Friday, June 13, 2025
BETAWI
Indonesia Jaman Dulu
11 Juni 2025 pukul 13:14 ·
Asal Usul Betawi
Ada suku yang sangat unik, metropolis, mengenal budaya kota jauh lebih dulu ketimbang New York yang urban,
suku itu adalah suku Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta suku betawi sesungguhnya tidak asing bahkan menjadi
bagian budaya dari orang-orang yang lahir dan besar di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan hal yang
identik dengan Jakarta. Namun sejak pembangunan besar-besaran kota Jakarta yang dimulai sejak
terselenggaranya Asian Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya pemerintahan Sukarno yang menaikkan Suharto di
tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap suku asli Betawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi
menjadi semakin berjarak dengan Jakarta.
Suku Betawi adalah salah satu kelompok etnis asli Indonesia yang berasal dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Nama "Betawi" sendiri berasal dari kata "Batavia," nama yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Jakarta pada abad ke-17. Suku Betawi merupakan hasil dari akulturasi berbagai budaya yang terjadi selama berabad-abad, menjadikannya salah satu suku yang kaya akan keragaman budaya di Indonesia.
Asal Usul dan Perkembangan
Suku Betawi baru diakui sebagai etnis tersendiri pada awal abad ke-20. Sebelumnya, wilayah Jakarta adalah tempat bertemunya berbagai kelompok etnis dari berbagai penjuru Nusantara dan dunia, seperti Melayu, Bugis, Jawa, Sunda, Bali, Ambon, Tionghoa, Arab, dan India. Akulturasi antara kelompok-kelompok ini, yang terjadi akibat perdagangan, pernikahan, dan interaksi sehari-hari, membentuk identitas budaya Betawi yang unik.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Batavia menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan, menarik pendatang dari berbagai daerah dan negara. Pendatang ini membawa tradisi dan budaya mereka, yang kemudian bercampur dengan budaya lokal. Generasi keturunan dari hasil percampuran ini dikenal sebagai masyarakat Betawi. Identitas Betawi semakin jelas setelah kelompok ini mulai menetap di sekitar Jakarta, terutama setelah sistem tanam paksa dan urbanisasi.
Asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan
turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia-pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota
Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai
Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York.
Portugis yang mengincar pelabuhan-pelabuhan dagang Banten di tahun 1520-an, bekerja sama dengan kekuasaan
Pajajaran-Hindu untuk membendung gerakan politik Banten-Islam. Namun pada tahun 1590, Banten mengirim
seorang panglima perang bernama fatahillah yang baru saja datang dari Malaka, Fatahillah bersama para jawara dari
Banten dan dibantu dengan pasukan dari Cirebon berhasil mengusir Portugis dan membangun benteng pertahanan
di sekitar pantai Sunda Kelapa, sejak saat itu oleh Fatahilllah pantai Sunda Kelapa dijadikan pelabuhan dagang,
namun keramaiannya tetap kalah dengan pelabuhan Banten.
Ketika pelabuhan sunda kelapa sudah ramai, datanglah armada dagang Belanda dan membangun loji-loji dagang di
sekitar Sunda Kelapa, pada awalnya kedatangan Belanda ini disukai oleh Pangeran Jayawikarta penguasa Sunda
Kelapa dan menamakan wilayah kekuasaannya sebagai Jayakarta, tetapi atas desakan dari Banten yang pada
waktu itu sudah tidak menyukai kehadiran Belanda akibat politik campur tangan di Kesultanan Banten, Pangeran
Jayawikarta di paksa untuk melawan Belanda. Pada saat itu pemimpin dagang dan bersenjata Belanda bernama Jan
Pieter Zoen Coen yang oleh orang-orang Betawi di kenal sebagai Murjangkung, nah JP Zoen Coen melakukan
tindakan penyerangan ke arah benteng-benteng di tepi pelabuhan Sunda Kelapa, pada awalnya Pangeran
Jayawikarta mampu bertahan dan berharap ada bantuan dari Banten dan Cirebon, namun Belanda dengan cerdik
melakukan pengepungan dengan memblokir jalan-jalan yang kemungkinan di lalui pasukan bala bantuan.
