Wednesday, June 18, 2025

PERAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN DINAS TENAGA KERJA DALAM TRANSMISI HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA ALIH KELOLA BLOK ROKAN DARI CHEVRON PACIFIC INDONESIA KE PERTAMINA HULU ROKAN

PERAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN DINAS TENAGA KERJA DALAM TRANSMISI HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA ALIH KELOLA BLOK ROKAN DARI CHEVRON PACIFIC INDONESIA KE PERTAMINA HULU ROKAN Usman Arifin M, SH, MH Fakultas Hukum, Universitas Indonesia Email: usman.arifin@ui.ac.id Abstrak Alih kelola Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) menimbulkan dinamika hubungan industrial, khususnya terkait pemutusan hubungan kerja (PHK), kompensasi, dan status kerja pekerja kontrak. Penelitian ini menganalisis peran Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dalam menyelesaikan dan mengawasi sengketa ketenagakerjaan selama transisi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris, dengan data diperoleh dari putusan, PKB CPI, dan berita lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran PHI sangat krusial dalam menegakkan keabsahan PHK, sementara Disnaker berperan penting dalam pengawasan awal dan mediasi. Namun demikian, dalam praktiknya terdapat pelanggaran prosedur PHK oleh CPI dan minimnya perlindungan terhadap pekerja PKWT di bawah subkontraktor PHR. Kata Kunci: Hubungan industrial, PHI, Disnaker, Blok Rokan, PHK, hukum ketenagakerjaan 1. Pendahuluan Salah satu wilayah kerja migas yang besar di Indonesia ada di daerah Rokan Sumatera tepatnya berada daerah Riau Pekanbaru, setelah tidak tercapai kesepakatan antara pemerintah dengan Chevron Pacific Indonesia (CPI) Perusahaan asing yang telah mengelola blok ini hampir 50 tahun, Pemerintah melihat pentingnya pengelolaan ini dialihkan ke Perusahaan Migas milik Negara atau Pertamina. Seperti blok Mahakam yang diambil alih kelola oleh PHM dan hasilnya baik maka Pemerintah merasa hak pengelolaan ini bisa juga dialihkan hak nya kepada Perusahaan milik Negara atau Pertamina. Setelah menjalani proses yang begitu panjang dan dokumen kelengkapan yang banyak maka terjadilah pemindahan hak pengelolaan Wilayah Rokan tersebut. Alih Kelola & Dampak terhadap Pekerja Pengelolaan Blok Rokan beralih dari CPI ke anak usaha Pertamina, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), pada 9 Agustus 2021 Dari sisi Hukum Ketanagakerjaan hubungan kerja yang terjadi pada sekitar 2.700–2.757 pekerja CPI, sebagian besar (sekitar 98–100%) dimana sepakat dan menyetujui untuk digabung ke PHR ataupun berpindah hubungan kerjanya, sementara sebagian kecil memilih mengundurkan diri dan menerima kompensasi/PHK yang dilakukan secara marathon, untuk memberikan hak-hak dari pekerja yang mengundurkan diri. Berdasarkan hal tersebut di atas maka beberapa permasalahan yang ada dapat dilihat dari sisi akademis terutama huoungannya dengan hokum ketenagakerjaan yang terjadi dari proses peralihan ini, diantaranya : 1. Apakah secara hukumnya diperbplehkan untuk Pemerintah mengambil alih hak pengelolaan tersebut ? 2. Bagaimana hak pekerja dan dampaknya bagi hubungan kerja pekerja dalam CPI yang berpindah ke PHR ? 3. Apa dampak yang terjadi dalam proses pemindahan pengelolaan wilayah kerja ini terutama jika dilihat dari perspektif hukum ketenagakerjaan ? 