permasalahan muncul ketika kontraktor lokal diberhentikan secara sepihak oleh BP, seperti dalam kasus program North Shore Housing (NSH), yang menyebabkan pekerja kehilangan haknya. Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji bagaimana hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja dalam struktur joint venture dan siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak pekerja. 2. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan sumber data berupa peraturan perundang-undangan, kontrak kemitraan, dan putusan pengadilan. Pendekatan empiris digunakan secara terbatas untuk menggambarkan praktik hubungan kerja yang terjadi di proyek BP Teluk Bintuni berdasarkan berita, pernyataan resmi perusahaan, dan laporan masyarakat. 3. Pembahasan 3.1 Bentuk Hukum Joint Venture dalam Proyek Migas Joint venture dalam proyek migas umumnya berbentuk perjanjian kerja sama operasi (Joint Operating Agreement/JOA), yang mengatur hak dan kewajiban para pihak. Dalam konteks proyek LNG Tangguh, BP bertindak sebagai operator utama bersama mitra lainnya (SKK Migas, Mitsui, China National Offshore Oil Corporation, dan pemerintah daerah melalui BUMD). Perusahaan-perusahaan kontraktor lokal seperti PT Konsorsium XYZ (hipotetik) bekerja berdasarkan surat perintah kerja (SPK) atau kontrak pengadaan jasa. Dalam praktiknya, pekerja dipekerjakan oleh kontraktor, bukan oleh BP secara langsung. Hal ini menimbulkan pertanyaan hukum mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap hak-hak ketenagakerjaan. 3.2 Status Hubungan Kerja dan Perlindungan Hukum Pekerja Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Dalam konteks joint venture, pengusaha yang dimaksud sering kali adalah kontraktor, meskipun pekerjaan dilaksanakan untuk kepentingan perusahaan utama seperti BP. Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa hubungan kerja secara substansial dapat terjadi bila terdapat pengawasan langsung, pembayaran upah, dan perintah kerja, meskipun tidak ada kontrak tertulis secara langsung. Ini membuka ruang tanggung jawab hukum BP terhadap pekerja kontraktor apabila terbukti ada hubungan kerja tidak langsung. 3.3 Studi Kasus: Proyek NSH dan Pemutusan Kontrak Sepihak Dalam proyek pembangunan North Shore Housing (NSH), BP Berau Ltd. diduga memutus kontrak secara sepihak terhadap mitra lokal. Akibatnya, pembangunan puluhan unit rumah mangkrak dan pekerja tidak dibayar. Masyarakat dan tenaga kerja lokal menuntut BP bertanggung jawab atas dampak sosial dan hukum dari pemutusan kontrak ini (KlikPapua, 2024). BP kemudian mengeluarkan klarifikasi bahwa tanggung jawab ketenagakerjaan berada di tangan mitra lokal, bukan di BP. Namun, masyarakat mempertanyakan tanggung jawab moral dan hukum BP sebagai pemilik proyek utama. 3.4 Implikasi Hukum dan Tanggung Jawab Perusahaan Multinasional Berdasarkan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 74, perusahaan multinasional seperti BP wajib menjamin keberlanjutan masyarakat lokal, termasuk aspek ketenagakerjaan. Selain itu, prinsip hukum umum tentang “piercing the corporate veil” dapat digunakan untuk mengangkat tanggung jawab perusahaan utama bila terbukti ada penghindaran tanggung jawab melalui struktur kemitraan. 4. Kesimpulan Hubungan kerja dalam struktur joint venture migas menimbulkan persoalan hukum ketika terjadi pemutusan kontrak sepihak oleh pemilik proyek terhadap mitra lokal, yang berdampak langsung terhadap pekerja. Dalam konteks proyek BP di Teluk Bintuni, peraturan ketenagakerjaan nasional perlu dipertegas untuk memastikan bahwa pekerja tetap mendapatkan perlindungan hukum yang adil, meskipun hubungan kerja dilakukan melalui pihak ketiga. Rekomendasi: Pemerintah perlu memperkuat regulasi tentang tanggung jawab bersama (joint liability) dalam struktur kemitraan industri ekstraktif. Perusahaan multinasional wajib melibatkan tenaga kerja lokal dalam posisi strategis, bukan hanya sebagai pekerja kasar. Mekanisme penyelesaian sengketa ketenagakerjaan di daerah harus diperkuat dengan pengawasan yang transparan. Daftar Pustaka 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. 4. BP Indonesia. (2024). Klarifikasi Proyek North Shore Housing. https://bp.com 5. KlikPapua. (2024). BP Diduga Putus Kontrak Sepihak, Proyek Mangkrak di Bintuni. 6. IndikatorPapua. (2023). BP Indonesia Berdayakan Tenaga Kerja Lokal di Papua Barat. 7. Usman Arifin M, SH, MH (2021) Hukum Hubungan Kerja di Tengah Bencana dan Upaya Perlindungan Hukum Pekerja di Industry Migas, Apakah Dampaknya Pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia. Hal 109-111.

Perselisihan Hubungan Industrial dalam Industri Hulu Migas: Studi Kasus dan Analisis Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan

Perselisihan Hubungan Industrial dalam Industri Hulu Migas: Studi Kasus dan Analisis Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan Abstrak Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia merupakan sektor strategis yang memiliki karakteristik operasional kompleks dan padat modal, sehingga kerap menghadapi persoalan ketenagakerjaan yang berujung pada perselisihan hubungan industrial. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis praktik perselisihan hubungan industrial di sektor hulu migas melalui pendekatan studi kasus di beberapa perusahaan besar, serta mengevaluasi efektivitas penyelesaian melalui mekanisme bipartit, mediasi, dan arbitrase. Penelitian menggunakan metode deskriptif-kualitatif berbasis studi kepustakaan dan analisis peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor utama penyebab perselisihan meliputi praktik outsourcing, pelanggaran hak-hak normatif pekerja, serta inkonsistensi dalam penerapan prosedur penyelesaian sengketa. Diperlukan penguatan kapasitas kelembagaan hubungan industrial dan kepatuhan terhadap norma hukum ketenagakerjaan guna mendorong penyelesaian perselisihan yang adil dan efektif. Kata kunci: hubungan industrial, perselisihan kerja, industri migas, hukum ketenagakerjaan, penyelesaian sengketa 1. Pendahuluan Industri hulu migas di Indonesia menjadi pilar penting dalam perekonomian nasional, baik dari segi pendapatan negara maupun penyerapan tenaga kerja. Namun demikian, dinamika kerja yang kompleks, sistem kontrak berbasis proyek, dan penggunaan tenaga kerja alih daya (outsourcing) menyebabkan meningkatnya potensi terjadinya perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha. Perselisihan hubungan industrial merupakan konflik yang timbul karena adanya perbedaan kepentingan atau pelanggaran hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan kerja. Dalam konteks sektor migas, persoalan ini memiliki implikasi yang serius terhadap produktivitas dan stabilitas operasional. Oleh karena itu, penting untuk memahami pola dan penyebab perselisihan serta efektivitas mekanisme penyelesaiannya. 2. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bersifat eksploratif. Data diperoleh melalui studi pustaka terhadap: 1. Peraturan perundang-undangan terkait hubungan industrial dan ketenagakerjaan. 2. Putusan pengadilan hubungan industrial. 3. Artikel ilmiah dan berita terkait sengketa ketenagakerjaan di sektor hulu migas. Studi kasus diambil dari beberapa perusahaan migas besar seperti PT Pertamina, PT Freeport Indonesia, dan wilayah migas di Bojonegoro untuk memberikan gambaran nyata mengenai praktik dan penyelesaian perselisihan. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Penyebab Umum Perselisihan di Sektor Hulu Migas Praktik Outsourcing: Terjadi ketidakjelasan hubungan hukum antara pekerja alih daya dengan perusahaan induk. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hak dan kewajiban, sebagaimana ditemukan dalam sengketa di PT Pertamina (UGM, 2020). Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): Banyak kasus PHK sepihak tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 jo. UU Cipta Kerja. Ketidaksesuaian Upah dan Tunjangan: Kasus di Bojonegoro menunjukkan bahwa tuntutan terhadap uang transportasi dan tunjangan prestasi kerap menjadi objek perselisihan. 3.2 Studi Kasus Terkait Penyelesaian Perselisihan Pertamina (Jakarta): Terjadi perselisihan hak akibat praktik outsourcing. Proses bipartit gagal, dilanjutkan dengan penerbitan anjuran oleh mediator Dinas Ketenagakerjaan. (UGM, 2020). Bojonegoro (Wilayah Hulu Migas): Dari 22 kasus hubungan industrial pada 2018, sebagian besar berasal dari sektor migas, diselesaikan melalui perjanjian bersama dan anjuran tertulis (SuaraBanyuurip, 2019). PT Freeport Indonesia (Papua): Penerapan mediasi berhasil menyelesaikan konflik ketenagakerjaan dengan pendekatan yang fleksibel, namun sempat terjadi penyimpangan prosedur pada arbitrase yang tidak diakui legalitasnya (Jurnal Juris, 2023). 3.3 Evaluasi Efektivitas Penyelesaian Sengketa Bipartit: Efektif jika terdapat hubungan industrial yang sehat dan terbuka. Namun, sering gagal karena ketimpangan posisi tawar antara pekerja dan manajemen. Mediasi: Lebih disukai karena bersifat non-litigatif dan efisien. Namun, efektivitas sangat bergantung pada kualitas mediator dan komitmen pihak terkait. Arbitrase dan PHI: Ditempuh bila jalur damai gagal. Proses lebih panjang dan berbiaya tinggi. Dalam beberapa kasus arbitrase, terjadi pelanggaran prosedural. 4. Kesimpulan Perselisihan hubungan industrial dalam praktik sektor hulu migas di Indonesia banyak dipicu oleh praktik outsourcing, pelanggaran hak normatif, dan prosedur PHK yang tidak sesuai. Penyelesaian melalui mekanisme bipartit dan mediasi dapat menjadi solusi efektif apabila dilakukan dengan itikad baik dan didukung oleh sistem kelembagaan yang kuat. Peningkatan kapasitas SDM ketenagakerjaan, transparansi hubungan kerja, dan penegakan hukum yang konsisten menjadi kunci utama dalam mencegah dan menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di sektor migas. Daftar Pustaka 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 3. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. 4. SuaraBanyuurip. (2019). Pekerja Migas Dominasi Kasus PHI di Bojonegoro. https://suarabanyuurip.com 5. UGM. (2020). Analisis Hukum Terhadap Praktik Outsourcing di PT Pertamina (Persero). Universitas Gadjah Mada Repository. 6. Jurnal Juris. (2023). Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di PT Freeport Indonesia. STIH Awang Long. 7. Usman Arifin M, SH, MH. THE IMPACT OF THE COVID-19 PANDEMIC ON LABOR RELATIONS IN THE INDONESIAN OIL AND GAS INDUSTRY FROM THE PERSPECTIVE OF LABOR LAW . INFOKUM. 10, 5 (Dec. 2022)

Monday, June 16, 2025

Pengaruh Skema Gross Split dalam Industri Hulu Migas di Indonesia terhadap Pekerja di Perusahaan Sektor Migas