Pada tahun 1614 Pangeran Jayawikarta memutuskan untuk meloloskan diri dari pengepungan yang berbulan-bulan
lamanya. Ia bersama lima ratus orang pasukannya menyingkir ke daerah rawa-rawa yang kini dikenal sebagai
Sunter, Pangeran-pun mendirikan pusat-pusat perlawanan gerilya. Pada awal tahun 1618, pasukan Banten berhasil
menyusup ke Jayakarta dari arah Bogor, dan mereka membangun markasnya di sekitar hutan Jati yang sangat lebat
(kini bernama Jatinegara). Pangeran Jayawikarta-pun bergabung dengan pasukan Banten dan menyusun serangan,
namun JP Zoen Coen memutuskan untuk menggempur habis-habisan pasukan Banten-Jayakarta, sebelum
datangnya pasukan yang jauh lebih besar Mataram-Sultan Agung. Intelijen JP Zoen Coen mendengar bahwa
pasukan Mataram akan melakukan penyerbuan-penyerbuan ke wilayah pesisir dan pada saat itu sedang bertarung di
wilayah priangan untuk menaklukkan bekas wilayah Pajajaran-Hindu yang dikuasai raja-raja kecil Islam. Menurut
hitung-hitungan JP Zoen Coen, lambat tapi pasti Mataram akan menyerang Jayakarta untuk membangun pelabuhan
dagangnya yang dekat dengan pelabuhan Malaka. Untuk itu dia membereskan separatis Betawi di tanah-tanah yang
diakui sebagai hak VOC.
Hitungan JP Zoen Coen ternyata sangat tepat, ia berkonsentrasi menghabisi pasukan Banten-Jayakarta untuk itu ia
mengambil ratusan tentara bayaran dari Jerman dan beberapa budak yang didatangkan dari Bali, Bugis dan Ambon
untuk menyerbu markas Pangeran Jayakarta. Pada tahun 1620, markas pangeran jayakarta diserbu oleh JP Zoen
Coen dan sejarah membuktikan Pangeran tu mengalami kekalahan, Pada saat pasukan Belanda mengepung masjid
yang digunakan Pangeran untuk berlindung, Pangeran masuk ke dalam sumur yang berada di dalam masjid, dan
Belanda mengira Pangeran sudah mati di dalam sumur itu, Masjid itu kini bernama Masjid Salafiyah yang berdiri di
wilayah Jatinegara.
Setelah beres dengan perlawanan dari unsur Banten, Zoen Coen menghadapi pasukan Mataram yang berada
dibawah pimpinan Sura Agul-Agul dan beberapa senopati perang lainnya yang dibantu orang-orang Priangan.
Namun taktik penghancuran logistik terhadap sawah-sawah yang menjadi sumber makanan pasukan Mataram dan
diracunnya sungai Ciliwung menjadi kunci kemenangan VOC.
Kota Jayakarta-pun diganti nama menjadi Batavia oleh Zoen Coen nama ini diambil dari kata Bataafs, sebuah dinasti
yang menguasai Belanda dan Jerman Utara.Dan orang-orang asli yang menempati wilayah Batavia disebut juga
Betawi Banyak orang yang mengira asal-usul suku asli Batavia adalah budak-budak Zoen Coen, namun perkiraan ini
banyak salahnya daripada betulnya, suku Betawi merupakan suku yang memiliki sifat uniknya sendiri, mereka sangat
apolitis, dan menghindar dari struktur kekuasaan, walaupun ada juga orang Betawi yang ‘keningrat-ningratan dengan
menggunakan gelar Raden, Raden betawi beda dengan Raden Sunda atau Raden Jawa yang hanya terdiri huruf ‘R’,
penulisan gelar Raden Betawi ditulis ‘Rd’ misalnya : Rd. Mochtar, aktor jaman baheula. Orang Betawi sendiri
mungkin berasal dari Melayu atau orang Jawa yang tinggal di pesisir namun menolak bagian dari suku pedalaman,
ini sama saja dengan kaum Melayu di Kalimantan yang merasa bukan bagian dari Dayak, atau Melayu di Sumatera
Utara yang menihilkan suku Batak. Sedari awal kita sudah lihat pemegang-pemegang kekuasaan di Sunda kelapa
atau batavia adalah orang-orang pendatang seperti : Pajajaran-Hindu, Banten, Portugis dan Belanda. Saking sering
konflik dengan Pajajaran Bogor, orang Betawi sampai sekarang kalau mengumpat berkata “Dasar Pejajaran!”
Orang-orang asli Betawi seakan-akan tidak peduli siapa pemegang kekuasaannya.Itulah yang dapat menjelaskan
mengapa suku betawi jarang sekali menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan kotanya sendiri, jabatan
yang paling disenangi orang Betawi adalah jabatan-jabatan yang berhubungan dengan agama, makanya banyak
sekali dari orang-orang Betawi yang terdidik bekerja di Departemen Agama.