2. Tinjauan Pustaka Hubungan industrial merupakan konsep penting dalam dunia ketenagakerjaan yang menggambarkan relasi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Dalam praktiknya, hubungan ini tercermin dalam perjanjian kerja yang menjadi dasar legal antara pemberi kerja dan pekerja. Perjanjian kerja tidak hanya berisi ketentuan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, tetapi juga merupakan cerminan dari dinamika hubungan industrial yang dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan industrial adalah sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah. Hubungan ini dibangun atas asas kekeluargaan, kemitraan, dan keseimbangan kepentingan. Dalam ilmu hubungan industrial, terdapat beberapa teori utama yang mendasari interaksi antara pekerja dan pengusaha, yang memiliki implikasi langsung terhadap penyusunan perjanjian kerja, yaitu: 1. Teori Unitaris (Unitarist Theory) Teori ini melihat perusahaan sebagai satu kesatuan harmonis, di mana pekerja dan pengusaha memiliki tujuan yang sama. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang abnormal dan dapat diselesaikan melalui komunikasi dan manajemen yang baik. Dalam konteks perjanjian kerja, teori ini mendorong hubungan yang kooperatif dan pengaturan yang bersifat internal. 2. Teori Pluralis (Pluralist Theory) Dalam pandangan pluralis, hubungan industrial terdiri dari berbagai kepentingan yang berbeda antara pekerja dan pengusaha. Oleh karena itu, konflik dianggap sebagai hal yang wajar dan harus diatur melalui mekanisme formal seperti perjanjian kerja, serikat pekerja, dan perundingan bersama. Perjanjian kerja dalam pendekatan ini bersifat negosiatif dan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan kepentingan. 3. Teori Marxis (Marxist Theory) Teori ini melihat hubungan industrial sebagai bentuk pertentangan kelas antara pemilik modal (pengusaha) dan pekerja. Perjanjian kerja dianggap sebagai instrumen untuk mempertahankan dominasi kapital terhadap buruh. Teori ini menekankan pentingnya transformasi struktural agar hubungan kerja menjadi lebih adil. Perjanjian kerja adalah kontrak yang menjadi dasar sahnya hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. Dalam perspektif hubungan industrial, perjanjian ini merupakan hasil dari interaksi sosial dan ekonomi antara dua pihak yang memiliki kedudukan dan kepentingan berbeda. Perjanjian kerja dapat berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT): Berlaku untuk waktu atau pekerjaan tertentu dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT): Berlaku tanpa batas waktu tertentu. Di dalamnya, aspek hubungan industrial tercermin melalui: • Perundingan dan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. • Partisipasi serikat pekerja dalam merumuskan perjanjian kerja bersama (PKB). • Kehadiran pemerintah sebagai regulator dan mediator apabila terjadi perselisihan. Pentingnya Teori Hubungan Industrial dalam Praktik Perjanjian Kerja dan dalam pembahasan mengenai topik pemindahan hak pengelolaan wilayah kerja Rokan dan dampaknya terhadap perjanjian kerja didalamnya tidak bisa dilepaskan dari proses penyelsaian perselisihan hubungan industrial. 1. Membangun Perjanjian yang Adil dan Berimbang Pemahaman teori hubungan industrial membantu perancang perjanjian kerja untuk mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak secara adil. 2. Mencegah dan Mengelola Konflik Dengan mengenali potensi konflik sebagai bagian dari dinamika hubungan kerja, perusahaan dapat membangun sistem penyelesaian sengketa yang efektif melalui negosiasi dan mediasi. 3. Mendorong Dialog Sosial dan Kemitraan Teori pluralis dan unitaris, misalnya, mendorong perusahaan untuk membangun komunikasi yang terbuka dan hubungan kerja yang bersifat kemitraan. 