Pengaruh Skema Gross Split dalam Industri Hulu Migas di Indonesia terhadap Pekerja di Perusahaan Sektor Migas Abstrak Skema gross split diperkenalkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bentuk reformasi kontrak kerja sama di sektor hulu migas untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing investasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh penerapan skema gross split terhadap kondisi pekerja di perusahaan sektor migas, meliputi aspek ketenagakerjaan, beban kerja, hubungan industrial, dan kebutuhan kompetensi. Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan melalui studi pustaka terhadap regulasi dan dokumen kebijakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa walaupun gross split memberi keleluasaan operasional kepada kontraktor, skema ini menimbulkan tekanan terhadap efisiensi SDM yang berdampak langsung pada kesejahteraan dan stabilitas kerja karyawan. Penelitian ini merekomendasikan peningkatan pengawasan ketenagakerjaan serta penyesuaian kebijakan SDM di perusahaan migas untuk menjamin perlindungan pekerja. Kata kunci: gross split, industri migas, tenaga kerja, efisiensi, kebijakan ketenagakerjaan 1. Pendahuluan Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) merupakan sektor strategis dalam struktur energi dan ekonomi Indonesia. Untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi beban fiskal negara, Pemerintah Indonesia menerapkan perubahan sistem kontrak kerja sama dari skema cost recovery menjadi gross split sejak tahun 2017. Gross split, sebagai sistem baru, mengubah pola pembagian hasil produksi antara pemerintah dan kontraktor tanpa mekanisme penggantian biaya operasi. Perubahan ini membawa implikasi signifikan, tidak hanya dari sisi investasi dan operasional, tetapi juga pada aspek ketenagakerjaan. Kondisi pekerja di perusahaan sektor migas menjadi bagian penting yang perlu dianalisis, mengingat kontribusi tenaga kerja terhadap keberlangsungan dan produktivitas industri. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik studi pustaka. Data dikumpulkan dari peraturan perundang-undangan, laporan pemerintah, artikel akademik, serta laporan industri yang relevan dengan penerapan skema gross split dan implikasinya terhadap ketenagakerjaan. Metode ini digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan gross split terhadap tenaga kerja, dengan menganalisis hubungan antara efisiensi operasional dan kondisi pekerja dalam konteks sistem kontrak migas yang baru. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Dasar Hukum Gross Split Penerapan skema gross split diatur dalam: Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas (beserta perubahan). Permen ESDM No. 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen ESDM No. 8 Tahun 2017. 3.2 Perubahan Pola Kerja dan Risiko terhadap Tenaga Kerja Dengan skema gross split, kontraktor menanggung seluruh biaya operasional, yang mendorong perusahaan untuk melakukan efisiensi secara menyeluruh, termasuk di bidang ketenagakerjaan. Dampaknya antara lain: Efisiensi SDM: Pemangkasan tenaga kerja, pengurangan fasilitas kerja, dan pembekuan rekrutmen menjadi strategi umum. Peningkatan Beban Kerja: Karyawan dituntut bekerja lebih efisien, dengan cakupan tugas lebih luas (multi-skilling). Kenaikan Risiko PHK dan Outsourcing: Ketidakpastian proyek dan tekanan biaya mendorong peningkatan penggunaan tenaga kontrak. Tekanan terhadap Hubungan Industrial: Potensi konflik antara manajemen dan pekerja meningkat, terutama pada fase transisi awal proyek. 3.3 Peluang Peningkatan Kompetensi Skema gross split menuntut penggunaan teknologi yang lebih efisien dan SDM yang lebih adaptif. Hal ini mendorong: Pelatihan teknis dan digitalisasi. Sertifikasi profesi untuk menjamin standar kerja yang tinggi. Adaptasi terhadap peran kerja baru yang lebih fleksibel. 4. Kesimpulan Skema gross split memberikan dampak sistemik terhadap industri hulu migas, termasuk aspek ketenagakerjaan. Meskipun sistem ini menawarkan efisiensi dan fleksibilitas lebih tinggi bagi perusahaan, pekerja menghadapi tantangan berupa ketidakpastian status kerja, tekanan produktivitas, dan pergeseran peran kerja. Oleh karena itu, perlu penguatan kebijakan ketenagakerjaan yang adaptif terhadap perubahan model bisnis di sektor migas serta pelibatan serikat pekerja dalam proses transisi agar hak dan kesejahteraan tenaga kerja tetap terjaga. Daftar Pustaka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Peraturan Menteri ESDM No. 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Peraturan Menteri ESDM No. 52 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen ESDM No. 8 Tahun 2017. SKK Migas (2022). Laporan Tahunan Kinerja Hulu Migas Indonesia. Suwondo, A. (2019). "Analisis Dampak Gross Split Terhadap Investasi dan Efisiensi Industri Migas." Jurnal Energi dan Kebijakan, 7(1), 45-59. Irawan, H., & Maulana, D. (2020). "Pengaruh Perubahan Sistem Kontrak Terhadap Ketenagakerjaan di Sektor Migas." Jurnal Sosial dan Politik Energi, 5(2), 23-38.

Pengaruh Skema Gross Split dalam Industri Hulu Migas di Indonesia terhadap Pekerja di Perusahaan Sektor Migas

Pendahuluan Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian Indonesia. Untuk meningkatkan efisiensi dan menarik investasi, pemerintah Indonesia menerapkan perubahan sistem kontrak kerja sama dari cost recovery menjadi gross split. Perubahan ini berdampak tidak hanya pada aspek finansial dan teknis operasional perusahaan, tetapi juga pada kondisi tenaga kerja di sektor migas. Dasar Hukum Skema Gross Split Penerapan skema gross split diatur dalam: 1. Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang mengalami beberapa perubahan. 2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 8 Tahun 2017, yang menjadi dasar awal pengaturan gross split. 3. Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen ESDM No. 8 Tahun 2017, yang memperkuat fleksibilitas dan insentif dalam skema gross split. 4. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi – sebagai payung hukum sektor migas di Indonesia. Pengertian Skema Gross Split Skema gross split adalah sistem bagi hasil migas di mana pembagian antara pemerintah dan kontraktor dilakukan secara langsung dari total pendapatan kotor (gross revenue), tanpa mekanisme penggantian biaya operasi (cost recovery). Dalam sistem ini, pembagian dilakukan di awal dengan parameter tertentu, termasuk tingkat kesulitan lapangan, lokasi, dan teknologi. Dampak Gross Split terhadap Perusahaan Migas 1. Efisiensi Operasional: Perusahaan didorong untuk lebih efisien karena seluruh biaya operasi menjadi tanggung jawab mereka. 2. Risiko Finansial Lebih Tinggi: Risiko investasi bergeser dari pemerintah ke kontraktor. 3. Fleksibilitas Lebih Besar: Kontraktor memiliki keleluasaan dalam pengambilan keputusan operasional. Pengaruh terhadap Pekerja di Sektor Migas 1. Peningkatan Tekanan Kerja Dengan tanggung jawab biaya sepenuhnya ditanggung kontraktor, perusahaan berupaya menekan biaya, termasuk dalam aspek SDM. Hal ini sering menyebabkan: 1.1. Pengurangan jumlah tenaga kerja (efisiensi pegawai). 1.2. Kenaikan target kerja atau beban kerja bagi karyawan yang tersisa. 1.3. Penundaan atau pemangkasan insentif, bonus, dan pelatihan. 2. Ketidakpastian Ketenagakerjaan Gross split mendorong perusahaan untuk lebih berhati-hati dalam belanja SDM, khususnya di awal proyek. Ini bisa menyebabkan: 2.1. Peningkatan penggunaan tenaga kerja kontrak dibanding permanen. 2.1. Pemangkasan fasilitas atau jaminan sosial bagi karyawan. 3. Kebutuhan Kompetensi Baru Perubahan sistem mendorong pergeseran teknologi dan metode kerja yang lebih efisien, menuntut: 3.1. Pengembangan keterampilan baru (multi-skilling). 3.2. Peningkatan pelatihan teknis dan digitalisasi di sektor hulu migas. 4. Hubungan Industrial Adanya efisiensi dalam SDM berpotensi memicu ketegangan hubungan industrial jika tidak dikelola dengan baik. Serikat pekerja menjadi lebih aktif dalam mengadvokasi kepentingan anggotanya. Tantangan dan Peluang Tantangan: 1. Ketidakpastian kerja dan kesejahteraan pekerja, terdapat perbedaan pengelolaan budget yang mengakibatkan adanya perubahan alokasi budget untuk program development pekerja sehingga terlihat seolah-olah ketidakpastian di tengah-tengah pekerja. 2. Potensi konflik industrial, jika komunikasinya tidak dikelola hal ini akan berdampak ketidaktahuan pekerja akan informasi dan berpotensi menimbulkan perselisihan antara pekerja dengan perusahaan. 3. Perlunya adaptasi cepat terhadap perubahan sistem kerja, hal ini perlu adanya industrial relations yang kuat dalam menginformasikan dan berkomunikasi dengan pekerja. Peluang: 1. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi tenaga kerja, karena disadari atau tidak perubahan sistem dalam pengelolaan hulu migas akan menjadi peluang untuk perusahaan melakukan peningkatan produktivitas pekerja dan melakukan program efisiensi struktural operasionalnya. 2. Menumbuhkan tenaga kerja yang lebih profesional dan fleksibel, peluang lainnya adalah pekerja menjadi lebih profesional dan meningkatkan daya saing dengan mengikuti program-program training ataupun sertifikasi bagi peningkatan skill nya. 3. Mendorong peningkatan pelatihan dan sertifikasi kompetensi, hal ini tentu saja sangat baik bagi jalannya operasional dan kemajuan perusahaan kedepannya. Kesimpulan Penerapan skema gross split dalam industri hulu migas Indonesia memberikan tantangan signifikan bagi perusahaan migas, khususnya dalam aspek pembiayaan dan operasional. Dampaknya terhadap pekerja cukup besar, baik dalam bentuk peningkatan tekanan kerja, perubahan pola kerja, hingga ketidakpastian dalam status ketenagakerjaan. Oleh karena itu, perlu ada penguatan regulasi ketenagakerjaan, pengawasan pemerintah, dan peran aktif serikat pekerja untuk memastikan bahwa efisiensi tidak mengorbankan hak dan kesejahteraan pekerja.
Hubungan Industrial di Wilayah Kerja Migas Kabupaten Teluk Bintuni Tantangan dan Upaya Pemberdayaan Pekerja Lokal Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, merupakan salah satu daerah penghasil utama minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, dengan proyek besar seperti BP Tangguh dan Genting Oil Kasuri yang beroperasi di kawasan ini. Keberadaan industri migas di Teluk Bintuni membawa dampak signifikan terhadap hubungan industrial di wilayah tersebut, terutama terkait dengan penyerapan tenaga kerja lokal dan pemberdayaan masyarakat adat. Kondisi Hubungan Industrial di Teluk Bintuni Hubungan industrial di sektor migas di Teluk Bintuni ditandai dengan adanya kontrak kerja antara perusahaan migas dan penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing). Namun, praktik ini sering kali menimbulkan tantangan bagi pekerja lokal, seperti yang diungkapkan oleh Bupati Teluk Bintuni, Petrus Kasihiw, yang menekankan pentingnya perusahaan migas memprioritaskan tenaga kerja lokal dalam setiap proyek yang dilaksanakan . Dasar Hukum Terkait Hubungan Industrial di Sektor Migas Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan industrial di sektor migas antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berisin tentang mengatur hak dan kewajiban pekerja serta hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pengusaha. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021: Mengatur tentang perjanjian kerja, waktu kerja, dan alih daya (outsourcing) di sektor migas. 4. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2022: Mengatur organisasi dan tata kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), termasuk pengawasan terhadap penggunaan tenaga kerja asing dan pengembangan tenaga kerja Indonesia Upaya Pemberdayaan Pekerja Lokal Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni bersama dengan perusahaan migas berupaya meningkatkan pemberdayaan pekerja lokal melalui berbagai program, antara lain: 1. Pelatihan dan Sertifikasi: Seperti yang dilakukan oleh Petrotekno, yang menyelenggarakan pelatihan teknik industri dan migas bagi masyarakat lokal . 2. Konten Lokal yakni Mengutamakan penggunaan bahan baku dan produk lokal dalam operasional perusahaan migas, seperti yang diharapkan oleh Bupati Teluk Bintuni agar suplai bahan makanan ke perusahaan migas diambil dari Bintuni . 3. Kebijakan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yangmana Pemerintah daerah mendorong pembentukan peraturan teknis terkait pembagian DBH migas agar masyarakat adat dapat menikmati manfaatnya secara langsung ⚠️ Tantangan yang Dihadapi Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, masih terdapat tantangan dalam mewujudkan hubungan industrial yang adil dan menguntungkan bagi pekerja lokal, antara lain: Keterbatasan Akses Pelatihan dan Sertifikasi: Tidak semua masyarakat lokal memiliki akses yang memadai untuk mengikuti pelatihan dan memperoleh sertifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan migas. Kesenjangan Kualifikasi: Perusahaan migas sering kali lebih memilih tenaga kerja dari luar daerah yang memiliki kualifikasi lebih tinggi, sehingga mengurangi kesempatan bagi pekerja lokal. Pengawasan yang Lemah: Kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan yang mendukung pemberdayaan pekerja lokal, seperti yang diungkapkan oleh Senator Filep Wamafma yang meminta audit terhadap SKK Migas dan BP Tangguh terkait pengembangan tenaga kerja lokal . Kesimpulan Hubungan industrial di wilayah kerja migas Kabupaten Teluk Bintuni menunjukkan dinamika yang kompleks antara perusahaan migas, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal. Meskipun terdapat upaya untuk meningkatkan pemberdayaan pekerja lokal, tantangan seperti keterbatasan akses pelatihan, kesenjangan kualifikasi, dan pengawasan yang lemah masih perlu diatasi. Diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara semua pihak untuk menciptakan hubungan industrial yang adil dan menguntungkan bagi pekerja lokal di sektor migas.

Pekerja Outsourcing di Wilayah Kerja Migas Papua Barat Daya

Pekerja Outsourcing di Wilayah Kerja Migas Papua Barat Daya Apakah Menguntungkan Pekerja Lokal? Praktik outsourcing di sektor migas di Papua Barat Daya sering kali tidak menguntungkan bagi pekerja lokal, terutama jika tidak diimbangi dengan upaya pemberdayaan yang serius. Pertanyaan mengenai keuntungan bagi pekerja lokal terkait praktik outsourcing di sektor migas di Papua Barat Daya menjadi isu penting dalam konteks ketenagakerjaan dan pembangunan daerah. Meskipun sektor migas memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, implementasi outsourcing sering kali menimbulkan tantangan dalam pemberdayaan tenaga kerja asli Papua seperti dukutip dari www.teropongnews.com 📌 Praktik Outsourcing di Sektor Migas Papua Barat Daya Perusahaan migas di wilayah Papua Barat Daya sering kali mengandalkan sistem outsourcing untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Namun, praktik ini sering kali tidak menguntungkan bagi pekerja lokal. Contohnya, di Teluk Bintuni, meskipun ada upaya untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal, banyak warga setempat yang kesulitan memenuhi persyaratan sertifikasi yang ditetapkan oleh perusahaan migas, seperti BP Tangguh. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat mengakses peluang kerja di industri tersebut . ⚖️ Dampak Negatif Outsourcing terhadap Pekerja Lokal salah satu dampak negatifnya adanya Keterbatasan Akses Pelatihan dan Sertifikasi: Banyak pekerja lokal tidak memiliki akses yang memadai ke pelatihan dan sertifikasi yang diperlukan untuk memenuhi standar industri migas. selain itu Ketidakpastian Status Kerja dimana Pekerja outsourcing sering kali menghadapi ketidakpastian dalam hal status pekerjaan dan hak-hak ketenagakerjaan, yang dapat mengurangi motivasi dan kesejahteraan mereka. faktor lainnya adanya diskriminasi dan Ketimpangan, terdapat laporan mengenai diskriminasi terhadap pekerja lokal, dengan pekerja asing atau dari luar daerah sering kali mendapatkan posisi yang lebih baik dan perlakuan yang lebih menguntungkan . ✅ Upaya Positif dan Solusi Beberapa inisiatif telah dilakukan untuk meningkatkan pemberdayaan pekerja lokal: pertama perlunya Program Pelatihan dan Magang, Seperti yang dilakukan oleh BP Tangguh, RHPetrogas basin ltd in Indonesia yang telah menyelenggarakan program pelatihan untuk anak-anak asli Papua agar mereka dapat memenuhi standar industri dan mendapatkan pekerjaan di sektor migas . kedua Koordinasi dengan Pemerintah Daerah dimana SKK Migas bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa tenaga kerja lokal diprioritaskan dan diberdayakan melalui pelatihan dan sertifikasi yang sesuai. ketiganya adanya forum komunikasi antara perusahaan dan warga masyarakat yang rutin dan berkala yang terkadang di mediasi kan oleh pemerintah daerah seperti dinas tenaga kerja provinsi dan maupun melalui peran pemerintah daerah atau perwakilan dari bupati Sorong papua barat daya. 📝 Kesimpulan Praktik outsourcing di sektor migas di Papua Barat Daya sering kali tidak menguntungkan bagi pekerja lokal, terutama jika tidak diimbangi dengan upaya pemberdayaan yang serius. Untuk memastikan bahwa pekerja lokal dapat merasakan manfaat dari industri migas, diperlukan kebijakan yang mendukung pelatihan, sertifikasi, dan pemberdayaan mereka secara berkelanjutan. Tanpa langkah-langkah tersebut, potensi besar sektor migas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal akan sulit tercapai. saat ini beberapa Perusahaan Migas yang memiliki wilayah kerja di daera Papua telah membuat program-program kerja yang melibatkan masayarakat sekitar sehingga terbentuknya forum komunikasi yang difasilitas pemerintah daerah setempat. Sebagai tambahan, penting untuk dicatat bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal, tantangan dalam implementasi kebijakan dan kesenjangan dalam akses pelatihan masih menjadi hambatan signifikan, peran koordinasi yang rutin dan komunikasi yang dilakukan secara berkala antara pemerintah, pengusaha dan pekerja atau masyarakat sekitar menjadi sarana komunikasi yang penting untuk menghilangkan hambatan tadi dan bersama-sama membangun negeri ini.

Sunday, June 15, 2025

Memahami Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP) dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Perusahaan Migas Indonesia

Dipertengahan Mei 2025, saya berkesempatan mengunjungi KMT dimana produksi migas sedang berjalan sejak tahun 1700 an sampai saat ini, berganti-ganti perusahaan telah dijalankan oleh wilayah kerja disini, berbagai cara peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama telah dibuat tergantung perusahaan apa dan perusahaan mana yang mendapatkan izin untuk beroperasi di WK ini, perusahaan tempat ku bertugas saat ini sedang menjalankan proses pembaharuan PP nya dan beberapa Pekerja mempertanyakan alasan kenapa PP yang dibuat dan bukan PKB, dari beberapa diskusi yang berjalan akhirnya munculah ide untuk menuangkan hal itu kedalam artikel ini. Berikut adalah penjelasan detail dan lugas mengenai perbedaan antara Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya dalam konteks perusahaan migas: 1. apa pengertian Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama menurut UU ? 2. Apa perbedaan utama antara PP dan PKB ? 3. apa implikasinya penggunaan PP dan PKB dalam kaitannya dengan Perusahaan Migas di Indonesia ? Pengertian Peraturan Perusahaan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pada Pasal 1 angka 20. Peraturan Perusahaan ini berlaku untuk seluruh pekerja di perusahaan, baik yang bekerja di kantor pusat maupun cabang, dan berlaku untuk pekerja dengan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) maupun PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Peraturan Perusahaan (PP): Merupakan peraturan tertulis yang disusun oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. PP wajib dibuat oleh pengusaha yang mempekerjakan sekurang-kurangnya 10 orang pekerja/buruh dan disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Perjanjian Kerja Bersama (PKB): Adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak. PKB wajib dibuat oleh perusahaan yang telah memiliki serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Fungsi PKB: Sebagai pedoman dalam menjalankan hubungan kerja di perusahaan. Memberikan kepastian hukum bagi pekerja dan pengusaha. Mencegah dan menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Meningkatkan hubungan kerja yang harmonis antara pekerja dan pengusa Perbedaan Utama Aspek Peraturan Perusahaan (PP) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dimana Inisiatif Penyusunan Disusun sepihak oleh pengusaha Disusun bersama antara pengusaha dan serikat pekerja. Proses Penyusunan Pengusaha menyusun dengan memperhatikan saran dari wakil pekerja Melalui perundingan musyawarah antara pengusaha dan serikat pekerja Kewajiban Pembuatan Wajib bagi pengusaha yang mempekerjakan minimal 10 orang pekerja Wajib bagi perusahaan yang telah memiliki serikat pekerja yang tercatat (secara legalitasnya terpenuh dan SP yang masih aktif keanggotaannya) Masa Berlaku Paling lama 2 tahun dan wajib diperbaharui Paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun lagi berdasarkan kesepakatan Sanksi Pelanggaran Dapat dikenakan sanksi administratif atau pidana Dapat dikenakan sanksi administratif atau pidana jika tidak dipatuhi Implikasi dalam Perusahaan Migas Dalam sektor migas, yang sering kali melibatkan kontrak kerja jangka panjang dan kondisi kerja yang spesifik, penting untuk memahami perbedaan ini: PP: Menjadi dasar hukum bagi pengusaha dalam menetapkan kebijakan internal perusahaan, seperti jam kerja, disiplin, dan prosedur PHK. PKB: Menjadi alat negosiasi antara pengusaha dan serikat pekerja untuk menetapkan hak dan kewajiban yang lebih spesifik dan mengikat kedua belah pihak, seperti upah, tunjangan, dan jaminan sosial. Kedua dokumen ini harus disusun dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. didaftarkan ke bagian hubungan industrial Dinas Tenaga Kerja Provinsi ataupun Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik Indonesia (Kemenakertrans RI) bagi perusahaan yang telah memiliki cabang minimal 1 di daerah lain diluar jakarta. Kesimpulan Memahami perbedaan antara PP dan PKB sangat penting bagi pengusaha dan pekerja di sektor migas untuk memastikan hubungan industrial yang harmonis dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Keduanya memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi dalam mengatur syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

Friday, June 13, 2025

USIA PENSIUN DI INDUSTRI MIGAS

Usia pensiun di Indonesia, khususnya dalam industri minyak dan gas bumi (migas), diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Berikut adalah penjelasan terkait usia pensiun dalam konteks industri migas: 🏛️ Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun menetapkan usia pensiun sebagai usia saat peserta mulai dapat menerima manfaat jaminan pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan pasal 15 ayat (3), usia pensiun bertambah satu tahun setiap tiga tahun berikutnya, dimulai dari 56 tahun pada 2015, menjadi 57 tahun pada 2019, 58 tahun pada 2022, dan 59 tahun pada 2025. Kenaikan usia pensiun ini akan terus berlanjut hingga mencapai 65 tahun pada tahun 2043 . Perlu dicatat bahwa usia pensiun dalam konteks ini bukan berarti pekerja harus berhenti bekerja dari perusahaan. Pekerja dapat memilih untuk menerima manfaat pensiun saat mencapai usia pensiun atau saat berhenti bekerja, dengan ketentuan paling lama tiga tahun setelah usia pensiun . 🛢️ Khusus Industri Hulu Migas (SKK Migas) Dalam industri hulu migas, batas usia pensiun diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan pasal 12, batas usia pensiun bagi pegawai SKK Migas adalah 56 tahun dan dapat diperpanjang hingga 58 tahun . Namun, dalam praktiknya, perusahaan migas seperti PT Pertamina (Persero) memiliki kebijakan internal yang dapat memperpanjang usia pensiun bagi karyawan dengan keahlian khusus atau pada posisi strategis. Sebagai contoh, usia pensiun untuk karyawan reguler ditetapkan pada usia 56 tahun, sementara untuk posisi manajerial senior atau eksekutif, usia pensiun dapat diperpanjang hingga 58 atau bahkan 60 tahun, tergantung pada kebutuhan dan kebijakan perusahaan . jadibumn.id ⚠️ Tantangan Sumber Daya Manusia di Industri Hulu Migas Industri hulu migas di Indonesia menghadapi tantangan terkait regenerasi sumber daya manusia (SDM). Sekitar 22% pegawai SKK Migas diperkirakan akan memasuki usia pensiun dalam tujuh tahun ke depan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya perekrutan lulusan baru sejak 2015 dan berkurangnya investasi di sektor hulu migas, yang berdampak pada kurangnya regenerasi pekerja. Untuk mengatasi kekurangan SDM ini, SKK Migas mendorong perekrutan tahunan dan peningkatan kompetensi pekerja muda melalui program magang dan pelatihan intensif . 📌 Kesimpulan Usia pensiun di Indonesia, termasuk dalam industri migas, diatur oleh peraturan pemerintah yang menetapkan batas usia pensiun dan mekanisme penerimaan manfaat pensiun. Namun, perusahaan memiliki fleksibilitas untuk menetapkan kebijakan usia pensiun sesuai dengan kebutuhan dan perjanjian kerja. Industri hulu migas menghadapi tantangan dalam regenerasi SDM, sehingga diperlukan strategi perekrutan dan pengembangan kompetensi yang efektif untuk memastikan keberlanjutan operasional.

BETAWI

Indonesia Jaman Dulu 11 Juni 2025 pukul 13:14 ·  Asal Usul Betawi Ada suku yang sangat unik, metropolis, mengenal budaya kota jauh lebih dulu ketimbang New York yang urban, suku itu adalah suku Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta suku betawi sesungguhnya tidak asing bahkan menjadi bagian budaya dari orang-orang yang lahir dan besar di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan hal yang identik dengan Jakarta. Namun sejak pembangunan besar-besaran kota Jakarta yang dimulai sejak terselenggaranya Asian Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya pemerintahan Sukarno yang menaikkan Suharto di tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap suku asli Betawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi menjadi semakin berjarak dengan Jakarta. Suku Betawi adalah salah satu kelompok etnis asli Indonesia yang berasal dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Nama "Betawi" sendiri berasal dari kata "Batavia," nama yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Jakarta pada abad ke-17. Suku Betawi merupakan hasil dari akulturasi berbagai budaya yang terjadi selama berabad-abad, menjadikannya salah satu suku yang kaya akan keragaman budaya di Indonesia. Asal Usul dan Perkembangan Suku Betawi baru diakui sebagai etnis tersendiri pada awal abad ke-20. Sebelumnya, wilayah Jakarta adalah tempat bertemunya berbagai kelompok etnis dari berbagai penjuru Nusantara dan dunia, seperti Melayu, Bugis, Jawa, Sunda, Bali, Ambon, Tionghoa, Arab, dan India. Akulturasi antara kelompok-kelompok ini, yang terjadi akibat perdagangan, pernikahan, dan interaksi sehari-hari, membentuk identitas budaya Betawi yang unik. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Batavia menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan, menarik pendatang dari berbagai daerah dan negara. Pendatang ini membawa tradisi dan budaya mereka, yang kemudian bercampur dengan budaya lokal. Generasi keturunan dari hasil percampuran ini dikenal sebagai masyarakat Betawi. Identitas Betawi semakin jelas setelah kelompok ini mulai menetap di sekitar Jakarta, terutama setelah sistem tanam paksa dan urbanisasi. Asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia-pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York. Portugis yang mengincar pelabuhan-pelabuhan dagang Banten di tahun 1520-an, bekerja sama dengan kekuasaan Pajajaran-Hindu untuk membendung gerakan politik Banten-Islam. Namun pada tahun 1590, Banten mengirim seorang panglima perang bernama fatahillah yang baru saja datang dari Malaka, Fatahillah bersama para jawara dari Banten dan dibantu dengan pasukan dari Cirebon berhasil mengusir Portugis dan membangun benteng pertahanan di sekitar pantai Sunda Kelapa, sejak saat itu oleh Fatahilllah pantai Sunda Kelapa dijadikan pelabuhan dagang, namun keramaiannya tetap kalah dengan pelabuhan Banten.
Ketika pelabuhan sunda kelapa sudah ramai, datanglah armada dagang Belanda dan membangun loji-loji dagang di sekitar Sunda Kelapa, pada awalnya kedatangan Belanda ini disukai oleh Pangeran Jayawikarta penguasa Sunda Kelapa dan menamakan wilayah kekuasaannya sebagai Jayakarta, tetapi atas desakan dari Banten yang pada waktu itu sudah tidak menyukai kehadiran Belanda akibat politik campur tangan di Kesultanan Banten, Pangeran Jayawikarta di paksa untuk melawan Belanda. Pada saat itu pemimpin dagang dan bersenjata Belanda bernama Jan Pieter Zoen Coen yang oleh orang-orang Betawi di kenal sebagai Murjangkung, nah JP Zoen Coen melakukan tindakan penyerangan ke arah benteng-benteng di tepi pelabuhan Sunda Kelapa, pada awalnya Pangeran Jayawikarta mampu bertahan dan berharap ada bantuan dari Banten dan Cirebon, namun Belanda dengan cerdik melakukan pengepungan dengan memblokir jalan-jalan yang kemungkinan di lalui pasukan bala bantuan. Pada tahun 1614 Pangeran Jayawikarta memutuskan untuk meloloskan diri dari pengepungan yang berbulan-bulan lamanya. Ia bersama lima ratus orang pasukannya menyingkir ke daerah rawa-rawa yang kini dikenal sebagai Sunter, Pangeran-pun mendirikan pusat-pusat perlawanan gerilya. Pada awal tahun 1618, pasukan Banten berhasil menyusup ke Jayakarta dari arah Bogor, dan mereka membangun markasnya di sekitar hutan Jati yang sangat lebat (kini bernama Jatinegara). Pangeran Jayawikarta-pun bergabung dengan pasukan Banten dan menyusun serangan, namun JP Zoen Coen memutuskan untuk menggempur habis-habisan pasukan Banten-Jayakarta, sebelum datangnya pasukan yang jauh lebih besar Mataram-Sultan Agung. Intelijen JP Zoen Coen mendengar bahwa pasukan Mataram akan melakukan penyerbuan-penyerbuan ke wilayah pesisir dan pada saat itu sedang bertarung di wilayah priangan untuk menaklukkan bekas wilayah Pajajaran-Hindu yang dikuasai raja-raja kecil Islam. Menurut hitung-hitungan JP Zoen Coen, lambat tapi pasti Mataram akan menyerang Jayakarta untuk membangun pelabuhan dagangnya yang dekat dengan pelabuhan Malaka. Untuk itu dia membereskan separatis Betawi di tanah-tanah yang diakui sebagai hak VOC. Hitungan JP Zoen Coen ternyata sangat tepat, ia berkonsentrasi menghabisi pasukan Banten-Jayakarta untuk itu ia mengambil ratusan tentara bayaran dari Jerman dan beberapa budak yang didatangkan dari Bali, Bugis dan Ambon untuk menyerbu markas Pangeran Jayakarta. Pada tahun 1620, markas pangeran jayakarta diserbu oleh JP Zoen Coen dan sejarah membuktikan Pangeran tu mengalami kekalahan, Pada saat pasukan Belanda mengepung masjid yang digunakan Pangeran untuk berlindung, Pangeran masuk ke dalam sumur yang berada di dalam masjid, dan Belanda mengira Pangeran sudah mati di dalam sumur itu, Masjid itu kini bernama Masjid Salafiyah yang berdiri di wilayah Jatinegara. Setelah beres dengan perlawanan dari unsur Banten, Zoen Coen menghadapi pasukan Mataram yang berada dibawah pimpinan Sura Agul-Agul dan beberapa senopati perang lainnya yang dibantu orang-orang Priangan. Namun taktik penghancuran logistik terhadap sawah-sawah yang menjadi sumber makanan pasukan Mataram dan diracunnya sungai Ciliwung menjadi kunci kemenangan VOC. Kota Jayakarta-pun diganti nama menjadi Batavia oleh Zoen Coen nama ini diambil dari kata Bataafs, sebuah dinasti yang menguasai Belanda dan Jerman Utara.Dan orang-orang asli yang menempati wilayah Batavia disebut juga Betawi Banyak orang yang mengira asal-usul suku asli Batavia adalah budak-budak Zoen Coen, namun perkiraan ini banyak salahnya daripada betulnya, suku Betawi merupakan suku yang memiliki sifat uniknya sendiri, mereka sangat apolitis, dan menghindar dari struktur kekuasaan, walaupun ada juga orang Betawi yang ‘keningrat-ningratan dengan menggunakan gelar Raden, Raden betawi beda dengan Raden Sunda atau Raden Jawa yang hanya terdiri huruf ‘R’, penulisan gelar Raden Betawi ditulis ‘Rd’ misalnya : Rd. Mochtar, aktor jaman baheula. Orang Betawi sendiri mungkin berasal dari Melayu atau orang Jawa yang tinggal di pesisir namun menolak bagian dari suku pedalaman, ini sama saja dengan kaum Melayu di Kalimantan yang merasa bukan bagian dari Dayak, atau Melayu di Sumatera Utara yang menihilkan suku Batak. Sedari awal kita sudah lihat pemegang-pemegang kekuasaan di Sunda kelapa atau batavia adalah orang-orang pendatang seperti : Pajajaran-Hindu, Banten, Portugis dan Belanda. Saking sering konflik dengan Pajajaran Bogor, orang Betawi sampai sekarang kalau mengumpat berkata “Dasar Pejajaran!” Orang-orang asli Betawi seakan-akan tidak peduli siapa pemegang kekuasaannya.Itulah yang dapat menjelaskan mengapa suku betawi jarang sekali menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan kotanya sendiri, jabatan yang paling disenangi orang Betawi adalah jabatan-jabatan yang berhubungan dengan agama, makanya banyak sekali dari orang-orang Betawi yang terdidik bekerja di Departemen Agama. Untuk menjawab mengapa Betawi sangat berjarak dengan kekuasaan, mungkin jawaban yang paling tepat adalah orientasi budaya. Budaya betawi sangat unik dibanding budaya-budaya urban di kota-kota besar dunia pada jamannya seperti Huan Long (Vietnam) atau Kyoto (Jepang). Biasanya budaya urban mendorong kegiatan niaga kepada penduduk aslinya, namun untuk kasus Betawi mereka tidak menyukai dunia dagang, hidup mereka di orientasikan pada agama Islam. Untuk menjelaskan cara hidup Betawi, cara pandang Islam merupakan jawaban tepat. Bagi orang-orang Betawi kehidupan dunia tidak memiliki arti apa-apa, cita-cita terbesar orang Betawi adalah naik haji, dan bergelar Haji. Bagi orang Betawi pendidikan harus diorientasikan ke pendidikan agama bukan pendidikan cara Belanda, berbeda dengan suku-suku lain seperti Banten, Sunda dan Jawa yang perlahan menganggap pendidikan sekuler sangat penting, suku betawi sampai saat ini melihat pendidikan sekuler kalah penting ketimbang pendidikan agama. Jika kita menonton sinetron si Doel ada sebuah kesalahan fatal dari penilaian Rano Karno (sebagai penulis ide cerita) yang menganggap betawi itu sebagai orang-orang yang terbelakang secara pendidikan, karena disini Rano Karno melihat cara pendidikan Betawi dari kaca mata orang yang dididik dan dibesarkan dalam pendidikan sekuler dan ala barat. Orang-orang Betawi sangat berpendidikan bahkan beberapa orang kaya Betawi (contohnya Betawi Kuningan dan Betawi Tenabang) menyekolahkan anaknya ke Mesir dan Irak, banyak dari mereka bermukim di Mekkah untuk menimba ilmu agama, ratusan madrasah-madrasah dibangun untuk menampung anak-anak betawi, nah disinilah letak perbedaan orientasi, bagi suku-suku Batak, Minang, Sunda, Jawa dan Bugis (suku yang paling mendominasi arus intelektual di Indonesia), pendidikan ala barat merupakan patokan kecerdasan dan tingkat intelektualitas seseorang yang diperoleh melalui kapital simbolik ijazah sekolah barat yang sekuler. Lain ladang lain belalang bagi orang Betawi keberhasilan adalah bagaimana ia menyelesaikan pendidikan agama dan menjalani hidup dengan irama yang ia yakini, berorientasi pada alam akhirat dengan mengambil pahala banyak-banyak sesuai apa yang mereka yakini. Perbedaan orientasi inilah yang kerap menimbulkan salah paham bahwa orang-orang betawi sangat tidak menghargai pendidikan. Mereka justru sangat menghargai dasar-dasar pendidikan, hanya orang Betawi-lah yang mengenal kultur ‘Pagi belajar di SD, Siang ke Ibtidaiyah’. Pandangan mereka pendidikan haruslah holistik bukan kompartemental yang berakibat tidak seimbangnya nalar dan hati. Orang Betawi terkenal senang menerima pendatang. Banyak dari pendatang-pendatang luar Jakarta yang modalnya buntelan menjadi sukses di Jakarta, waktu susah banyak ditolong orang Betawi di gang-gang sempit atau toleran terhadap bayaran rumah kontrakan. Rasa bertetangga mereka sangat tinggi, bahkan banyak ketika orang pendatang itu pindah ke tempat yang lebih jauh dan lebih nyaman dari awal dia hidup masih sering berhubungan dengan ‘kerabat-kerabat betawi-nya yang dulu pernah menolong’. Orang Betawi terkenal blak-blakan, kalau bicara seperti orang nyanyi. Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu yang terkenal dengan akhiran huruf e. Kalau orang Melayu mengucapkan huruf e itu dengan mengayun lembut, orang Betawi membunyikannya dengan lempeng. Bahasa Betawi adalah bahasa yang paling berpengaruh dalam ruang pergaulan informal anak muda, kini seluruh radio-radio di seantero Nusantara menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Betawi sebagai bagian dari proses ‘Jakartanisasi’. Suku Betawi adalah satu-satunya suku di Jakarta yang paling awet menerima gempuran budaya urban, suku-suku lain seperti Jawa, Sunda dan Bugis mengalami kekalahan yang hebat dan mundur ke wilayah-wilayah pedalaman, pesisirnya dikuasai Belanda dan orang-orang timur asing (Vreemde Osterlingen) seperti Cina dan Arab. Berbagai macam pengaruh yang mencampuri keragaman budaya Betawi bahkan darah suku-suku Betawi tidak murni lagi sebagai sebuah ras, orang-orang Betawi adalah campuran dari cina, eropa dan arab. Bagi saya pribadi pernah membagi-bagi fisiognomi-geografi orang-orang Betawi, untuk ras yang di dominasi oleh ras Arab berdiam di sekitar wilayah-wilayah pusat dan utara kota Jakarta, orang-orang Betawi Ancol, Sunter, Tanah Abang, Slipi, Pekojan, dan sekitar Kampung Melayu dan Jatinegara merupakan betawi yang memiliki tekstur arab secara khas, mereka banyak yang keturunan arab. Sedangkan betawi-betawi yang berdiam di sekitar Kuningan, Mampang, Buncit, Pejaten, Kemang dan wilayah-wilayah tengah banyak yang berkulit putih bersih dan bermata sipit, mereka ini banyak keturunan dari ulama-ulama besar Islam keturunan Cina, sedangkan untuk wilayah Depok, ada sebuah keunikan, suku-suku betawi ini di bagi dua kelompok besar yaitu : keturunan Belanda dan keturunan sisa-sisa lasykar Mataram yang tidak berani pulang ke asalnya karena takut dihukum. Untuk yang keturunan Belanda terlihat sekali tingginya, bila anda datang ke wilayah-wilayah Jagakarsa, Ciganjur, Depok lama maka sesekali terlihat wajah-wajah indo yang tinggi badannya sekitar 180-an cm yang bicaranya ‘ngapak-ngapak’, namun jenis ras indo ini tidak banyak, keturunan Mataram-lah yang banyak, mereka sendiri tidak mengetahui atau tidak mau mengetahui keturunan lasykar-lasykar Mataram, tapi bila dilihat dari namanya sungguh nama-nama itu adalah nama yang berasal dari Jawa; seperti Wiro, Tole, Bagor, Diro, Pulung dll yang bukan merupakan ciri khas nama Sunda atau Banten yang lebih banyak terpengaruh nama-nama Islam. Karena merupakan suku melting pot yang terus menerus berbaur bisa dikatakan wanita Betawi itu cantik-cantik.
Ada juga betawi-betawi yang menyimpang dari arus besar komunitas, dan membentuk subkultur yang pertama, adalah keturunan Betawi-Portugis yang berdiam di sekitar wilayah Tugu dekat Tanjung Priok, agama mereka bukan Islam tetapi Kristen Protestan, pada awalnya mereka beragama Katolik tapi atas paksaan VOC yang anti Katolik dan penganut protestan Calvinis, mereka dipaksa masuk Protestan oleh Belanda dan sampai sekarang agama mereka protestan, mereka memiliki budaya sendiri seperti lempar-lempar bedak pada hari natal atau yang paling populer adalah musik keroncong, di tahun 1930-an orang-orang Tugu banyak menjadi buaya-buaya keroncong terkenal. Yang kedua subkultur Betawi “Belanda-Depok”. Dulu disekitar wilayah Depok berdiri sebuah perkebunan besar yang dibangun oleh Cornelis Chastelein, pejabat penting VOC, wilayah ini mencakup Depok, Cinere dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan. Luasanya sekitar 1285 hektar (hitungannya sekarang mungkin mencakupi 6 kecamatan). Pada tahun 1696 menjelang Chastelein pensiun ia membeli tanah tersebut dan tahun 1714 tanah tersebut di wariskan oleh budak-budak yang dimerdekakannya, budak-budak itu diperkirakan ada 12 orang, nama-nama mereka adalah Leander, Loen, Jacob, Laurens, Joseph, Jonathans, Bacas, Soedira, Isakh, dan Zadokh. Keturunan-keturunan mereka banyak menguasai tanah-tanah di Depok, agama mereka kebanyakan Kristen Protestan, untuk nama belakang Zadokh saat ini tidak ditemukan lagi, kemungkinan karena beberapa generasi setelah Zadokh tidak ada lagi keturunan pria. RAWALINDUNG 11 JUNI 2025