Untuk menjawab mengapa Betawi sangat berjarak dengan kekuasaan, mungkin jawaban yang paling tepat adalah
orientasi budaya. Budaya betawi sangat unik dibanding budaya-budaya urban di kota-kota besar dunia pada
jamannya seperti Huan Long (Vietnam) atau Kyoto (Jepang). Biasanya budaya urban mendorong kegiatan niaga
kepada penduduk aslinya, namun untuk kasus Betawi mereka tidak menyukai dunia dagang, hidup mereka di
orientasikan pada agama Islam. Untuk menjelaskan cara hidup Betawi, cara pandang Islam merupakan jawaban
tepat. Bagi orang-orang Betawi kehidupan dunia tidak memiliki arti apa-apa, cita-cita terbesar orang Betawi adalah
naik haji, dan bergelar Haji. Bagi orang Betawi pendidikan harus diorientasikan ke pendidikan agama bukan
pendidikan cara Belanda, berbeda dengan suku-suku lain seperti Banten, Sunda dan Jawa yang perlahan
menganggap pendidikan sekuler sangat penting, suku betawi sampai saat ini melihat pendidikan sekuler kalah
penting ketimbang pendidikan agama. Jika kita menonton sinetron si Doel ada sebuah kesalahan fatal dari penilaian
Rano Karno (sebagai penulis ide cerita) yang menganggap betawi itu sebagai orang-orang yang terbelakang secara
pendidikan, karena disini Rano Karno melihat cara pendidikan Betawi dari kaca mata orang yang dididik dan
dibesarkan dalam pendidikan sekuler dan ala barat. Orang-orang Betawi sangat berpendidikan bahkan beberapa
orang kaya Betawi (contohnya Betawi Kuningan dan Betawi Tenabang) menyekolahkan anaknya ke Mesir dan Irak,
banyak dari mereka bermukim di Mekkah untuk menimba ilmu agama, ratusan madrasah-madrasah dibangun untuk
menampung anak-anak betawi, nah disinilah letak perbedaan orientasi, bagi suku-suku Batak, Minang, Sunda, Jawa
dan Bugis (suku yang paling mendominasi arus intelektual di Indonesia), pendidikan ala barat merupakan patokan
kecerdasan dan tingkat intelektualitas seseorang yang diperoleh melalui kapital simbolik ijazah sekolah barat yang
sekuler. Lain ladang lain belalang bagi orang Betawi keberhasilan adalah bagaimana ia menyelesaikan pendidikan
agama dan menjalani hidup dengan irama yang ia yakini, berorientasi pada alam akhirat dengan mengambil pahala
banyak-banyak sesuai apa yang mereka yakini. Perbedaan orientasi inilah yang kerap menimbulkan salah paham
bahwa orang-orang betawi sangat tidak menghargai pendidikan. Mereka justru sangat menghargai dasar-dasar
pendidikan, hanya orang Betawi-lah yang mengenal kultur ‘Pagi belajar di SD, Siang ke Ibtidaiyah’. Pandangan
mereka pendidikan haruslah holistik bukan kompartemental yang berakibat tidak seimbangnya nalar dan hati.
Orang Betawi terkenal senang menerima pendatang. Banyak dari pendatang-pendatang luar Jakarta yang modalnya
buntelan menjadi sukses di Jakarta, waktu susah banyak ditolong orang Betawi di gang-gang sempit atau toleran
terhadap bayaran rumah kontrakan. Rasa bertetangga mereka sangat tinggi, bahkan banyak ketika orang pendatang
itu pindah ke tempat yang lebih jauh dan lebih nyaman dari awal dia hidup masih sering berhubungan dengan
‘kerabat-kerabat betawi-nya yang dulu pernah menolong’. Orang Betawi terkenal blak-blakan, kalau bicara seperti
orang nyanyi. Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu yang terkenal dengan akhiran huruf e. Kalau orang Melayu
mengucapkan huruf e itu dengan mengayun lembut, orang Betawi membunyikannya dengan lempeng. Bahasa
Betawi adalah bahasa yang paling berpengaruh dalam ruang pergaulan informal anak muda, kini seluruh radio-radio
di seantero Nusantara menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Betawi sebagai bagian dari proses
‘Jakartanisasi’.