3. Metode Penelitian • Jenis penelitian jurnal ini bersifat Yuridis normatif dan dengan menyajikan data-data empiris yang telah diujikan dengan menjelaskan duduk perkaranya. • Sumber data menggunakan data primer (PKB, UU terutama UU migas dan UU Ketenagakerjaan, Putusan PHI), serta menampilakn data bersifat sekunder (literatur, berita yang didapat baik secara online ataupun langsung dari perpusatakaan) • Dalam penulisan ini menggunakan teknik analisis berdasarkan narasi di lapangan dan menjabarkan peermasalahan secara deskriptif analitis 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Proses Alih Kelola Blok Rokan • Ditetapkan sistem “mirroring” kontrak, di mana PHR menawarkan perjanjian kerja yang meniru kondisi CPI . • CPI bertanggung jawab menyelesaikan hak-hak pekerja dalam PKB mereka (termasuk kompensasi, pesangon, tabungan, dll.) sebelum penutupan kontrak seperti yang dikutip dari id.scribd.com+14bisnis.tempo.co+14kumparan.com+14. 4.2. Pelanggaran Prosedur Hukum Ketenagakerjaan oleh CPI 4.2.1. Sengketa Serikat & Dugaan Pelanggaran PKB oleh CPI • Tercatat setidaknya empat pekerja yang menolak PHK oleh CPI menggugat, karena tidak melalui mekanisme PHI dan mereka menganggap PHK dilakukan secara sepihak—dituding melanggar PKB Pasal 125 dan 141. • Tiga serikat pekerja (SPNC, Sarbumusi, SPCI) mengajukan protes tertulis terhadap CPI, menyoroti pelanggaran PKB terkait penerimaan fasilitas, gaji, dan akses fasilitas selama masa transisi. 4.2.2. Tantangan di Era PHR: Pekerja Kontrak & Persoalan Ketidakpastian • Setelah alih kelola, pekerja PKWT (kontrak jangka tetap) banyak mengeluhkan potensi PHK karena durasi kontrak pendek, upah stagnan (Rp 3,2–4,2 juta/bulan), serta beban psikologis tinggi. • PHR menyatakan bahwa urusan PKWT berada sepenuhnya di bawah tanggung jawab mitra/subkontraktor, bukan Pertamina langsung. 4.3. Peran dan Tanggung Jawab Disnaker Perspektif Hukum Ketenagakerjaan 4.3.1. Keterlibatan PHI & Mekanisme PHK • PHK harus melalui proses peradilan lewat Pengadilan Hubungan Industrial—tidak boleh sepihak • Spesifikasi PKB CPI mengatur bahwa PHK harus dilakukan berdasarkan putusan PHI (Pasal 125 & 141 PKB CPI) . PHI adalah lembaga peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jenis Perselisihan yang Relevan: Dalam kasus alih kelola Blok Rokan, PHI memiliki wewenang atas: • Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) • Perselisihan Hak, seperti kompensasi, pesangon, tabungan karyawan • Perselisihan Kepentingan, termasuk penyusunan PKB baru • Perselisihan antar serikat pekerja Peran PHI di Blok Rokan: • Menjadi jalur hukum resmi jika PHK dinilai tidak sah → Beberapa pekerja CPI menggugat PHK ke PHI karena dinilai melanggar Pasal 125 & 141 PKB, yang mengatur bahwa PHK harus melalui PHI. • Mengeluarkan putusan yang bersifat mengikat → Dalam kasus CPI vs pekerja, PHI atau MA bisa memutuskan hak atas pesangon, penyelesaian tabungan, atau pengembalian ke pekerjaan jika terbukti PHK tidak sah. 4.3.2. Peranan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Disnaker bertanggung jawab atas pengawasan dan pembinaan hubungan kerja, serta menjadi jalur mediasi non-litigasi sebelum masuk ke PHI. Tugas dan Kewenangan: • Menerima dan memfasilitasi mediasi atas perselisihan hubungan kerja • Mengevaluasi perjanjian kerja, termasuk peralihan kontrak kerja (mirroring) • Mengawasi kepatuhan PKB, UU Ketenagakerjaan, dan norma kerja • Melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran hak pekerja • Menerbitkan anjuran tertulis atau nota pemeriksaan yang bisa jadi dasar gugatan ke PHI Peran Disnaker di Blok Rokan: • Menjadi mediator awal dalam sengketa antara CPI dan pekerja terkait kompensasi dan PHK massal • Mengawasi transisi kerja dari CPI ke PHR, memastikan proses sesuai UU No. 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja • Memberi perlindungan terhadap pekerja PKWT di bawah subkontraktor PHR, yang mengeluhkan kontrak pendek dan ketidakpastian kerja • Melakukan inspeksi kepatuhan atas hak-hak normatif (upah, jam kerja, jaminan sosial) Lembaga Tahap Peran Disnaker Awal Mediasi, pengawasan, penerbitan anjuran PHI Lanjutan (jika mediasi gagal) Mengadili dan memutuskan secara hukum sengketa ketenagakerjaan • UU mewajibkan penyelesaian perselisihan melalui prosedur bertingkat: bipartit → mediasi Disnaker → PHI. • Banyak kasus CPI di Blok Rokan dinilai melanggar tahapan ini karena PHK langsung dilakukan tanpa PHI. • Peran aktif dan independen dari Disnaker sangat krusial untuk melindungi hak-hak pekerja, terutama di masa transisi perusahaan besar seperti ini. 4.4. Intervensi PHI dalam Penyelesaian PHK 4.4.1. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Perusahaan • UU Ketenagakerjaan dan PKB menjamin hak atas gaji, fasilitas, tabungan, dan pesangon; CPI dinilai melanggar dengan memutus akses, menahan gaji/tabungan, hingga PHK tanpa penyelesaian hak . • Setelah transisi, potensi risiko muncul bagi pekerja kontrak karena ketidakpastian hubungan kerja dan minimnya perlindungan sosial. 4.4.2. Transisi & Mirror Contract • Skema alih kelola “mirror” memberikan kontinuitas legal formal, tetapi secara substantif muncul perbedaan manajemen dan budaya kerja antara CPI dan PHR, yang menimbulkan potensi gesekan hak pekerja. 4.5. Tantangan dan Kesenjangan Perlindungan Hukum terhadap PKWT Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak kerja untuk waktu tertentu adalah bentuk hubungan kerja yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan yang diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya. PKWT dirancang untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara atau tidak tetap. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan PKWT sering kali menimbulkan berbagai permasalahan hukum dan ketidakadilan bagi pekerja. Tantangan dalam Pelaksanaan PKWT Pertama, Penyalahgunaan Status PKWT oleh Pemberi Kerja Banyak perusahaan menggunakan PKWT secara tidak tepat, misalnya untuk pekerjaan yang bersifat tetap atau berkelanjutan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan hukum dan dapat merugikan pekerja, terutama dalam hal jaminan kepastian kerja dan kesejahteraan jangka panjang. Kedua, Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Hukum Kelemahan pengawasan dari instansi ketenagakerjaan menyebabkan pelanggaran PKWT kerap terjadi tanpa sanksi yang tegas. Banyak pekerja tidak mengetahui hak-haknya atau enggan melapor karena takut kehilangan pekerjaan. Ketiga, Minimnya Perlindungan Sosial dan Jaminan Kerja Pekerja PKWT sering kali tidak mendapatkan perlindungan sosial yang memadai, seperti akses terhadap jaminan kesehatan, jaminan pensiun, atau pesangon saat kontrak berakhir. Hal ini memperbesar kesenjangan antara pekerja tetap dan kontrak. Keempat, Kurangnya Akses terhadap Serikat Pekerja Karena sifat pekerjaan yang tidak tetap, pekerja PKWT sering kali tidak terorganisir dalam serikat pekerja, sehingga suara mereka dalam negosiasi atau perlindungan kolektif menjadi lemah. Salah satu tantangan dalam penerapan PKWT adalah Kesenjangan Hukum dan Regulasi. Meskipun regulasi telah ada, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang mengatur PKWT secara lebih rinci, masih terdapat sejumlah kesenjangan, di antaranya: 1. Ambiguitas Kriteria Pekerjaan PKWT Tidak adanya standar yang jelas mengenai jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk menggunakan PKWT memungkinkan multiinterpretasi oleh pengusaha. 2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Lemah Akses pekerja PKWT terhadap mekanisme penyelesaian sengketa hubungan industrial masih terbatas, terutama karena posisi tawar yang rendah dan keterbatasan ekonomi. 3. Kurangnya Perlindungan saat Pemutusan Kontrak Dalam banyak kasus, pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja PKWT tidak diikuti dengan kompensasi yang layak, padahal dalam aturan terbaru, pekerja PKWT berhak atas uang kompensasi sesuai masa kerja. 4. Rekomendasi Perbaikan Untuk mengatasi tantangan dan kesenjangan tersebut, beberapa langkah yang dapat diambil antara lain: 5. Revisi dan Penegasan Regulasi PKWT Pemerintah perlu menegaskan kriteria pekerjaan PKWT dan memberikan pedoman yang lebih rinci untuk mencegah penyalahgunaan. 6. Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum Diperlukan peningkatan kapasitas dan ketegasan dari pengawas ketenagakerjaan untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap aturan. 7. Pemberdayaan dan Pendidikan Pekerja Edukasi kepada pekerja mengenai hak-hak mereka dalam PKWT penting untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan mandiri. 8. Akses terhadap Serikat Pekerja dan Mekanisme Hukum Mendorong pekerja PKWT untuk berorganisasi serta menyediakan akses hukum yang lebih mudah dan murah untuk menyelesaikan sengketa. 5. Saran dan Kesimpulan Isu Rekomendasi PHK tanpa PHI Perusahaan harus menegakkan putusan PHI/MA; PHK kooperatif diperlukan. Pemenuhan hak Audit komprehensif atas gaji/tabungan/pesangon; transparansi dan penyelesaian cepat. Perlindungan PKWT Dorong pembatasan PKWT sesuai UU: maksimal 2 tahun atau 3 kali perpanjangan. Harmonisasi PKB baru Negosiasi PKB antar serikat CPI dan Pertamina untuk menghindari diskriminasi status. Peran pemerintah/PHI/Disnaker Aktif memfasilitasi dialog, audit pemenuhan hak, dan penegakan norma ketenagakerjaan. Kesimpulan • Alih kelola Blok Rokan menjadi studi kasus penting dalam hukum ketenagakerjaan: walaupun secara teknis transisi pekerja telah diupayakan melalui perjanjian mirror contract dan persetujuan massal, pelanggaran PKB oleh CPI dan kondisi pekerja kontrak di era PHR menimbulkan masalah hukum dan industrial relations. Kuncinya adalah prosedur PHK yang sesuai hukum, pemenuhan penuh hak pekerja, dan harmonisasi regulasi hubungan kerja pasca-alih kelola agar tercipta keadilan dan stabilitas industrial. • Peran lembaga seperti Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) sangat penting dalam konteks alih kelola Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina Hulu Rokan (PHR), khususnya dari perspektif hukum ketenagakerjaan. Berikut penjelasan mendetail: • Rekomendasi kepada pemerintah, PHR, serikat pekerja, dan regulator Daftar Pustaka 1. UUD 1945 2. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 4. ruangenergi.com+1redaksiriau.co.id+1. 5. Usman Arifin M, SH, MH (2022), Hukum Hubungan Kerja di Tengah Bencana – Upaya Perlindungan Hukum Pekerja di Industri Migas (apakah dampaknya pada industry minyak dan gas bumi di Indonesia) – Amerta Media, Jakarta 2022 6. kumparan.com+2www2.pertamina.com+2money.kompas.com+2. 7. reddit.com+14money.kompas.com+14redaksiriau.co.id+14. 8. redaksiriau.co.id+2reddit.com+2ruangenergi.com+2. 9. redaksiriau.co.id+2reddit.com+2ruangenergi.com+2.

No comments:

Post a Comment