Suku Betawi adalah satu-satunya suku di Jakarta yang paling awet menerima gempuran budaya urban, suku-suku
lain seperti Jawa, Sunda dan Bugis mengalami kekalahan yang hebat dan mundur ke wilayah-wilayah pedalaman,
pesisirnya dikuasai Belanda dan orang-orang timur asing (Vreemde Osterlingen) seperti Cina dan Arab. Berbagai
macam pengaruh yang mencampuri keragaman budaya Betawi bahkan darah suku-suku Betawi tidak murni lagi
sebagai sebuah ras, orang-orang Betawi adalah campuran dari cina, eropa dan arab. Bagi saya pribadi pernah
membagi-bagi fisiognomi-geografi orang-orang Betawi, untuk ras yang di dominasi oleh ras Arab berdiam di sekitar
wilayah-wilayah pusat dan utara kota Jakarta, orang-orang Betawi Ancol, Sunter, Tanah Abang, Slipi, Pekojan, dan
sekitar Kampung Melayu dan Jatinegara merupakan betawi yang memiliki tekstur arab secara khas, mereka banyak
yang keturunan arab. Sedangkan betawi-betawi yang berdiam di sekitar Kuningan, Mampang, Buncit, Pejaten,
Kemang dan wilayah-wilayah tengah banyak yang berkulit putih bersih dan bermata sipit, mereka ini banyak
keturunan dari ulama-ulama besar Islam keturunan Cina, sedangkan untuk wilayah Depok, ada sebuah keunikan,
suku-suku betawi ini di bagi dua kelompok besar yaitu : keturunan Belanda dan keturunan sisa-sisa lasykar Mataram
yang tidak berani pulang ke asalnya karena takut dihukum. Untuk yang keturunan Belanda terlihat sekali tingginya,
bila anda datang ke wilayah-wilayah Jagakarsa, Ciganjur, Depok lama maka sesekali terlihat wajah-wajah indo yang
tinggi badannya sekitar 180-an cm yang bicaranya ‘ngapak-ngapak’, namun jenis ras indo ini tidak banyak, keturunan
Mataram-lah yang banyak, mereka sendiri tidak mengetahui atau tidak mau mengetahui keturunan lasykar-lasykar
Mataram, tapi bila dilihat dari namanya sungguh nama-nama itu adalah nama yang berasal dari Jawa; seperti Wiro,
Tole, Bagor, Diro, Pulung dll yang bukan merupakan ciri khas nama Sunda atau Banten yang lebih banyak
terpengaruh nama-nama Islam. Karena merupakan suku melting pot yang terus menerus berbaur bisa dikatakan
wanita Betawi itu cantik-cantik.
Ada juga betawi-betawi yang menyimpang dari arus besar komunitas, dan membentuk subkultur yang pertama,
adalah keturunan Betawi-Portugis yang berdiam di sekitar wilayah Tugu dekat Tanjung Priok, agama mereka bukan
Islam tetapi Kristen Protestan, pada awalnya mereka beragama Katolik tapi atas paksaan VOC yang anti Katolik dan
penganut protestan Calvinis, mereka dipaksa masuk Protestan oleh Belanda dan sampai sekarang agama mereka
protestan, mereka memiliki budaya sendiri seperti lempar-lempar bedak pada hari natal atau yang paling populer
adalah musik keroncong, di tahun 1930-an orang-orang Tugu banyak menjadi buaya-buaya keroncong terkenal.
Yang kedua subkultur Betawi “Belanda-Depok”.
Dulu disekitar wilayah Depok berdiri sebuah perkebunan besar yang dibangun oleh Cornelis Chastelein, pejabat
penting VOC, wilayah ini mencakup Depok, Cinere dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan. Luasanya sekitar
1285 hektar (hitungannya sekarang mungkin mencakupi 6 kecamatan). Pada tahun 1696 menjelang Chastelein
pensiun ia membeli tanah tersebut dan tahun 1714 tanah tersebut di wariskan oleh budak-budak yang
dimerdekakannya, budak-budak itu diperkirakan ada 12 orang, nama-nama mereka adalah Leander, Loen, Jacob,
Laurens, Joseph, Jonathans, Bacas, Soedira, Isakh, dan Zadokh. Keturunan-keturunan mereka banyak menguasai
tanah-tanah di Depok, agama mereka kebanyakan Kristen Protestan, untuk nama belakang Zadokh saat ini tidak
ditemukan lagi, kemungkinan karena beberapa generasi setelah Zadokh tidak ada lagi keturunan pria.
RAWALINDUNG 11 JUNI 2025
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment